Minggu, 02 Mei 2010

KIE PMS

LAPORAN FIELD LAB
BLOK XV UROGENITAL

KEGIATAN KIE PENYULUHAN PMS SEBAGAI
UPAYA PENCEGAHAN PENINGKATAN KEJADIAN PMS
PADA REMAJA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KARANGANYAR



Disusun oleh :
Nama : Imam Rizaldi
NIM : G0008109
Kelompok : III
Instruktur : dr. Ibnu Ridhwan





FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit yang termasuk dalam PMS adalah Sifilis, Gonorhoe, Jengger Ayam, Herpes, dan sebagainya. Cakupan PMS yang diobati di seluruh kabupaten di Indonesia pada tahun 2005-2007 adalah 68,64%, padahal target SPM 100%. Menurut data tersebut maka dapat disimpulkan masih sangat diperlukan promosi kesehatan tentang PMS. Promosi kesehatan sangat penting mengingat tingginya prevalensi penyebaran penyakit dan kurangnya kesadaran akan bahaya dari PMS tersebut.

Oleh karena itu sangat diperlukan adanya promosi kesehatan dalam bidang Penyakit Menular Seksual khususnya HIV/AIDS, meskipun tidak tertutup kemungkinan dengan yang lainnya. Promosi kesehatan tersebut dapat diaplikasikan dalam beberapa hal, sebagai contoh adalah penyuluhan kepada SMA atau sederajat yang merupakan usia resiko penularan.

II. Tujuan Pembelajaran

Setelah melakukan kegiatan laboratorium lapangan, diharapkan mahasiswa mampu:

1. Melakukan penyuluhan kesehatan komunitas tentang PMS khususnya HIV/AIDS.

2. Melakukan pendataan tentang keberhasilan program pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS.

3. Memahami tatalaksana HIV/AIDS.

4. Melakukan rujukan kasus spesifik penyakit PMS.

BAB II

PELAKSANAAN KEGIATAN

I. Rincian Pelaksanaan Kegiatan

1. Kamis, 22 April 2010

Persiapan : latihan penyuluhan PMS dan pembimbingan oleh dr Ibnu Ridhwan, bertempat di Puskesmas Karanganyar, Kabupaten Karanganyar

2. Kamis, 29 April 2010

Pelaksanaan kegiatan KIE Penyuluhan PMS didampingi oleh Ibu Bidan Lina dan dr. Ibnu Ridhwan bertempat di SMAN 2 Karanganyar

II. Hasil Kegiatan

Hari Pertama. Kamis, 22 April 2010

Kegiatan hari pertama di Puskesmas Karanganyar adalah latihan penyuluhan PMS di depan dr. Ibnu Ridhwan serta pembekalan juga oleh beliau. Pembekalan tersebut mengenai keadaan secara umum remaja di Karanganyar dan koordinasi dengan sekolah yang akan dilakukan penyuluhan. Selain itu diberikan pula bimbingan mengenai teknis penyuluhan dan materi yang akan diberikan pada minggu depan, 29 April 2010. Adapun materi yang kira-kira diberikan adalah sebagai berikut:

· Inti terpenting dari penyuluhan adalah prevention dan promotion.

· Penggunaan bahasa yang dapat dimengerti oleh penerima pesan.

· Perbaikan materi penyuluhan untuk lebih ditekankan pada norma agama dan kesusilaan.

Hari Kedua. Kamis, 29 April 2010

Kegiatan pada hari kedua adalah penyuluhan pada salah satu Sekolah Menengah Atas di Karanganyar yaitu SMAN 2 Karanganyar. Penyuluhan dilakukan dengan bimbingan dari dr. Ibnu Ridhwan dan Ibu Bidan Linda. Pada kegiatan ini kelompok kami dibagi menjadi dua tim yang akan memberikan penyuluhan pada siswa di dua kelas yaitu kelas X1 dan X5. Materi penyuluhan berkisar tentang Penyakit Menular Seksual seperti GO, sifilis dan HIV/AIDS. Penyampaian materi dilaksanakan dengan menggunakan powerpoint sebagai media. Penyuluhan kepada para siswa kelas X dilaksanakan sekitar 1 jam. Penyuluhan PMS yang dilakukan mendapat umpan balik yang bagus baik dari para siswa.

III. Kendala

1. Masih kurang adanya kesadaran dari masyarakat untuk memelihara kesehatan reproduksi khususnya dalam hal pencegahan terhadap bahaya Penyakit menular Seksual.

2. Keterbatasan informasi dan data mengenai jumlah pasien atau kemungkinan penderita dengan Penyakit Menular seksual. Hal ini diakibatkan karena kurang adanya kerjasama antara pasien berhubungan dengan pihak puskesmas.

3. Adanya rasa tabu dalam membicarakan masalah kesehatan reproduksi dan Penyakit Menular Seksual sehingga pelaporan kepada puskesmas mengenai penderita PMS sangat minim (apabila ia terjangkit).


BAB III

PEMBAHASAN

Puskesmas Karanganyar sampai saat ini belum secara pasti menemukan kasus pasien dengan HIV positif dan AIDS. Adapun pasien yang datang yang berhubungan dengan PMS adalah pasien dengan gejala Gonnorhoe. Puskemas Karanganyar mendiagnosis pasien berdasarkan keluhan klinis dan dengan laboratorium. Pada daerah Karanganyar yang mempunyai kemungkinan terbesar penderita dari PMS adalah pekerja WTS beserta pelanggannya dan supir bus atau truk. Oleh karena itu telah diadakan cek kesehatan secara rutin oleh puskesmas dengan orang yang mempunyai kemungkinan terhadap penyebaran PMS tersebut. Terdapat kendala dalam pengumpulan data mengenai PMS dikarenakan karena kurang adanya kerjasama dari masyarakat sekitar.

Kurang adanya kesadaran dari masyarakat sekitar sangat berkaitan dengan karakter masing-masing. Mayoritas masyarakat masih menganggap hal tersebut adalah sebagai hal yang tabu sehingga mereka lebih memilih untuk mengobati sendiri dengan obata bebas. Hal ini seperti inilah yang menjadikan orang tersebut menjadi resisten terhadap obat tersebut. Resiko penderita PMS di kabupaten Karanganyar terbesar condong ke remaja dan dewasa muda. Oleh karena itu dengan bekerja sama dengan pihak UKS dan PromKes dari Puskesmas Karanganyar dilakukan penyuluhan kepada siswa kelas X SMAN 2 Karanganyar. Materi yang disuluhkan adalah Penyakit Menular Seksual mulai dari verview tentang PMS hingga beberapa contoh PMS seperti GO, Sifilis, AIDS dan Herpes Materi tentang PMS yang disampaikan adalah mengenai pengertian, pencegahan, dan pengobatan. Selama penyuluhan berlangsung terdapat simpati yang baik dari siswa, terutama siswa putra.

Dari pertanyaan dan reaksi dari siswa yang mendapat penyuluhan, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa para siswa ini tidak pernah mendapatkan pendidikan mengenai sex yang seharusnya diberikan sejak dini. Oleh karena itulah penyuluhan PMS ini sebenarnya diadakan untuk mengenalkan secara dini mengenai sex dan bahaya sex bebas, sehingga kunci dan tujuan utama dari penyuluhan PMS adalah agar dapat tertanam dalam pikiran target penyuluhan mengenai pencegahan PMS dan bukannya pengobatan PMS.

BAB IV

PENUTUP

I. Kesimpulan

1. Masyarakat masih menganggap pembicaraan mengenai kesehatan reproduksi dan Penyakit Menular Seksual sebagai suatu hal yang tabu.

2. Kurangnya penyuluhan kepada masyarakat agar membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya dari PMS.

3. Data yang ada kurang lengkap karena banyak masyarakat yang kurang peduli PMS dan hanya mengkonsumsi obat warung (bagi penderita).

II. Saran

1. Untuk pihak Puskesmas, sebaiknya berkoordinasi dengan ketua RT atau ketua RW setempat untuk mengadakan penyuluhan secara rutin dan berkala sehingga masyarakat di semua kalangan dapat terjangkau dan mengetahui masalah Penyakit Menular Seksual.

2. Penyuluhan mengenai penyakit apapun sangat penting mengingat bahaya dari masing-masing penyakit sehingga dapat menyebabkan infeksi lanjut.

Daftar Pustaka

Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6. Jakarta: EGC.

Tim Field Lab. 2009. Penyulihan Kesehatan: Penyakit Menular Seksualitas (PMS). Surakarta: FK UNS.


