Rabu, 25 November 2009

Osteomyelitis

LAPORAN INDIVIDU

BLOK XI MUSKULOSKELETAL

SKENARIO 1

OSTEOMYELITIS SEBAGAI SUATU PENYAKIT INFEKSI DENGAN MANIFESTASI KLINIS NYERI PADA TUNGKAI BAWAH

OLEH :

1. HERRY PRASETYANTO G0008105

2. IKE PRAMASTUTI G0008107

3. IMAM RIZALDI G0008109

4. IRA RISTINAWATI G0008111

5. IZZATUL MUNA G0008113

6. KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115

7. NURSANTY S. G0008231

8. REDYA AYU T. G0008233

9. RESCHITA ADITYANTI G0008235

10. RIESKA WIDYASWARI G0008237

11. SALMA ASRI NOVA G0008239

KELOMPOK 9

NAMA TUTOR : dr. Lilik, SpPK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan bertanggung jawab terhadap pergerakan. Komponen utama sistem utama sistem muskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendo, ligamen, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur ini. Beragamnya jaringan dan organ sistem muskuloskeletal dapat menimbulkan berbagai macam gangguan. Beberapa gangguan tersebut timbul primer pada sistem itu sendiri, sedangkan gangguan yang berasal dari bagian lain tubuh tetapi menimbulkan efek pada sistem muskuloskeletal. Tanda utama gangguan sistem muskuloskeletal adalah nyeri dan rasa tidak nyaman , yang dapat bervariasi dari tingkat yang paling ringan sampai yang sangat berat (Price, Wilson, 2005).

Salah satu gangguan tersebut adalah osteomielitis. Osteomielitis adalah radang tulang yang disebabkan oleh organisme piogenik, walaupun berbagai agen infeksi lain juga dapat menyebabkannya, gangguan ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat tersebar melalui tulang, melibatkan sumsum, korteks, jaringan kanselosa, dan periosteum (Dorland, 2002).

Pada skenario pertama di blok muskuloskeletal yang berjudul “Nyeri Tungkai Bawah” ini, diceritakan seorang wanita umur 18 tahun, datang ke RS dengan nyeri tungkai bawah kanan, pyrexia, kemerahan, sinus di kulit yang hilang timbul. 2 tahun yang lalu mengalami kecelakaan sehingga terjadi patah tulang di tungkai bawah di mana tulang tampak dari luar. Kemudian dibawa ke dukun tulang. Pada pemeriksaan fisik sekarang didapatkan deformitas, scarrtissue diameter 10 cm pada region anterior tibia kanan. Sinus dengan discharge seropurulen melekat pada tulang di bawahnya, ekskoriasi kulit di sekitar sinus. Curiga adanya infeksi pada tulang, maka dilakukan plain foto dan didapatkan : penebalan periosteum, bone resorption, sclerosis sekitar tulang, involucrum, sequester, dan angulasi tibia dan fibula (varus). Pasien ini dinyatakan oleh dokter menderita osteomielitis. Pasien merupakan pemilik kartu asuransi kesehatan, akan tetapi kartu tersebut tidak bisa digunakan, sehingga pasien itu harus membayar seluruh biaya.

Mahasiswa diharapkan dapat memecahkan masalah pada skenario yang berkaitan mengenai ilmu dasar, patologi, interpretasi hasil pemeriksaan penunjang, serta penanganan dan prognosis terhadap penderita osteomielitis.

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa sinus di kulit pasien hilang timbul ?

2. Adakah hubungan RPD pasien 2 tahun yang lalu mengenai fraktur terbuka dengan penyakit yang dialaminya sekarang ?

3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan plain foto ?

4. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi penyakit pasien ditinjau dilihat dari gejala klinis dan hasil pemeriksaan?