Torsio Testis

LAPORAN KELOMPOK
BLOK XV UROGENITAL
SKENARIO 2


PENEGAKAN DIAGNOSIS TORSIO TESTIS SEBAGAI SALAH SATU KEGAWATDARURATAN MEDIS





OLEH :
1. HERRY PRASETYANTO G0008105
2. IKE PRAMASTUTI G0008107
3. IMAM RIZALDI G0008109
4. IRA RISTINAWATI G0008111
5. IZZATUL MUNA G0008113
6. KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115
7. NURSANTY S. G0008231
8. REDYA AYU T. G0008233
9. RESCHITA ADITYANTI G0008235
10. RIESKA WIDYASWARI G0008237
11. SALMA ASRI NOVA G0008239

KELOMPOK 9
NAMA TUTOR : dr. Sinu Andhi Jusup




FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord yang terpeluntir yang mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis dan epididymis. Torsio testis merupakan suatu kegawat daruratan vaskuler yang murni dan memerlukan tindakan bedah yang segera. Jika kondisi ini tidak ditangani dalam waktu singkat (dalam 4 hingga 6 jam setelah onset nyeri) dapat menyebabkan infark dari testis, yang selanjutnya akan diikuti oleh atrofi testis.
Torsio testis juga kadang-kadang disebut sebagai ‘sindrom musim dingin’. Hal ini disebabkan karena torsio testis lebih sering terjadi pada musim dingin. Torsio testis juga merupakan kegawat daruratan urologi yang paling sering terjadi pada laki-laki dewasa muda, dengan angka kejadian 1 diantara 400 orang dibawah usia 25 tahun.Torsio testis harus selalu dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan akut scrotum hingga terbukti tidak, namun kondisi tersebut juga harus dibedakan dari keluhan nyeri testis lainnya.
Penyebab dari akut scrotum biasanya dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik yang menyeluruh serta pemeriksaan diagnostik yang tepat. Sekitar dua per tiga pasien, anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup untuk menegakkan diagnosis yang tepat. Keterlambatan dan kegagalam dalam dignosis dan terapi akan menyebabkan proses torsio yang berlangsung lama, sehingga pada akhirnya menyebabkan kematian testis dan jaringan disekitarnya.
Penatalaksanaan torsio menjadi tindakan darurat yang harus segera dilakukan karena angka keberhasilan serta kemungkinan testis tertolong akan menurun seiring dengan bertambahnya lama waktu terjadinya torsio. Adapun penyebab tersering hilangnya testis setelah torsio adalah keterlambatan dalam mencari pengobatan (58%), kesalahan dalam diagnosis awal (29%), dan keterlambatan terapi (13%).
Skenario II : Mengapa Tiba-Tiba Sakit Sekali
Bambang Pamungkas, 16 tahun, diantar ke IGD Rumah Sakit dengan keluhan nyeri pada buah pelirnya. Sekitar setengah jam yang lalu kemaluan penderita tiba-tiba merasa nyeri sekali saat sedang nonton TV. Nyeri terasa terutama pada buah pelir kiri dan meluas hingga perut dan terasa mulas. Nyeri terus menerus disertai muntah satu kali.
Bambang mengatakan tak ada gangguan BAK dan masih bisa kentut. Bambang Pamungkas adalah seorang yang banyak aktivitas bahkan 3 jam sebelumnya masih bermain sepakbola.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak kesakitan. Tanda vital dalam batas normal. Scrotum kiri tampak lebih besar dibanding skrotum kanan. Warna scrotum kiri dan kanan sama. Scrotum kiri terlihat lebih tinggi dan dengan posisi testis yang melintang. Scrotum kiri terasa nyeri saat disentuh dan nyeri menetap saat scroum diangkat/digerakkan ke proksimal. Pada daerah inguinal kiri tidak didapatkan pembengkakkan
Dokter merencanakan tindakan operasi, dijelaskan kepada paien bahwa kejadian tersebut dapat menyebabkan kemandulan apabila tidak dioperasi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita?
2. Apa diagnosis penyakit diatas ?
3. Bagaimana hubungan antara kegiatan pasien dengan keluhannya saat ini?
4. Bagaimana hasil pemeriksaan pada penderita?
5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit yang di derita pasien?
C. Tujuan
1. Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita
2. Menentukan hubungan antara kegiatan pasien dengan keluhannya saat ini
3. Mengetahui hasil pemeriksaan pada penderita
4. Mengetahui kemungkinan diagnosis penyakit pasien
5. Mengetahui penatalaksanaan penyakit pasien
D. Manfaat
1. Membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik
2. Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar
3. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem urogenital
4. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem urogenital


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Testis merupakan sepasang struktur organ yang berbentuk oval dengan ukuran 4x2,5x2,5cm dan berat kurang lebih 20g. Terletak didalam scrotum dengan axis panjang pada sumbu vertikal dan biasanya testis kiri terletak lebih rendah dibanding kanan. Testis diliputi oleh tunika albuginea pada 2/3 anterior kecuali pada sisi dorsal dimana terdapat epididymis dan pedikel vaskuler. Sedangkan epididymis merupakan organ yang berbentuk kurva yang terletak disekeliling bagian dorsal dari testis. Suplai darah arteri pada testis dan epididymis berasal dari arteri renalis.
Pada perkembangannya, testis mengalami desensus dari posisi asalnya di dekat ginjal menuju scrotum. Terdapat beberapa mekanisme yang menjelaskan mengenai proses ini antara lain adanya tarikan gubernakulum dan tekanan intraabdominal. Faktor endokrine dan axis hypothalamus-pituitary-testis juga berperan dalam proses desensus testis. Antara minggu ke12 dan 17 kehamilan, testis mengalami migrasi transabdominal menuju lokasi didekat cincin inguinal interna.
B. Definisi Torsio Testis
Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord yang terpeluntir yang mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis dan epididymis.
C. Epidemiologi Torsio Testis
Torsio testis bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia dewasa muda (usia 10-30 tahun) dan lebih jarang terjadi pada neonatus. Puncak insiden terjadi pada usia 13-15 tahun. Terdapat kecenderungan penurunan insiden sesuai dengan peningkatan usia. Peningkatan insiden selama usia dewasa muda mungkin disebabkan karena testis yang membesar sekitar 5-6 kali selama pubertas. Testis kiri lebih sering terjadi disbanding testis kanan, hal ini mungkin disebabkan oleh karena secara normal spermatic cord kiri lebih panjang. Pada kasus torsio testis yang terjadi pada periode neonatus, 70% terjadi pada fase prenatal dan 30% terjadi postnatal.
D. Etiologi Torsio Testis
Penyebab dari torsio testis masih belum diketahui dengan pasti. Trauma terhadap scrotum bisa merupakan factor pencetus, sehingga torsio harus dipertimbangkan pada pasien dengan keluhan nyeri setelah trauma bahkan pada trauma yang tampak kurang signifikan sekalipun. Dikatakan pula bahwa spasme dan kontraksi dari otot kremaster dan tunica dartos bisa pula menjadi factor pencetus.
Torsio testis lebih sering terjadi pada musim dingin, terutama pada temperature di bawah 2C. Faktor predisposisi lain terjadinya torsio meliputi peningkatan volume testis (sering dihubungkan dengan pubertas), tumor testis, testis yang terletak horisontal, riwayat kriptorkismus, dan pada keadaan dimana spermatic cord intrascrotal yang panjang.
E. Patofisiologi Gastritis
Terdapat 2 jenis torsio testis berdasarkan patofisiologinya yaitu intravagina dan ekstravagina torsio.
1. Torsio intravagina terjadi di dalam tunika vaginalis dan disebabkan oleh karena abnormalitas dari tunika pada spermatic cord di dalam scrotum. Secara normal, fiksasi posterior dari epididymis dan investment yang tidak komplet dari epididymis dan testis posterior oleh tunika vaginalis memfiksasi testis pada sisi posterior dari scrotum. Kegagalan fiksasi yang tepat dari tunika ini menimbulkan gambaran bentuk ‘bell-clapper’ deformitas, dan keadaan ini menyebabkan testis mengalami rotasi pada cord sehingga potensial terjadi torsio. Torsio ini lebih sering terjadi pada usia remaja dan dewasa muda.
2. Ekstravagina torsio terjadi bila seluruh testis dan tunika terpuntir pada axis vertical sebagai akibat dari fiksasi yang tidak komplet atau non fiksasi dari gubernakulum terhadap dinding scrotum, sehingga menyebabkan rotasi yang bebas di dalam scrotum. Kelainan ini sering terjadi pada neonatus dan pada kondisi undesensus testis.
F. Manifestasi Klinis
Gejala pertama dari torsio testis adalah hampir selalu nyeri. Gejala ini bisa timbul mendadak atau berangsur-angsur, tetapi biasanya meningkat menurut derajat kelainan. Riwayat trauma didapatkan pada 20% pasien, dan lebih dari sepertiga pasien mengalami episode nyeri testis yang berulang sebelumnya. Derajat nyeri testis umumnya bervariasi dan tidak berhubungan dengan luasnya serta lamanya kejadian.
Pembengkakan dan eritema pada scrotum berangsur-angsur muncul. Dapat pula timbul nausea dan vomiting, kadang-kadang disertai demam ringan. Gejala yang jarang ditemukan pada torsio testis ialah rasa panas dan terbakar saat berkermih, dan hal ini yang membedakan dengan orchio-epididymitis.
Adapun gejala lain yang berhubungan dengan keadaan ini antara lain :
• Nyeri perut bawah
• Pembengkakan testis
• Darah pada semen
G. Diagnosis
• Penegakan Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis dapat membantu membedakan torsio testis dengan penyebab akut scrotum lainnya. Testis yang mengalami torsio pada scrotum akan tampak bengkak dan hiperemis. Eritema dan edema dapat meluas hingga scrotum sisi kontralateral. Testis yang mengalami torsio juga akan terasa nyeri pada palpasi. Jika pasien datang pada keadaan dini, dapat dilihat adanya testis yang terletak transversal atau horisontal. Seluruh testis akan bengkak dan nyeri serta tampak lebih besar bila dibandingkan dengan testis kontralateral, oleh karena adanya kongesti vena. Testis juga tampak lebih tinggi di dalam scotum disebabkan karena pemendekan dari spermatic cord. Hal tersebut merupakan pemeriksaan yang spesifik dalam menegakkan dianosis. Biasanya nyeri juga tidak berkurang bila dilakukan elevasi testis (Prehn sign).
Pemeriksaan fisik yang paling sensitif pada torsio testis ialah hilangnya refleks cremaster. Dalam satu literatur disebutkan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 99% pada torsio testis.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila diagnosis torsio testis masih meragukan atau bila pasien tidak menunjukkan bukti klinis yang nyata. Dalam hal ini diperlukan guna menentukan diagnosa banding pada keadaan akut scrotum lainnya. Urinalisis biasanya dilakukan untuk menyingkirkan adanya infeksi pada traktus urinarius. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan hasil yang normal atau peningkatan leukosit pada 60% pasien. Namun pemeriksaan ini tidak membantu dan sebaiknya tidak rutin dilakukan. Adanya peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP) dapat membedakan proses inflamasi sebagai penyebab akut scrotum.
Modalitas diagnostik yang paling sering digunakan ialah Doppler ultrasonografi (USG Doppler) dan radionuclide scanning dengan menggunakan technetum 99m (99mTc) pertechnetate dengan akurasi diagnostik 90%. Kedua metode tersebut digunakan untuk menilai aliran darah ke testis dan membedakan torsio dengan kondisi lainnya.
• Diagnosis Banding
1. Epididimitis akut
Penyakit ini secara klinis sulit dibedakan dengan torsio testis. Nyeri skrotum akut biasanya disertai dengan kenaikan suhu tubuh, keluarnya nanah dari uretra, ada riwayat coitus suspectus (dugaan melakukan senggama dengan bukan isterinya), atau pernah menjalani kateterisasi uretra sebelumnya. Jika dilakukan elevasi (pengangkatan) testis, pada epididimitis akut terkadang nyeri akan berkurang sedangkan pada torsio testis nyeri tetap ada (tanda dari Prehn). Pasien epididimitis akut biasanya berumur lebih dari 20 tahun dan pada pemeriksaan sedimen urine didapatkan adanya leukosituria atau bakteriuria.
2. Hernia skrotalis inkarserata
Biasanya pada anamnesis didapatkan benjolan yang dapat keluar dan masuk ke dalam skrotum.
3. Hidrokel terinfeksi
Dengan anamnesis sebelumya sudah ada benjolan di dalam skrotum
4. Tumor testis
Benjolan tidak dirasakan nyeri kecuali terjadi perdarahan di dalam testis.
5. Edema skrotum
Dapat disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis, adanya pembuntuan saluran limfe inguinal, kelainan jantung, atau kelainan-kelainan yang tidak diketahui sebabnya (idiopatik)
No Pembeda Epididimitis Tumor Torsio