5. Bagaimana proses osteogenesis, osifikasi, dan resorpsi tulang ?

6. Apa penatalaksanaan yang terbaik untuk pasien dalam kasus ini ?

7. Bagaimana prognosis pasien ?

8. Bagaimana solusi untuk masalah pasien yang tidak bisa menggunakan kartu Askes?

C. TUJUAN PEMBELAJARAN dan MANFAAT

1. Mahasiswa mengetahui ilmu-ilmu dasar mengenai proses pembentukan tulang, terutama ditinjau dari segi fisiologi dan histologi

2. Mahasiswa mengetahui definisi, klasifikasi, mekanisme patologi, penegakkan diagnosis, tindakan intervensi, serta prognosis pada pasien yang terkena osteomielitis

3. Mahasiswa dapat memberikan solusi yang tepat bagi pasien yang kartu Askesnya sudah tidak dapat digunakan lagi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR-DASAR FISIOLOGI DAN HISTOLOGI TULANG

Tulang terdiri atas matriks organik keras yang sangat diperkuat dengan garam-garam kalsium. Matriks organik tulang terdiri atas serat kolagen sebesar 90 sampai 95 persen, dan sisanya dibentuk oleh medium gelatinosa homogen yang disebut substansi dasar. Serat kolagen terbentang terutama di sepanjang garis tekanan dan memberikan kekuatan tulang terhadap tarikan. Substansi dasar terdiri atas cairan ekstrasel dan proteoglikans, terutama kondroitin sulfat dan asam hialuronat.

Timbunan garam kristalin dalam matriks organik tulang teruatama terdiri atas kalsium dan fosfat. Rumus kimia garam kristalin utama, yang dikenal sebagai hidroksiapatit adalah sebagai berikut : Ca10(PO4)6(OH)2 . Ion magnesium, natrium, kalium, dan karbonat juga dijumpai di antara garam-garam tulang, meskipun studi difraksi sinar- X gagal menunjukkan kristal yang dibentuk ion-ion tersebut (Guyton, Hall, 2007).

Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel: osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteoklas adalah sel-sel berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorpsi. Osteoklas bersifat mengikis tulang karena sels-sel ini menghasilkan enzim-enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah.

Pada keadaan normal, tulang mengalami pembentukan dan absorpsi pada suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa pertumbuhan kanak-kanak ketika terjadi lebih banyak pembentukan daripada absorpsi tulang. Metabolisme tulang diatur oleh beberapa hormon. Suatu peningkatan kadar hormon paratiroid (PTH) mempunyai efek langsung dan segera pada mineral tulang, meyebabkan kalsium dan fosfat diabsorpsi dan bergerak memasuki serum. Di samping itu, peningkatan kadar PTH secara perlahan-lahan menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklas, sehingga terjadi demineralisasi. Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absorpsi tulang seperti yang terlihat pada kadar PTH yang tinggi. Vitamin D dalam jumlah sedikit membantu kalsifikasi tulang (Price, Wilson, 2005).

Proses osteogenesis tulang berkembang melalui dua cara, yaitu :

1). Osifikasi intramembranosa. Sel-sel mesenkim dalam membran mesenkim berdiferensiasi menjadi fibroblas untuk membentuk sabut-sabut kolagen sehingga terbentuklah jaringan pengikat longgar berupa membran. Osifikasi intramembranosa dimulai ketika sekelompok sel mesenkim yang berdiferensiasi menjadi osteoblas di dalam membran jaringan pengikat yang telah terbentuk. Selanjutnya, tempat itu disebut sebagai pusat osifikasi dan osteblas mulai membentuj matriks dan ia terbenam dalam matriks yang dibentuknya sendiri dan berubah menjadi osteosit. Akhirnya, terjadi pengendapan bahan-bahan mineral dan terbentuklah jaringan tulang muda disebut trabekula tulang sebagi hasil penggabungan dari perluasan pusat-pusat osifikasi.

2). Osifikasi endokondral. Masuknya kapiler darah sel-sel bagian dalam perikondrium yang berdiferensiasi menjadi osteoblas, yang selanjutnya akan membentuk jaringan tulang di bagian tepi dari model tulang rawan hialin. Perikondrium selanjutnya menjadi periosteum. Jaringan tulang yang baru terbentuk disebut periostal bone collar atau periostal band. Setelah terbentuk periostal bone collar, matriks tulang rawan di bagian dalam akan mengalami pengapuran, sel-selnya hipertrofi, dan akhirnya mati dengan meninggalkan ruang-ruang kosong. Periostal bud yang terdiri atas osteoblas dan sel-sel osteogenik disertai kapiler darah periosteum memasuki ruang-ruang kosong akibat kematian kondrosit. Osteoblas segera mensintesis matriks dasar yang dilanjutkan dengan proses mineralisasi sehingga terbentuk jaringan tulang muda sebagai pusat osifikasi primer (Tim Lab Histologi FK UNS)

B. PATOFISIOLOGI OSTEOMYELITIS

Infeksi yang berhubungan dengan osteomyelitis dapat terlokalisir dan menyebar di periosteum, korteks, sum-sum tulang, dan jaringan kansellosa. Bakteri patogen yang menginfeksi bergantung pada usia pasien dan mekanisme infeksi.
Infeksi pada tulang dapat terjadi dengan dua mekanisme yaitu melalui aliran darah tulang dan melalui inokulasi langsung dari jaringan sekitar.

Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan adanya bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada tulang yang berasal dari bakteri yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang yang mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak dan disebut dengan osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang paling sering terkena adalah metaphyse yang bervaskularisasi tinggi dan dalam masa perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan mudahnya terjadi thrombosis dan dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri.

Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar terjadi akibat kontak langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat trauma atau post operasi. Mekanisme ini dapat terjadi oleh karena inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang terbuka, bakteri yang berasal dari jaringan sekitar tulang yang mengalami infeksi, atau sepsis setelah prosedur operasi.

C. KLASIFIKASI

Klasifikasi osteomyelitis berdasar dari beberapa kriteria seperti durasi dan mekanisme infeksi dan jenis respon host terhadap infeksi. Osteomyelitis berdasarkan durasi penyakit dapat diklasifikasi menjadi akut, subakut, dan kronik. Akan tetapi batas waktu untuk tiap klasifikasi masih belum tegas. Mekanisme infeksi dapat exogenous dan hematogenous. Osteomyelitis exogenous disebabkan oleh fraktur terbuka, operasi (iatrogenik), atau penyebaran infeksi dari jaringan lunak lokal. Jenis hematogenous terjadi akibat bakteremia. Osteomyelitis juga dapat dibagi berdasarkan respon host terhadap penyakit ini, pembagian tersebut adalah osteomyelitis pyogenik dan nonpyogenik. Cierny dan Mader mengajukan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronis berdasarkan kriteria faktor host dan anatomis. Sistem klasifikasi yang lebih banyak digunakan adalah berdasarkan durasi (akut, subakut, dan kronis) dan berdasarkan mekanisme infeksi (exogenous dan hematogenous).

D. OSTEOMYELITIS KRONIK

Osteomyelitis kronik sulit ditangani dengan sempurna. Gejala sistemik mungkin dapat meringan, akan tetapi satu atau lebih fokus infeksi pada tulang memiliki material purulenta, jaringan granulasi yang telah terinfeksi, atau sequestrum. Eksaserbasi akut intermitten dapat terjadi dalam beberapa tahun dan seringkali membaik setelah beristirahat dan pemberian antibiotik. Tanda penting adanya osteomyelitis kronik adalah adanya tulang yang mati akibat infeksi di dalam pembungkus jaringan lunak. Fokus infeksi didalam tulang dikelilingi oleh tulang yang relatif avaskuler dan sklerotik, yang dibungkus oleh periosteum yang menebal dan jaringan parut otot dan subkutan. Pembungkus avaskuler jaringan parut ini dapat menyebabkan pemberian antibiotik menjadi tidak efektif.

Pada osteomyelitis kronik, infeksi sekunder sering terjadi dan kultur sinus biasanya tidak berkorelasi secara langsung dengan biopsi tulang. Beragam jenis bakteri dapat tumbuh dari kultur yang diambil dari sinus-sinus dan dari biopsi terbuka pada jaringan lunak sekitar dan tulang.

Klasifikasi

Cierny dan Mader mengembangkan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronik, berdasar dari kriteria anatomis dan fisiologis, untuk menentukan derajat infeksi. Kriteria fisiologis dibagi menjadi tiga kelas berdasar tiga tipe jenis host. Host kelas A memiliki respon pada infeksi dan operasi. Host kelas B memiliki kemampuan imunitas yang terbatas dan penyembuhan luka yang kurang baik. Ketika hasil penatalaksanaan berpotensi lebih buruk dibandingkan keadaan sebelum penanganan, maka pasien digolongkan menjadi host kelas C.