No

Pembeda

Epididimitis

Tumor

Torsio

1.

Nyeri

+

Ringan/tidak nyeri

Hebat

2.

Onset

Cepat

Lambat

Mendadak

3.

ISK

+

-

-

4.

Testis

Normal

Tumor

Strutur-struktur ini sulit diraba/dipisah-pisahkan

5.

Epididimis

Nyeri

Normal

6.

Funikulus

Biasanya menebal

Normal


H. Komplikasi
Torsio dari testis dan spermatic cord akan berlanjut sebagai salah satu kegawat daruratan dalam bidang urologi. Putusnya suplai darah ke testis dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan atrofi testis. Atrofi dapat terjadi beberapa hari hingga beberapa bulan setelah torsio dikoreksi. Insiden terjadinya atrofi testis meningkat bila torsio telah terjadi 8 jam atau lebih. Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi : Infark testis, hilangnya testis, infeksi, serta infertilitas.
I. Penatalaksanaan Torsio Testis
1. REDUKSI MANUAL
Sekali diagnosis torsio testis ditegakkan, maka diperlukan tindakan pemulihan aliran darah ke testis secepatnya. Biasanya keadaan ini memerlukan eksplorasi pembedahan. Pada waktu yang sama ada kemungkinan untuk melakukan reposisi testis secara manual sehingga dapat dilakukan operasi elektif selanjutnya. Namun, biasanya tindakan ini sulit dilakukan oleh karena sering menimbulkan nyeri akut selama manipulasi.
Pada umumnya terapi dari torsio testis tergantung pada interval dari onset timbulnya nyeri hingga pasien datang. Jika pasien datang dalam 4 jam timbulnya onset nyeri, maka dapat diupayakan tindakan detorsi manual dengan anestesi lokal. Prosedur ini merupakan terapi non invasif yang dilakukan dengan sedasi intravena menggunakan anestesi lokal (5 ml Lidocain atau Xylocaine 2%). Sebagian besar torsio testis terjadi ke dalam dan ke arah midline, sehingga detorsi dilakukan keluar dan ke arah lateral. Selain itu, biasanya torsio terjadi lebih dari 360o, sehingga diperlukan lebih dari satu rotasi untuk melakukan detorsi penuh terhadap testis yang mengalami torsio.
Tindakan non operatif ini tidak menggantikan explorasi pembedahan. Jika detorsi manual berhasil, maka selanjutnya tetap dilakukan orchidopexy elektif dalam waktu 48 jam. Dalam literatur disebutkan bahwa tindakan detorsi manual hanya memberikan angka keberhasilan 26,5%. Sedangkan penelitian lain menyebutkan angka keberhasilan pada 30-70% pasien.
2. PEMBEDAHAN
Dalam hal detorsi manual tidak dapat dilakukan, atau bila detorsi manual tidak berhasil dilakukan maka tindakan eksplorasi pembedahan harus segera dilakukan. Pada pasien-pasien dengan riwayat serangan nyeri testis yang berulang serta dengan pemeriksaan klinis yang mengarah ke torsio sebaiknya segera dilakukan tindakan pembedahan. Hasil yang baik diperoleh bila operasi dilakukan dalam 4 jam setelah timbulnya onset nyeri. Setelah 4 hingga 6 jam biasanya nekrosis menjadi jelas pada testis yang mengalami torsio.
Eksplorasi pembedahan dilakukan melalui insisi scrotal midline untuk melihat testis secara langsung dan guna menghindari trauma yang mungkin ditimbulkan bila dilakukan insisi inguinal. Tunika vaginalis dibuka hingga tampak testis yang mengalami torsio. Selanjutnya testis direposisi dan dievaluasi viabilitasnya. Jika testis masih viabel dilakukan fiksasi orchidopexy, namun jika testis tidak viabel maka dilakukan orchidectomy guna mencegah timbulnya komplikasi infeksi serta potensial autoimmune injury pada testis kontralateral. Oleh karena abnormalitas anatomi biasanya terjadi bilateral, maka orchidopexy pada testis kontralateral sebaiknya juga dilakukan untuk mencegah terjadinya torsio di kemudian hari.
J. Prognosis
Jika torsio dapat didiagnosa secara dini dan dilakukan koreksi segera dalam 5-6 jam, maka akan memberikan prognosis yang baik dengan angka pertolongan terhadap testis hampir 100%. Setelah 6 jam terjadi torsio dan gangguan aliran darah, maka kemungkinan untuk dilakukan tindakan pembedahan juga meningkat. Namun, meskipun terjadi kurang dari 6 jam, torsio sudah dapat menimbulkan kehilangan fungsi dari testis. Setelah 18-24 jam biasanya sudah terjadi nekrosis dan indikasi untuk dilakukan orchidectomy. Orchidopexy tidak memberikan jaminan untuk tidak timbul torsio di kemudian hari, meskipun tindakan ini dapat menurunkan kemungkinan timbulnya hal tersebut.
Keberhasilan dalam penanganan torsio ditentukan oleh penyelamatan testis yang segera serta insiden terjadinya atrofi testis, dimana hal tesebut berhubungan secara langsung dengan durasi dan derajat dari torsio testis. Keterlambatan intervensi pembedahan akan memperburuk prognosis serta meningkatkan angka kejadian atrofi testis.