Kriteria anatomis mencakup empat tipe. Tipe I, lesi meduller, dengan ciri gangguan pada endosteal. Pada tipe II, osteomyelitis superfisial terbatas pada permukaan luar dari tulang, dan infeksi terjadi akibat defek pembungkus tulang. Tipe III merupakan suatu infeksi terlokalisir dengan lesi stabil, berbatas tegas dengan sequestrasi kortikal tebal dan kavitasi (pada tipe ini, debridement yang menyeluruh pada daerah ini tidak dapat menyebabkan instabilitas). Tipe IV merupakan lesi osteomyelitik difus yang menyebabkan instabilitas mekanik, baik pada saat pasien datang pertama kali atau setelah penanganan awal.

Pembagian berdasar kriteria fisiologis dan anatomis dapat berkombinasi dan membentuk 1 dari 12 kelas stadium klinis dari osteomyelitis. Sebagai contoh, lesi tipe II pada host kelas A dapat membentuk osteomyelitis stadium IIA. Sistem klasifikasi ini berguna untuk menentukan apakah penatalaksanaan menggunakan metode yang sederhana atau kompleks, kuratif atau paliatif, dan mempertahankan tungkai atau ablasi.

Diagnosis

Diagnosis osteomyelitis berdasar pada penemuan klinis, laboratorium, dan radiologi. Gold standar adalah dengan melakukan biopsi pada tulang yang terinfeksi untuk analisa histologis dan mikrobateriologis.

Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan jaringan lunak, menentukan daerah yang mengalami nyeri, stabilitas abses tulang, dan evaluasi status neurovaskuler tungkai. Pemeriksaan laboratorium biasanya kurang spesifik dan tidak memberikan petunjuk mengenai derajat infeksi. ESR dan CRP meningkat pada kebanyakan pasien, akan tetapi WBC hanya meningkat pada 35% pasien.

Terdapat banyak pemeriksaan radiologik yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi osteomyelitis kronik; akan tetapi, tidak ada teknik satupun yang dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis osteomyelitis. Pemeriksaan radiologik sebaiknya dilakukan untuk membantu konfirmasi diagnosis dan untuk sebagai persiapan penanganan operatif.

Radiologi polos dapat memberikan informasi berharga dalam menegakkan diagnosis osteomyelitis kronik dan sebaiknya merupakan pemeriksaan yang pertama dilakukan. Tanda dari destruksi kortikal dan reaksi periosteal sangat mengarahkan diagnosis pada osteomyelitis. Tomography polos dapat berguna untuk mendeteksi sequestra. Sinography dapat dilakukan jika didapatkan jejak infeksi pada sinus.

Pemindaian tulang dengan isotop lebih berguna pada osteomyelitis akut dibanding dengan bentuk kronik. Pemindaian tulang techentium 99m, yang memperlihatkan pengambilan yang meningkat pada daerah dengan peningkatan aliran darah atau aktivitas osteoblastik, cenderung memiliki spesifitas yang kurang. Akan tetapi pemeriksaan ini, memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk hasil yang negatif, walaupun negatif palsu telah dilaporkan. Pemindaian dengan Gallium memperlihatkan peningkatan pengambilan pada area dimana leukosit atau bakteria berakumulasi. Pemindaian leukosit dengan Indium 111 lebih sensitif dibanding dengan technetium atau gallium dan terutama digunakan untuk membedakan osteomyelitis kronik dari arthropathy pada kaki diabetik.

CT scan memberikan gambaran yang sempurna dari tulang kortikal dan penilaian yang cukup baik untuk jaringan lunak sekitar dan terutama berguna dalam identifikasi sequestra. Akan tetapi, MRI lebih berguna dibanding CT scan dalam hal penilaian jaringan lunak. MRI memperlihatkan daerah edema tulang dengan baik. Pada osteomyelitis kronik, MRI dapat menunjukkan suatu lingkaran hiperintens yang mengelilingi fokus infeksi (rim sign). Infeksi sinus dan sellulitis tampak sebagai area hiperintens pada gambaran T2-weighted.