BAB III
PEMBAHASAN

Pada skenario tertulis, Bambang Pamungkas, 16 tahun, diantar ke IGD Rumah Sakit dengan keluhan nyeri pada buah pelirnya. Sekitar setengah jam yang lalu kemaluan penderita tiba-tiba terasa nyeri sekali saat sedang menonton TV. Nyeri terutama pada buah pelir kiri dan meluas hingga perut dan terasa mulas. Nyeri terasa terus menerus disertai muntah 1 kali. Bambang mengatakan tidak ada gangguan BAK dan masih bisa kentut. Bambang Pamungkas adalah seorang yang banyak aktivitas,bahkan 3 jam sebelumnya masih bermain sepak bola. Umur Bambang (16 tahun) menunjukkan bahwa Bambang berada pada masa pubertas (15-21 tahun). Keluhan nyeri padabuah pelir atau nyeri pada testis yang dirasakan pada daerah kantong skrotum dapat berasal dari kelainan organ di kantong skrotum (nyeri primer) atau nyeri (refered pain)yang berasal dari kelainan organ di luar kantong skrotum.
Nyeri akut yang disebabkan oleh kelainan di kantong testis dapat disebabkan oleh torsio testis atau torsio appendiks testis, epididimitis/orkitis akut, atau trauma pada testis.inflamasi akut pada testis/epididimis menyebabkan peregangan pada kapsulnya sehingga dirasakan sebagai nyeri yang sangat. Nyeri testis seringkal idirasakan hingga kedaerah abdomen sehingga dikacaukan dengan nyeri karena kelainan organ abdominal. Namun, adanya pernyataan bahwa Bambang masih bisa kentut menunjukkan bahwa tidak ada gangguan pada sistem pencernaan pasien dan pernyataan bahwa tidak ada gangguan BAK menunjukkan bahwa nyeri pada skrotum bukan karena adanya inflamasi pada ginjal. Nyeri tumpul di sekitar testis dapat disebabkan karena varikokel, hidrokel, maupun tumor testis. Nyeri yang bersifat mendadak meerupakan ciri khas torsio testis dan epididimitis.
Diagnosa banding terhadap varikokel dapat dihilangkan karena biasanya pasien dengan varikokel datang dengan keluhan belum mempunyai anak setelah beberapa tahun menikah atau kadang mengeluh adanya benjolan di atas testis. Diagnosa banding terhadap hidrokel dapat dihilangkan karena biasanya pasien dengan hidrokel dating dengan benjolan yang tidak nyeri. Begitu juga diagnosis terhadap tumor testis dapat dihilangkan karena pada sebagian besar kasus pasien mengalami pembesaran testis tetapi tidak merasa nyeri. Nyeri yang meluas hingga perut dan terasamulas disebabkan karena inflamasi pada testis mengganggu vaskularisasi darah testis yaitu arteri testikularis yang merupakan cabang dari aorta abdominalis, sehingga nyeri bisa meluas ke perut dan menyebabkan mulas. Adanya nyeri disebabkan oleh adanya gangguan pada ramus genitofemoralis N. genitalis yang merangsang pusat nyeri di sistem saraf pusat dimana perangsangan ke saraf pusat membutuhkan asetilkolin sebagai neurotransmitter yang juga merangsang reseptor muntah di CTZ. Adanya pernyataan bahwa Bambang adalah seorang yang banyak aktivitas,bahkan 3 jam sebelumnya masih bermain sepak bola dapat memicu pergerakan testis yang berlebihan dimana dapat memacu terjadinya torsio testis.
Dari anamnesis, penderita torsio testis mengalami nyeri dan pembengkakan scrotum, sakit peru hebat, kadang disertai mual dan muntah, dimana semua itu terjadi mendadak.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan kepada pasien, didapatkan hasil keadaan umum tampak kesakitan dan tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan tanda vital dilakukan untuk mengetahui level bahaya dari torsi testis, selain juga dilakukan pemeriksaan abdomen. Pada pemeriksaan fisik, scrotum kiri pasien yang tampak lebih besar, dikarenakan pada torsio testis terjadi kongesti darah pada plexus pampiniformis.
Pada torsio testis yang telah lama berlangsung maka testis menyatu dengan epididimis dan sukar dipisahkan, keduanya membengkak, timbul effusian, hiperemia, pembengkakan kulit dan subkutan. Namun, pada pasien, warna scrotum kanan kiri sama, tidak disebutkan adanya hiperemi, karena torsi yang terjadi belum lama berlangsung. Pada sisi yang terkena, testis cenderungg lebih tinggi dan horizontal.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis torsio testis adalah pemeriksaan laboratorium, stetoskop doppler, ultrasonography doppler, dan sintigrafi testis. Pada pemeriksaan darah, tidak didapatkan adanya tanda inflamasi, kecuuali pada torsio testis yang sudah berlangsung lama. Pemeriksaan dengan stetoskop doppler, ultrasonography doppler, dan sintigrafi testis dilakukan untuk mengetahui aliran darah ke testis. Pada torsio testis tidak didapatkan adanya aliran darah ke testis, sedangkan pada keradangan akut testis terjadi peningkatan aliran darah ke testis.
Pasien disarankan melakukan operasi segera, dengan alasan untuk menghindari kemandulan. Pada torsio yang dibiarkan, testis akan kekurangna aliran darah yang menyebabkan nekrosis, dimana sel germinativum rusak dan tisak bisa melakukan spermatogenesis, sehingga kemandulan pun terjadi.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pasien pada kasus di scenario mengalami torsio testis.
2. Torsio testis banyak terjadi pada usia dewasa muda (remaja).
3. Diagnosis banding dari torsio testis yang palimg mendekati antara lain epididimitis akut, , orchitis, tumor testis, dan hernia scrotalis.
4. Torsio testis yang tidak ditangani dengan cepat dapat meyebabkan kemandulan.
B. Saran
1. Menghindari hal-hal yang menjadi pemicu terjadinya torsio testis seperti bergerak berlebihan, rangsangan seksual, perubahan suhu mendadak, ketakutan, trauma skrotum, dll.
2. Melakukan koreksi secepatnya agar tidak menimbulkan penurunan fertilitas di kemudian hari.



DAFTAR PUSTAKA

Boddy. A.M, Madden.N.P : Testicular Torsion. In Whitfield.H.N (ed), Rob&Smith Operative Surgery: Genitourinary Surgery, Vol 2, Operation in Urology, Churchill Fifth ed, Butterworth-Heinemann, London 1993: 741-3
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: ,1002-1004, 1018-1020,1052
Mansjoer, A.2000.Kapita Selekta Indonesia .Penerbit Media Aesculapius FK UI:Jakarta
Mitchall P., 1995, Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, Gajah Mada Press, Yogyakarta
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Reynard.J : Torsion of the testis and testicular appendages. In: Reynard.J, Brewster.S, Biers.S (eds), Oxford Handbook of Urology, Oxford University Press, New York 2006: 452



Sabtu, 01 Mei 2010

Striktur Uretra

LAPORAN KELOMPOK

BLOK XV UROGENITAL

SKENARIO 1

GAGAL GINJAL AKUT PADA PENDERITA

STRICTURE URETHRA YANG MENOLAK

UNTUK DILAKUKAN TINDAKANHEMODIALISIS

OLEH :

1. HERRY PRASETYANTO G0008105

2. IKE PRAMASTUTI G0008107

3. IMAM RIZALDI G0008109

4. IRA RISTINAWATI G0008111

5. IZZATUL MUNA G0008113

6. KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115

7. NURSANTY S. G0008231

8. REDYA AYU T. G0008233

9. RESCHITA ADITYANTI G0008235

10. RIESKA WIDYASWARI G0008237

11. SALMA ASRI NOVA G0008239

KELOMPOK 9

NAMA TUTOR : dr. Achmadi Suroso, SpM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2010

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Uretramerupakan bagian terpenting dari saluran kemih. Pada pria dan wanita, uretramempunyai fungsi utama untuk mengalirkan urin keluar dari tubuh. Saluran uretrajuga penting dalam proses ejakulasi semen dari saluran reproduksi pria. Uretra pria berbentuk pipa yang menyerupai alat penyiram bunga.

Pada striktur uretra terjadipenyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya jaringan fibrotik padadinding uretra.Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam berkemih, mulai darialiran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat mengalirkan urinkeluar dari tubuh. Urin yang tidak dapat keluar dari tubuh dapat menyebabkanbanyak komplikasi, dengan komplikasi terberat adalah gagal ginjal.

Striktur uretra masih merupakanmasalah yang sering ditemukan pada bagian dunia tertentu. Striktur uretra lebihsering terjadi pada pria dari pada wanita, karena uretra pada wanita lebihpendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra dapatmenyebabkan striktur. Orang dapat terlahir dengan striktur uretra, meskipun hal itu jarang terjadi.

Skenario I: Takut Cuci Darah

Lima hari yang lalu Joni (25 tahun) datang ke RSDM karena tidak bisa buang air kecil. Sebelumnya setiap buang air keil pancaran urin kecl dan harus mengejan. Oleh dokter dicoba dipasang kateter urin per uretra, tapi tidak berhasil, dan pasien menolak untuk dilakukan tindakan pemasangan kateter suprapubik. Oleh dokter di UGD didiagnosis menderita stricture urehra dan harus dioperasi. Pasien menjadi takut dan memilih untuk pulang paksa.

Setelah dua hari berada di rumah Joni menjadi lemas, dan muntah-muntah. Karena gejala tidak menghilang dan bertambah berat, Joni dibawa keluarganya ke RSDM lagi. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dokter menyarankan Joni untuk menjalani operasi, tetapi sebelumnya Joni harus cuci darah.

Keluarga Joni, sebetulnya tidak setuju bila Joni harus menjalani cuci darah. Mereka khawatir kalau Joni akan “kecanduan cuci darah”. Hal yang mendasari pemikiran keluarga adalah kejadian yang menimpa tetangga mereka yang bernama Pak Darno. Pak Darno memang telah mengidap infeksi ginjal selama bertahun-tahun dan menjalani cuci darah rutin 2x seminggu dengan pertimbangan hasil perhitungan CCT kurang dari 10 cc/menit.

Akan tetapi dokter yang merawat Joni menjelaskan, bahwa apa yang dialami Joni dan Pak Darno berbeda. menurut dokter, jika dilakukan operasi dan cuci darah, kemungkinan fungsi ginjal Joni akan mengalami perbaikan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita?

2. Apa diagnosis penyakit diatas ?

3. Bagaimana hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhannya saat ini?

4. Bagaimana hasil pemeriksaan pada penderita?

5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit yang diderita pasien?

C. Tujuan

1. Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita

2. Menentukan hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhannya saat ini

3. Mengetahui hasil pemeriksaan pada penderita

4. Mengetahui kemungkinan diagnosis penyakit pasien

5. Mengetahui penatalaksanaan penyakit pasien

D. Manfaat

1. Membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik

2. Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar

3. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem urogenital

4. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem urogenital

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-buli sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi. Uretra pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretra posterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra anterior dibagi menjadi meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus uretra. Dalam keadaan normal lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan wanita 9 mm.

1. Uretra bagian anterior

Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran ini dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga kalau memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah.

2. Uretra bagian posterior

Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi). Uretra yang dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian selanjutnya adalah uretra membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang membentuk sfingter. Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan kemih dan berhenti pada waku berkemih. Uretra membranacea terdapat dibawah dan dibelakang simpisis pubis, sehingga trauma pada simpisis pubis dapat mencederai uretra membranasea.

B. Definisi Striktur Urethra

Stricture urethra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya akibat infeksi, trauma uretra atau kelainan kongenital.

C. Etiologi Striktur Urethra

1) Kongenital

Hal ini jarang terjadi. Misalnya:

a) Meatus kecil pada meatus ektopik pada pasien hipospodia.

b) Divertikula konaenital -> penyebab proses striktura uretra.

2) Trauma

Merupakan penyebab terbesar striktura (fraktur pelvis, trauma uretra anterior, tindakan sistoskopi, prostatektomi, katerisasi).

a) Trauma uretra anterior, misalnya karena straddle injury. Pada straddle injury, perineal terkena benda keras, misalnya plantangan sepeda, sehingga menimbulkan trauma uretra pars bulbaris.

b) Fraktur/trauma pada pelvis dapat menyebabkan cedera pada uretra posterior. Jadi seperti kita ketahui, antara prostat dan os pubis dihubungkan oleh lig. puboprostaticum. Sehingga kalau ada trauma disini, ligamentum tertarik, uretra posterior bisa sobek. Jadi memang sebagian besar striktura uretra terjadi dibagian-bagian yang terfiksir seperti bulbus dan prostat. Di pars pendulan jarang terjadi cedera karena sifatnya yang mobile.

c) Kateterisasi juga bisa menyebabkan striktura uretra bila diameter kateter dan diameter lumen uretra tidak proporsional.

3) Infeksi, seperti uretritis, baik spesifik maupun non spesifik (GO, TBC).
Kalau kita menemukan pasien dengan urteritis akut, pasien harus diberi tahu bahwa pengobatannya harus sempurna. Jadi obatnya harus dibeli semuanya, jangan hanya setengah apalagi sepertiganya. Kalau pengobatannya tidak tuntas, uretritisnya bisa menjadi kronik. Pada uretritis akut, setelah sembuh jaringan penggantinya sama dengan iarinqan asal. Jadi kalau asalnya epitel squamous, jaringan penggantinya juga epitel squamous. Kalau pada uretritis kronik, setelah penyembuhan, jaringan penggantinya adalah jarinqan fibrous. Akibatnya lumen uretra menjadi sempit, dan elastisitas ureter menghilang. Itulah sebabnya pasien harus benar-benar diberi tahu agar menuntaskan pengobatan. Di dalam bedah urologi dikatakan bahwa sekali striktur maka selamanya striktur.

4) Tumor

Tumor bisa menyebabkan striktura melalui dua cara, yaitu proses penyembuhan tumor yang menyebabkan striktura uretra, ataupun tumornya itu sendiri yang menaakibatkan sumbatan uretra.

D. Patofisiologi Gastritis

Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal. Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.

Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat) yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra, sehingga terjadi striktur uretra.

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu derajat:

1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra

2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra

3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra

Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

E. Manifestasi Klinis

1.Pancaran air kencing lemah

2. Pancaran air kencing bercabang

Pada pemeriksaan sangat penting untuk ditanyakan bagaimana pancaran urinnya. Normalnya, pancaran urin jauh dan diameternya besar. Tapi kalau terjadi penyempitan karena striktur, maka pancarannya akan jadi turbulen.
3. Frekuensi

Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal, yaitu lebih dari tujuh kali. Apabila sering krencing di malam hari disebut nocturia. Dikatakan nocturia apabila di malam hari, kencing lebih dari satu kali, dan keinginan kencingnya itu sampai membangunkannya dari tidur sehingga mengganggu tidurnya.
4. Overflow incontinence (inkontinensia paradoxal)

Terjadi karena meningkatnya tekanan di vesica akibat penumpukan urin yang terus menerus. Tekanan di vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan di uretra. Akibatnya urin dapat keluar sendiri tanpa terkontrol. Jadi disini terlihat adanya perbedaan antara overflow inkontinensia (inkontinesia paradoksal) dengan flow incontinentia. Pada flow incontinenntia, misalnya akibat paralisis musculus spshincter urtetra, urin keluar tanpa adanya keinginan untuk kencing. Kalau pada overflow incontinence, pasien merasa ingin kencing (karena vesicanya penuh), namun urin keluar tanpa bisa dikontrol. Itulah sebabnya disebut inkontinensia paradoxal.
5. Dysuria dan hematuria

6. Keadaan umum pasien baik

7. Buruk bila telah lama akibat adanya perubahan pada faal ginjal : infeksi à strikturà refluks àhidroureter àhidronefrosis à faal ginjal turun.

F. Diagnosis

· Penegakan Diagnosis

1. Pemeriksaan Fisik

* Anamnesa:

Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari penyebab striktur uretra.

* Pemeriksaan fisik dan lokal:

Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra, infiltrat, abses atau fistula.

2. Pemeriksaan Penunjang

* Laboratorium

- Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi

- Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal

* Uroflowmetri

Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan ada obstruksi.

* Radiologi

Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi.

* Instrumentasi

Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli-buli. Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra.

* Uretroskopi

Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika diketemukan adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.

· Diagnosis Banding

1. Batu Saluran Kemih (Urolithiasis)

a. Batu Pelvis Ginjal

Batu pielum didapatkan dalam bentuk yang sederhana sehingga hanya menempati bagian pelvis, tetapi dapat juga tumbuh mengikuti bentuk susunan pelviokaliks, sehingga bercabang menyerupai tanduk rusa. Kadang batu hanya terdapat di suatu kaliks. Batu pelvis ginjal dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala batu saluran kemih merupakan akibat dari obstruksi aliran kemih atau infeksi.

Nyeri di daerah pinggang dapat dalam bentuk pegal hingga kolik atau nyeri yang terus menerus dan hebat karena adanya pionefrosis. Pada pemeriksaan fisik mungkin kelainan sama sekali tidak ada, sampai mungkin terabanya ginjal yang membesar akibat adanya hidronefrosis. Nyeri dapat berupa nyeri tekan atau ketok pada daerah arkus costa pada sisi ginjal yang terkena. Sesuai dengan gangguan yang terjadi, batu ginjal yang terletak di pelvis dapat menyebabkan terjadinya hidronefrosis, sedangkan batu kaliks pada umumnya tidak memberikan kelainan fisik

b. Batu Ureter

Anatomi ureter menunjukkan beberapa tempat penyempitan yang memungkinkan batu ureter dapat terhenti, karena adanya peristaltis maka akan terjadi gejala kolik yaitu nyeri yang hilang timbul disertai perasaan mual dengan atau tanpa muntah dengan nyeri alih khas. Selama batu bertahan di tempat yang menyumbat, selama itu kolik akan datang sampai batu bergeser dan memberi kesempatan pada air kemih untuk lewat.

Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan kemudian keluar bersama kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke kandung kemih dan kemudian berupa nidus menjadi batu kandung kemih yang besar. Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan menyebabkan obstruksi kronik dengan hidroureter yang mungkin asimptomatik. Tidak jarang terjadi hematuria yang didahului oleh serangan kolik. Bila keadaan obstruksi terus berlangsung, lanjutan dari kelainan yang terjadi dapat berupa hidronefrosis dengan atau tanpa pielonefritis, sehingga menimbulkan gambaran infeksi umum.

c. Batu Vesica Urinaria

Karena batu menghalangi aliran air kemih akibat penutupan leher kandung kemih, maka aliran yang mula-mula lancar secara tiba-tiba akan terhenti dan menetes disertai dengan rasa nyeri. Pada anak, menyebabkan anak yang bersangkutan menarik penisnya sehingga tidak jarang dilihat penis yang agak panjang. Bila pada saat sakit tersebut penderita berubah posisi maka suatu saat air kemih akan dapat keluar karena letak batu yang berpindah. Bila selanjutnya terjadi infeksi yang sekunder, maka nyeri menetap di suprapubik

d. Batu Postat

Pada umunya batu prostat juga berasal dari air kemih yang secara retrograde terdorong ke dalam saluran prostat dan mengendap, yang akhirnya berupa batu yang kecil. Pada umumnya batu ini tidak memberikan gejala sama sekali karena tidak menyebabkan gangguan pasase air kemih

e. Batu Urethra

Batu uretra umumnya merupakan batu yang berasal dari ureter atau vesika urinaria yang oleh aliran kemih sewaktu miksi terbawa ke uretra, tetapi menyangkut di tempat yang agak lebar. Tempat uretra yang agak lebar ini adalah di pars bulbosa dan di fossa navikular. Bukan tidak mungkin dapat ditemukan di tempat lain. Gejala yang ditimbulkan umumnya sewaktu miksi tiba-tiba terhenti, menjadi menetes dan terasa nyeri. Penyulit dapat berupa terjadinya divertikel, abses, fistel proksimal, dan uremia karena obstruksi urin

1. Karsinoma Prostat

Ca Prostat adalah penyakit kanker yang menyerang kelenjar prostat dimana sel-sel kelenjar prostat tumbuh abnormal dan tidak terkendali. Keganasan prostate merupakan keganasan saluran kemih kedua paling sering dijumpai sesudah keganasan kandung kemih. Jarang ditemukan angka kejadian keganasan prostat yang tinggi di dalam satu keluarga. Keganasan prostat sama dengan prostat normal, untuk pertumbuhan dan perkembangannya tergantung pada hormon androgen. Hal ini tidak berarti bahwa karsinoma prostat disebabkan oleh hormon androgen. Banyak keganasan prostat sensitif terhadap hormon, sehingga dapat digunakan pengobatan hormonal.