Seperti yang sebelumnya dijelaskan, gold standard dari diagnosis osteomyelitis adalah biopsi dengan kultur atau sensitivitas. Suatu biopsi tidak hanya bermanfaat dalam menegakkan diagnosis, akan tetapi juga berguna menentukan regimen antibiotik yang akan digunakan.

Penatalaksanaan

Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi. Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada osteomyelitis tulang tengkorak.

Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan instabilitas tulang. Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun tulang perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah perencanaan yang baik dan identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan MRI. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan untuk fase rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan myocutaneus. Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya, pemberian antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis kronik. Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1 minggu pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6 minggu.

Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan tulang dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai dengan bone graft untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous dengan transfer tulang yang bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya tidak memiliki vaskularisasi

a. Sequestrektomi dan Kuretase untuk Osteomyeltis Kronik

Sekuestrektomi dan kuretase membutuhkan lebih banyak waktu dan menyebabkan lebih banyak kehilangan darah pada pasien yang biasanya tidak dapat diantisipasi oleh ahli bedah yang kurang berpengalaman, persiapan yang tepat sebaiknya dilakukan sebelum operasi. Infeksi sinus diberikan metilen blue 24 jam sebelum operasi untuk memudahkan lokalisasi dan eksisi.

Untuk melakukan teknik ini maka diperlukan torniket pneumatik. Buka daerah tulang yang terinfeksi dan eksisi seluruh sinus sekitar. Insisi periosteum yang indurasi dan naikkan 1,3 hingga 2,5 cm pada tiap sisi. Gunakan bor untuk memberi jendela kortikal pada lokasi yang tepat dan angkat dengan menggunakan osteotome. Buang seluruh sequestra, materi purulenta, dan jaringan parut dan nekrotik. Jika tulang yang sklerotik membentuk kavitas didalam kanal meduller, buka kanal tersebut pada kedua arah untuk memberikan tempat bagi pembuluh darah untuk tumbuh didalam kavitas. Bor berkecepatan tinggi akan membantu melokalisir perbatasan antara tulang iskemik dan sehat. Setelah membuang jaringan yang mencurigakan, eksisi tepi tulang yang menggantung secara hati-hati dan hindari membuat rongga kosong atau kavitas. Jika kavitas tidak dapat diisi dengan jaringan lunak sekitar, maka flap muskuler lokal atau transfer jaringan bebas dapat dilakukan untuk mengisi ruang kosong tersebut. Jika memungkinkan, tutupi kulit dengan renggang dan pastikan tidak ada tekanan kulit yang berlebihan. Jika penutupan kulit tidak memungkinkan, tutup luka dengan renggang atau berikan antibiotik dan rencanakan untuk penutupan kulit atau skin graft di masa yang akan datang.

Setelah penanganan, tungkai dipasangkan splint sampai luka sembuh dan kemudian dilindungi untuk mencegah fraktur patologis. Pemberian antibiotik dilanjutkan dalam periode yang panjang dan dimonitor dengan ketat.

b. Graft Tulang Terbuka

Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut :

1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;

2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi dan mencegah terjadinya infeksi;

3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna;

4. Drainase yang adekuat;

5. Immobilisasi yang adekuat;

6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.

Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau untuk penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik.Operasi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut; (1) eksisi jaringan terinfeksi dengan atau tanpa stabilisasi dengan menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous autografting; dan (3) penutupan kulit.

c. Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)

Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan penggunaan antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi untuk penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar toksisitas dalam serum dan sistemik tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport. Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer; jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang.

Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead; vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin, polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.

Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan pada implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al melaporkan hasil yang bagus pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA bead. Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor. Kadar bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah impantasi dan setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap benda asing dan merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA juga terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang fagositik. Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam interval 72 jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup.

d. Transfer Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer)

Transfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi debridement luas dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga transfer jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah yang penting bagi mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan antibiotik dan penyembuhan osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik ini dilaporkan oleh literatur adalah sebesar 66% hingga 100%.

Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik pada tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot soleus digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas dengan mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek sekitar 1/3 distal tibia.

e. Teknik Lizarof

Teknik lizarof telah terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik dan nonunion yang terinfeksi. Teknik ini dilakukan dengan reseksi radikal pada tulang yang terinfeksi. Kortikotomi dimulai dari proximal jaringan tulang normal dan distal daerah yang terinfeksi. Tulang kemudian dipindahkan hingga union dicapai. 2

Kekurangan teknik ini yaitu waktu yang digunakan hingga terjadi union solid dan insiden komplikasi yang terkait Dendrinos et al melaporkan diperlukan rata-rata 6 bulan hingga terbentuknya union dengan beberapa komplikasi pada tiap pasien. Akan tetapi walaupun dengan kekurangan tersebut Prosedur Lizarof menguntungkan pasien yang membutuhkan reseksi luas dari tulang dan rekonstruksi untuk tercapainya stabilitas.

Komplikasi

Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi yang tidak terkendali dan pemberian antibiotik yang tidak dapat mengeradikasi bakteri penyebab. Komplikasi osteomyelitis dapat mencakup infeksi yang semakin memberat pada daerah tulang yang terkena infeksi atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar bahkan ke aliran darah sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai berikut:

a. Abses Tulang

b. Bakteremia

c. Fraktur Patologis

d. Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic)

e. Sellulitis pada jaringan lunak sekitar.

f. Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.

Prognosis

Prognosis dari osteomyelitis beragam tergantung dari berbagai macam faktor seperti virulensi bakteri, imunitas host, dan penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien. Diagnosis yang dini dan penatalaksanaan yang agressif akan dapat memberikan prognosis yang memuaskan dan sesuai dengan apa yang diharapkan meskipun pada infeksi yang berat sekalipun. Sebaliknya, osteomyelitis yang ringan pun dapat berkembang menjadi infeksi yang berat dan meluas jika telat dideteksi dan antibiotik yang diberikan tidak dapat membunuh bakteri dan menjaga imunitas host. Pada keadaan tersebut maka prognosis osteomyelitis menjadi buruk.

Pencegahan

Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan bakteri pada tulang dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan diagnosis yang tepat dan dini serta penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer. Osteomyelitis inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik, pembersihan daerah yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna, dan pemberian antibiotik profilaksis yang agresif dan tepat pada saat terjadinya cedera.


BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario disebutkan bahwa pasien merasakan nyeri pada tungkai bawahnya, pyrexia, kemerahan dan sinus hilang timbul. Tiga gejala pertama yang dialami pasien merupakan tanda-tanda bahwa pasien mengalami inflamasi (nyeri = dolor, pyrexia = kalor, kemerahan = rubor). Sementara gejala sinus hilang timbulnya akan dijelaskan nanti.

Osteomielitis selalu dimulai dari daerah metafisis karena pada daerah tersebut peredaran darahnya lambat dan banyak mengandung sinusoid. Penyebaran osteomielitis dapat terjadi :

1. @Penyebarannya ke arah korteks, membentuk abses subperiosteal dan selulitis pada jaringan sekitarnya.

2. @ Penyebarannya menembus periosteum membentuk abses jaringan lunak. Abses dapat menembus kulit melalui suatu sinus dan menimbulkan fistel. Abses dapat menyumbat atau menekan aliran darah ke tulang dan mengakibatkan kematian jaringan tulang (sequester).

3.@Penyebaran ke arah medula

4. @Penyebarannya ke persendian, terutama bila lempeng pertumbuhannya intraartikuler misalnya sendi panggul pada anak-anak. Penetrasi ke epifisis jarang terjadi. (Mansjoer dkk., 2000)

Setelah infeksi terjadi pada daerah metafisis, terbentuk nanah di bawah periosteum dan periosteum akan terangkat. Nanah yang terbentuk juga mengakibatkan keluarnya discharge seropurulen pada sinus yang terbentuk. Terangkatnya periosteum memperlihatkan gambaran periosteum yang menebal pada hasil plain foto pasien. Selain itu juga karena terbentuk jaringan granulasi pada periosteum dan lapisan tebal (kalus) di sekitar lokasi fraktur (Price, Wilson, 2005). Pembuluh darah akan mengalami trombosis, dan trombosis septik ini akan dapat mengakibatkan septikhemi atau piemi. Oleh karena perubahan sekunder, adanya trombus pada pembuluh darah yang mengakibatkan terganggunya aliran darah, maka tulang akan mengalami nekrosis. Kadang-kadang proses ini akan menjalar ke epifisis, menembus tulang rawan sendi, mengenai sendi sehingga terjadi arthritis suppurativa.