Keganasan prostat biasanya beruapa adenokarsinoma yang berasal dari kelenjar prostat yang menjadi hipotrofik pada usia dekade kelima sampai ke tujuh. Karsinoma prostat biasanya berupa lesi multisentrik. Derajad keganasan didasarkan pada diferensiasi kelenjar, atipi sel, dan kelainan inti sel. Derajad G I yaitu berdeferensiasi baik, dejajad G II yang berdeferensiasi sedang, dan derajad G-III yang berdeferensiasi buruk. Pembagian derajad keganasan ini merupakan indikator pertumbuhan dan progresivitas tumor. Karsinoma prostat menyebar kekelenjar limfe di panggul kemudian ke kelenjar limfe retroperitoneal atas. Penyebaran hematogen terjadi melalui v. Vertebralis ke tulang lumbal, dan tulang iga, artinya terutama tualang yang berdekatan pada prostat. Metastasis tulang sering bersifat osteoklasik.

Karsinoma prostat stadium A biasanya di temukan secara kebetulan pada pemeriksaan histologik setelah prostatektomi atau TUR. Pada stadium lain karsinoma prostat biasanya ditemukan pada pemeriksaan colok dubur dan teraba nodul. Karena pada stadium permulaan karsinoma prostat tidak memberikan gejala atau tanda klinik maka kebanyakan penderita baru datang pada stadium lanjut dengan keluhan obstruksi infravesika / LUTS, retensi urune, fematuri, hidronefrosis, gagal ginjal atau tanda metastasis ke tulang atau organ lain, seperti gejala lesi medula spinalis, nyeri pada tulang, fraktur patalogik. Kadang metastasis ketualang pun tidak memberi keluhan yang jelas. Keganasan prostat sering ditemukan secara kebetulan pada penderita yang disangkan menderita hipertrofi prostat, pada pemeriksaan patologik ditemukan karsinoma insidental.

Faktor utama yang berpengaruh pada penyebarannya adalah lokasi kanker. Kemungkinan menyebar lebih besar bila terdapat di apeks atau di basal karena lemahnya kapsul pada lokasi ini. Metastasis hematogenik yang sering terjadi adalah penyebaran ke tulang vertebra lumbal, tualang panggul, tulang femur proksimal, tulang iga, tulang sternum, dan tulang kepala.

Pada pemeriksaan biasanya didapatkan gejala-gejala iritasi (sering kencing/frequency, tergesa-gesa ingin kencing/urgency, sering kencing malam hari/nocturia dan sulit menahan kencing/urge incontinen), atau gejala-gejala obstruksi (kencing harus menunggu lama/hesitancy, pancaran kencing lemah, kencing tidak lampias, terputus-putus/intermittency, dan harus mengedan untuk memulai kencing/straining). Kemudian riwayat keluarga, akan ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang sakit kanker prostat atau meninggal karena kanker prostat. Riwayat makanan (banyak mengkonsumsi lemak jenuh/lemak hewani) juga biasa ditanyakan karena termasuk salah satu faktor resiko.

G. Komplikasi

· GAGAL GINJAL AKUT

1. DEFINISI
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) laju filtrasi glomerulus (LFG), di sertai akumulasi nitrogen sisa metabolisme (ureum dan kreatinin).

2. ETIOLOGI

* GGA prarenal
I. Hipovolemia
A. Perdarahan, luka bakar, dehidrasi
B. Kehilangan cairan melalui gastrointestinal; muntah, drainase bedah, diare
C. Kehilangan cairan melaui ginjal; diuretik, diuresis osmotik (e.g diabetes melitus), insufisiensi adrenal
D. Pengumpulan pada ruang ekstravaskular; pankreatitis, peritonitis, trauma, luka bakar, hipoalbuminemia berat.
II. Penurunan cardiac output
A. Penyakit miokardium, katup, dan perikardium; aritmia, tamponade
B. Lainnya; hipertensi pulmonal, embolus pulmoner masif.
III. Gangguan rasio tahanan vaskular sistemik ginjal
A. Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, reduktor afterload, anestesi, anafilaksis
B. Vasokonstriksi renal: hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, tacolimus, amfoterisin B
C. Sirosis dengan asites (sindrom hepatorenal)
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan respon autoregulasi ginjal; Inhibitor siklooksigenase, Angiotensin-converting enzyme inhibitor
V. Sindrom Hiperviskositas (jarang); Multiple Myeloma, makroglobulinemia, polisitemia

* GGA renal/intrinsik
I. Obstruksi renovaskular (bilateral atau unilateral)
A. Obstruksi arteri renalis; trombosis, embolus, vaskulitis
B. Obstruksi vena renalis; trombosis, kompresi
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
A. Glomerulonefritis dan vaskulitis
B. Sindrom hemolitik uremik, trombotik trombositopenik purpura, koagulasi intravaskular disseminata, lupus eritematosus sistemik (SLE), skleroderma
III. Nekrosis tubular akut
A. Iskemia; untuk GGA prarenal (hipovolemia, curah jantung rendah, vasokonstriksi renal, vasodilatasi sistemik)
B. Toksin
1. Eksogen; radiokontras, siklosporin, antibiotik (e.g aminoglikosida), kemoterapi (e.g cisplatin), pelarut organik (e.g etilen glikol), asetaminofen.
2. Endogen; rhabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, plasma cell dyscrasia (e.g; myeloma)
IV. Nefritis interstisial
A. Alergi; antibiotik (e.g;
β-lactams, sulfonamid, trimetoprim, rifampisin), anti-inflamasi nonsteroid, diuretika, kaptopril
B. Infeksi; bakterial (e.g; pyelonefritis akut, leptospirosis), viral (e.g; cytomegalovirus), fungal (e.g; kandidiasis)
C. Infiltrasi; limfoma, leukemia, sarkoidosis
D. Idiopatik
V. Deposisi intratubular dan obstruksi;
Protein myeloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamid
VI. Penolakan cangkok ginjal

* GGA pascarenal (obstruktif)
I. Ureteral
Kalkulus, bekuan darah, peluruhan papila, kanker, kompresi eksternal (e.g; fibrosis retroperitoneal)
II. Kandung kemih
Neurogenic bladder, hipertrofi prostat, kalkulus, kanker, bekuan darah
III.
Uretra
Striktur, katup kongenital, phimosis

3. PATOGENESIS

a. GAGAL GINJAL AKUT PRARENAL

Karena berbagai sebab pra-renal, volume sirkulasi darah total atau efektif menurun, curah jantung menurun, dengan akibat darah ke korteks ginjal menurun dan laju filtrasi glomerulus menurun. Tetapi fungsi reabsorbsi tubulus terhadap air dan garam terus berlangsung. Oleh karena itu pada GGA prarenal ditemukan hasil pemeriksaan osmolalitas urin yang tinggi >300 mOsm/kg dan konsentrasi natrium urin yang rendah <20>1%). Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk membedakan apakah pasien GGA prarenal yang terjadi sudah menjadi renal. GGA renal terjadi apabila hipoperfusi prarenal tidak cepat ditanggulangi sehingga terjadi kerusakan parenkim ginjal.

Beberapa mekanisme terjadi pada hipoperfusi. Peningkatan pelepasan renin dari aparatus jukstaglomerularis menyebabkan peningkatan produksi aldosteron, dimana terjadi peningkatan resorbsi natrium di tubulus kolektivus. Sebagai tambahan, penurunan volume cairan ekstraseluler menstimulasi pelepasan hormon antidiuretik (ADH), terjadilah peningkatan absorbsi air di medulla. Hasil akhirnya adalah penurunan volume urin, penurunan kadar natrium urin, dimana semua ini adalah karakteristik dari GGA prarenal.

Pembedaan ini penting karena GGA prarenal memberi respons diuresis pada pemberian cairan adekuat dengan atau tanpa diuretika. Sedangkan pada GGA renal tidak. Penyebab tersering pada anak adalah dehidrasi berat karena muntah dan diare, perdarahan, luka bakar, syok septik, sindrom nefrotik, pembedahan jantung, dan gagal jantung.

b. GAGAL GINJAL AKUT RENAL

Berdasarkan etiologi penyakit, penyebab GGA renal dapat dibagi menjadi beberapa kelompok; kelainan vaskular, glomerulus, tubulus, interstisial, dan anomali kongenital. Tubulus ginjal karena merupakan tempat utama penggunaan energi pada ginjal, mudah mengalami kerusakan bila terjadi iskemia atau oleh obat nefrotoksik oleh karena itu kelainan tubulus berupa nekrosis tubular akut adalah penyebab tersering dari GGA renal.

1. Kelainan tubulus (Nekrosis tubular akut)

Bentuk nekrosis tubulus ada 2 tipe. Tipe pertama terjadi akibat zat nefrotoksik misalnya merkuriklorida; terjadi kerusakan sel-sel tubulus yang luas (tubulolisis) tetapi membran basal tubulus tetap utuh. Sel-sel tubulus yang mengalami nekrosis masuk ke lumen tubulus dan dapat menyumbat lumen. Tipe kedua akibat iskemia, kerusakan terjadi lebih distal dan setempat dengan kerusakan fokal pada membran basal tubulus (tubuloreksis). NTA tipe iskemik ditemukan akibat gastroenteritis dehidrasi, sindrom nefrotik, luka bakar, septisemia gram negatif dan asfiksia perinatal. Sedangkan tipe nefrotoksik ditemukan akibat karbon tetraklorida, hemoglobin, atau mioglobinuria, obat aminoglikosida. Mekanisme terjadinya gagal ginjal pada NTA masih belum jelas. Beberapa mekanisme yang dianggap berperan adalah perubahan hemodinamik intrarenal, obstruksi tubulus oleh sel dan jaringan yang rusak dan perembesan pasif filtrat tubulus melalui dinding tubulus yang rusak masuk ke jaringan interstisial dan peritubular. Beberapa mediator diduga berperan sebagai penyebab vasokonstriksi ginjal yaitu angiotensin II, menurunnya vasodilator prostaglandin, stimulasi saraf simpatis, vasopresin, dan endotelin

2. Kelainan vaskular

Kelainan vaskular sebagai penyebab GGA dapat berupa trombosis atau vaskulitis. Trombosis arteri atau vena renalis dapat terjadi: pada neonatus yang mengalami kateterisasi arteri umbilikalis, diabetes meliomerulus, penyakit ini paling sering menyertai suatu episode gastroenteritis yang disebabkan oleh strain enteropatogen Escherichia coli (0157:H7), organisme ini menyebarkan toksin yang disebut verotoksin yang tampaknya diabsorbsi dari usus dan memulai kerusakan sel endotel. Pada SHU terjadi kerusakan sel endotel glomerulus yang mengakibatkan terjadinya deposisi trombus trombosit-fibrin. Selanjutnya terjadi konsumsi trombosit, kerusakan sel darah merah eritrosit yang melalui jaring-jaring fibrin dan obliterasi kapiler glomerulus, kelainan ini disebut mikroangiopati. Kelainan vaskuler yang lain yang dapat terjadi adalah vaskulitis.

3. Kelainan glomerulus

GGA karena kelainan glomerulus dapat ditemukan pada:

1. Glomerulonefritis akut pasca streptokok (GNAPS)

2. Glomerulonefritis membranoproliferatif tipe 2 (dense deposit)

3. Glomerulonefritis kresentik idiopatik

c. GAGAL GINJAL AKUT PASCARENAL

Keadaan pascarenal adalah suatu keadaa dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat.obstruksi aliran ini akan mengakibatkan kegagalan filtrasi glomerulus dan transfor tubulus sehingga dapat mengakibatkan kerusakan yang permanen, tergantung berat dan lamanya obstruksi. Begatu terjadi hambatan aliran urin, terjadi kenaikan yang segara tekanan hidraulik tubulus proksimal, yang kemmudian di kompensasi dengan vasodilatasi arteriol eferen ginjal yang di mediasi oleh produksi prostaglandin; prostaksiklin dan prostaglandin E2.

4. DIAGNOSIS PENYEBAB GGA

Anamnesis
Pada GGA perlu di perhatikan betul banyaknya asupan cairan (input), kehilangan cairan (output) melalui: urin, muntah, diare, keringat yang berlebih,dll, serta pencatatan berat badan pasien. Perlu di perhatikan kemungkinan kehilangan cairan ke ekstravaskular (redistribusi) seperti pada peritonitis, asetis, ileus paralitik, edema anasarka, trauma luas (kerusakan otot atau crush syndrome). Riwayat penyakit jantung, gangguan hemodinamik, adanya penyakit sirosis hati, hipoalbuminemia, alergi yang mengakibatkan penurunan volume efektif perlu selaludi tanyakan.
Pemeriksaan Fisis

Ada 3 hal penting yang harus di dapatkan pada pemeriksaan fisis pasien dengan GGA.

1. penentuan status volume sirkulasi

2. apakah ada tanda-tanda obstruksi saluran kemih

3. adakah tanda-tanda penyakit sistemik yang mungkin menyebabkan gagal ginjal

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan kesadaran menurun sampai koma bila GGA telah berlangsung lama. Pasien umumnya menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam (Kussmaul) karena adanya asidosis metabolik. Pada pasien GGA berat dapat ditemukan sesak nafas yang hebat karena menderita gagal jantung atau edema paru. Hipertensi sering ditemukan akibat adanya overload cairan.

Tanda-tanda dehidrasi perlu dicari karena merupakan penyebab GGA pra-renal. Bila ada pasien ditemukan oliguria, takikardia, mulut kering, hipotensi ortostatik kemungkinan menyebabkan GGA prarenal. Pada pemeriksaan fisik perlu dicari tanda-tanda penyakit sistemik multiorgan seperti lupus eritematosus sistemik yaitu dengan memeriksa kulit, sendi, kelenjar getah bening. Pembesaran ginjal dapat ditemukan bila penyebabnya ginjal polikistik atau multikistik displastik atau hidronefrosis (uropati obstruktif). Retensi urin dengan gejala vesika urinaria yang teraba membesar menunjukkan adanya sumbatan dibawah vesika urinaria a.l katup uretra posterior.

Pemeriksaan Penunjang

* Analisis Urin

Berat jenis urin yang tinggi lebih dari 1.020 menunjukkan prarenal, GN akut awal, sindrom hepatorenal, dan keadaan lain yang menurunkan perfusi ginjal. Berat jenis isosmolal (1.010) terdapat pada NTA, pascarenal dan penyakit intertisial (tubulointertisial). Pada keadaan ini BJ urin dapat meningkat kalaudalam urin terdapat banyak protein, glukosa, manitol, atau kontras radiologik.
Gambaran yangkhas pada NTA adalah urin yang berwarna kecoklatan dengan silinder mengandung sel tubulus, dan silinder yang besar (coarsely granulat broad casts).
Adanya kristal urat pada GGA menunjukkan adanya nefropati asam urat yang sering di dapat pada sindrom lisis tumor setelah pengobatan leukimia, limfoma. Kristal oksalat terlihat pada GGA akibat etilen glikol yang umumnya di akibatkan percobaan bunuh diri.

* Penentuan Indikator Urin

Pada GGA prarenal aliran urin lambat sehingga lebih banyak ureum yang di absorpsihal ini menyebabkan perbandingan ureum/kretinin dalam darah meningkat.

* Pemeriksaan Pencitraan

Pada GGA pemeriksaan USG menjadi pilihan utama untuk memperlihatkan anatomiginjal, dapat di peroleh informasi mengenai besar ginjal, ada tau tidaknya batu ginjal dan ada atau tidaknya hidronefrosis. Pemeriksaan USG juga dapat menentukan apakah gangguan fungi ginjal ini sudah terjadi lama (GGK), yaitu apabila di temukan gambaran ginjal yang sudah kecil.

* Pemeriksaan Biopsi Ginjal dan Serologi

Indikasi yang memerlukan biopsi adalah apabila penyebab GGA tak jelas atau berlangsung lama, atau terdapat tanda glomerulonefrosis atau nefritis intertisisl.

7. KOMPLIKASI GAGAL GINJAL AKUT

Edema paru

Keadaan ini terjadi akibat ginjal tak dapat mensekresi urin, garam dalam jumlah yang cukup. Posisi pasien setengah duduk agar cairan dalam paru dapat didistribusi ke vaskular sistemik, di pasang oksigen, dan di berikan diuretik kuat (furosemid inj.).
Hiperkalemia
Mula-mula di berikan kalsium intravena (Ca glukonat) 10% sebanyak 10 ml yang dapat di ulangi sampai terjadi perubahan gelombang T. Belum jelas cara kerjanya, kadar kalium tak berubah, kerja obat ini pada jatung berfungsi untuk menstabilkan membran. Pengaruh obat ini hanya sekitar 20-60 menit.

Pemberian infus glukosa dan insulin (50 ml glukosa 50% dengan 10 U insulin kerja cepat) selama 15 menit dapat menurunkan kalium 1-2mEq/L dalam waktu 30-60 menit. Insulin bekerja dengan menstimulasi pompa N-K-ATPase pada otot skelet dan jantung, hati dan lemak, memasukkan kalium kedalam sel. Glukosa di tambahkan guna mencegah hipoglikemia.

Obat golongan agonis beta seperti salbutamol intravena (0,5mg dalam 15 menit) atau inhalasi nebuliser (10 atau 20mg) dapat menurunkan 1mEq/L. Obat ini bekerja dengan mengaktivasi pompa Na-K-ATPase. Pemberian sodium bikarbonat walaupun dapat menurukan kalium tidak begitu di anjurkan oleh karena menambah jumlah natrium, dapat menimbulkan iritasi, menurunkan kadar kalsium sehingga dapat memicu kejang. Tetapi bermanfaatapbila ada asidosis atau hipotensi.

8. PENATALAKSANAAN GAGAL GINJAL AKUT

* Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 mmol/hari diluar kekurangan hari sebelumnya atau 30ml/jam diluar jumlah urin yang di keluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus terus diawasi

* Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau hiperalimentasi intravena

* Mencegah dan memperbaiki hiperkalemia. Dilakukan perbaikan asidosis, pemberian glukosa dan insulin intavena, penambahan kalium, pemberian kalsium intravena pada kedaruratan jantung dan dialysis

* Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran nafas dan nosokomial. Demam harus segera dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.

* Mencegah dan memperbaiki pendarahan pendarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya pendarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin (misalnya ranitidin) diberikan pada pasien sebagai profilaksis.

* Dialysis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/liter. Secara umum continous haemofiltration dan dialisisperiyoneal paling baik dipakai diruang intensif, sedangkan dialysis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai tambahan untuk pasien katabolic yang tidak adekuat dengan dialysis peritoneal atau hemofiltasi.

7. HEMODIALISIS

Hemodialisis adalah sebuah terapi medis. Kata ini berasal dari kata haemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti dipisahkan. Hemodialisis merupakan salah satu dari Terapi Penggganti Ginjal, yang digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi gingjal, baik akut maupun kronik. Perinsip dasar dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses dufusi dan ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Hemodialisis dapat dikerjakan untuk sementara waktu (misalnya pada Gagal Ginjal Akut) atau dapat pula untuk seumur hidup (misalnya pada Gagal Ginjal Kronik)

Mesin HD terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler kepada dializer. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen.

Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dialisat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-145 meq/L. Bila kadar natrium lebih rendah maka resiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pascadialidis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum lebih banyak.

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekulibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia.

Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5mL/menit, yang didalam praktek dianggap demikian bila (TKK) ‹ 5 mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK yang ‹ 5mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu di mulai bila di jumpai salah satu dari hal tersebut di bawah:

- keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

- K serum › 6 meq/L

- Ureum darah › 200 mg/dl

- Ph darah ‹ 7,1

- Anuria berkepanjangan (› 5 hari)

- Fluid overloaded

Dialisis peritoneal merupakan teknik yang masih dipakai di beberapa rumah sakit karena tidak membutuhkan peralatan canggih seperti hemodialisis, dengan biaya yang relatif murah. Namun, tidak semua kasus dapat diatasi dengan dialisis peritoneal. Terapi ini terutama digunakan untuk gagal ginjal akut, pediatrik, geriatrik, atau pasien gawat darurat. Untuk kebanyakan kasus gagal ginjal, hemodialisis lebih optimal untuk dilakukan.

Untuk dialysis peritoneal akut biasa dipakai stylet-catheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk kedalam cavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam cavum Douglassi. Membrane peritoneum bertindak sebagai membrane dialysis yang memisahkan antara cairan dialysis dalam cavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di peritoneum.

Indikasi pemakaian dialysis peritoneal:

1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut)

2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, atau asam basa

3. Intoksikasi obat atau bahan lain

4. Gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik)

5. Keadaan klinis lain dimana DP telah terbukti manfaatnya.

Kontraindikasi dialysis peritoneal:

1. Kontraindikasi absolute: tidak ada.

2. Kontraindikasi relative: keadaan teknis penyulit atau penyebab komplikasi, seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis local, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intraabdominal yang belum diketahui sebabnya, luka bakar dindingg abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat.

Indikasi DP pada pasien gagal ginjal akut dilakukan atas dasar:

1. DP pencegahan: DP dilakukan setelah diagnosis GGA ditetapkan

2. DP dilakukan atas indikasi:

a. Indikasi klinis: keadaan umum jelek dan gejala klinis nyata

b. Indikasi biokimiawi: ureum darah >200 mg%

E. Penatalaksanaan Stricture Urethra

Jika pasien datang karena retensi urine, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine. Jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisis dan pemberian antibiotika. Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktura uretra adalah:

1. Businasi (dilatasi) dengan besi logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah merusak uretra sehingga menimbulkan luka yang pada akhirnya menimbulkan striktura lagi yang lebih berat. Tindakan ini dapat menimbulkan salah jalan.

2. Uretrotomi interna: memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktura total, sedangkan pada striktura yang lebih berat, pemotongan striktura uretra dikerjakan sevara visual memakai pisau Sachse.

3. Uretritomi eksterna: tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis di antara jaringan uretra yang masih sehat

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario pasien mengeluhkan beberapa gejala. Gejala yang dialami pasien berhubungan dengan stricture urethra yang didiagnosis oleh dokter di UGD. Lima hari yang lalu Joni datang dengan keluhan tidak bisa buang air kecil. Awal mulanya buang air kecil dengan pancaran urin kecil. Karena adanya penyumbatan di urethra sehingga terhalangi untuk mengeluarkan urin. Dalam kondisi kandung kemih terisi penuh bisa meregangkan otot-otot pada dinding kandung kemih kemudian merangsang saraf menuju pusat mikturisi di medulla spinalis dan kembali lagi melalui saraf efferent menyebabkan kontraksi muskulus detrusor urin dan relaksasi muskulus sphincter uretra. Namun karena terjadi penyumbatan pada urethra (stricture urethra), untuk mengeluarkan urin perlu “mengejan” secara volunter dengan cara kontraksi otot perut sehingga meningkatkan tekanan di dalam kandung kemih dan memungkinkan urin tambahan memasuki leher kandung kemih dan urethra posterior, selanjutnya meregangkan dindingnya, memicu reseptor regang, sehingga bisa menambah kontraksi dari muskulus detrusor urin, urin terdorong untuk keluar.

Pada pemasangan kateter urin per urethra tidak berhasil karena terjadi penyempitan urethra sehingga dilakukan pemasangan kateter suprapubik. Hal ini perlu dilakukan karena kandung kemih yang terisi penuh dengan urin jika tidak segera dikeluarkan dari tubuh akan menyebabkan kelainan-kelainan, seperti yang sudah terjadi pada pasien. Pasien merasakan lemas dan mau muntah disebabkan karena asidosis metabolik yaitu gangguan sistemik yang ditandai dengan penurunan primer kadar bikarbonat plasma sehingga menyebabkan terjadinya penurunan pH (peningkatan ion hydrogen). Hal ini disebabkan karena kegagalan ginjal untuk mengekskresikan beban asam harian karena tertimbunnya urin dalam vesika urinaria.

Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dokter menyarankan Joni untuk menjalani operasi, tetapi sebelumnya Joni harus cuci darah. Hemodialisis dilakukan karena pasien telah mengalami asidosis metabolik dengan gejala lemas dan muntah sehingga urin yang terdapat dalam darah perlu dibersihkan terlebih dahulu. Mengenai asumsi keluarga pasien tentang “kecanduan cuci darah”, perlu ada edukasi dari dokter bahwa cuci darah atau hemodialisis tidak menyebabkan kecanduan. Cuci darah dilakukan hingga fungsi ginjal telah normal lagi. Sedangkan yang terjadi pada pak Darmo bukanlah “kecanduan cuci darah”, tetapi karena infeksi ginjal kronik yang diderita pak Darmo mungkin telah mengenai ginjalnya sehingga mempengaruhi fungsi ginjal, yang menyebabkan pak Darmo menjalani cuci darah secara rutin. Kalau pada pak Joni, kemungkinan ginjalnya belum mengalami kerusakan karena jika stricture urethranya segera ditangani fungsi ginjalnya akan mengalami perbaikan.

Tindak lanjut yang dilakukan pada pasien, dokter menyarankan harus dioperasi. Akan tetapi pasien menolak. Jika dalam waktu dekat pasien belum bersedia untuk menjalani operasi, stricture urethra bisa ditangani dengan cara dilatasi busi logam atau dari plastic. Namun, metode dilatasi ini tidak bisa bertahan lama. Oleh karena itu, perlu edukasi kepada pasien pentingnya dilakukan operasi.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien stricture urethra dengan komplikasi gagal ginjal akut

2. Ada hubungan antara pasien yang tidak mau melakukan hemodiálisis dengan terjadinya gagal ginjal akut

3. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis

B. Saran

1. Sebaiknya dokter yang merawat pasien lebih baik dalam melakukan edukasi pada pasien agar pasien mau untuk melakukan hemodialisis

2. Dokter jangan terlalu memaksakan kehendak pada pasien untuk mengambil satu jenis terapi apabila masih ada terapi lain ynag lebih mudah dan sebisa mungkin yang bersifat non invasif


DAFTAR PUSTAKA

Jong, Wim De, R. Sjamsuhidayat. 2004. Striktur Uretra. Dalam: Saluran Kemih Dan Alat Kelamin Lelaki, Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.

Mansjoer, A.2000.Kapita Selekta Indonesia .Penerbit Media Aesculapius FK UI:Jakarta

Mitchall P., 1995, Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, Gajah Mada Press, Yogyakarta

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.

Sabiston, David C. 1994. Penyakit Striktur Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar Bedah Bagian 2. EGC. Jakarta.

Sabiston, David C. 1994. Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar Bedah Bagian 2. EGC. Jakarta.