Tulang nekrotik ini kemudian akan terpisah dari tulang yang sehat oleh kerja osteoklas, membentuk sequester, yang didapatkan pada hasil plain foto pasien. Bilamana masa akut penyakit telah lewat, maka osteoblas yang berasal dari periosteum akan membentuk tulang baru di sekitar sequester dan disebut involucrum. Involucrum mempunyai lubang disebut cloaca, kadang-kadang sequester dapat keluar melalui lubang itu. Cloaca inilah yang diduga menyebabkan gejala sinus hilang timbul pada pasien. Jadi, tubuh hanya dapat menutupi tulang yang nekrotik itu dengan tulang baru tanpa dapat mengabsorpsinya. Juga pada sumsum tulang ditempatkan tulang baru sehingga densitas tulang bertambah dan terjadi sclerosis tulang, yang juga ada pada hasil plain foto pasien. Proses neoosteogenesis ini menimbulkan gambaran Garre’s sclerosing osteomyelitis. (Hirmawan, 1973)

Bila osteomielitis akut tidak diobati dengan baik, akan terjadi osteomielitis chronica, keadaan ini dapat berlangsung terus menerus sehingga penderita akhirnya meninggal karena amiloidosis. Pada skenario diceritakan bahwa setelah kecelakaan, pasien pergi ke dukun tulang. Hal ini menjelaskan bahwa pengobatan pada pasien kurang baik dan sterilitasnya pun kurang terjaga sehingga patah tulang yang dialami pasien menimbulkan osteomielitis akut dan karena sudah berlangsung selama dua tahun tanpa pengobatan lebih lanjut, maka osteomielitis yang dialami pasien berlanjut menjadi osteomielitis kronik.

Pada pasien juga didapatkan deformitas pada pemeriksaan fisik dan angulasi tibia dan fibula (varus) serta ekskoriasi kulit di sekitar sinus. Ketiga hal ini terjadi disebabkan karena kecelakaan yang dialami pasien dan tampaknya, pasien mengalami fraktur terbuka, yang memungkinkan risiko terjadinya osteomielitis semakin besar dan kulit ekstremitas yang terlibat telah ditembus oleh patahan tulang sehingga mengakibatkan terjadinya ekskoriasi pada kulit. Derajat dan arah angulasi dari posisi normal suatu tulang panjang (tulang tibia dan fibula pada kasus ini), dapat menunjukkan derajat keparahan fraktur dan tipe penatalaksanaan yang harus diberikan. Angulasi dijelaskan dengan memperkirakan derajat deviasi fragmen distal dari sumbu longitudinal normal, menunjukkan arah apeks dari sudut tersebut (Price, Wilson, 2005).

Untuk menegakkan diagnosis pada penderita osteomielitis, perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik , dan beberapa pemeriksaan penunjang, yang meliputi pemeriksaan laboratorium (CRP yang meninggi, laju endap darah yang meninggi, dan leukositosis) dan pemeriksaan radiologik (pada fase akut tidak ditemukan kelainan. Pada fase kronik ditemukan suatu involucrum dan sequester). (Mansjoer dkk., 2000)

Untuk penatalaksanaan pada penderita, perlu dilakukan perawatan di rumah sakit, pengobtan suportif dengan pemberian infus, pemeriksaan biakan darah, antibiotik spektrum luas yang efektif terhadap gram positif maupun gram negatif diberikan langsung tanpa menunggu hasil biakan darah secara parenteral selama 3-6 minggu, imobilisasi anggota gerak yang terkena, dan tindakan pembedahan. Indikasi tindakan pembedahan adalah adanya abses, rasa sakit yang hebat, adanya sequester, dan bila mencurigakan adanya perubahan ke arah keganasan (karsinoma epidermoid). Saat yang terbaik untuk melakukan tindakan pembedahan adalah bila involucrum telah cukup kuat untuk mencegah terjadinya fraktur pascapembedahan. (Mansjoer dkk., 2000)

Prognosis pasien untuk skenario pertama ini cukup baik apabila langsung dilakukan tindakan pembedahan. Pemberian antibiotika untuk penderita osteomielitis tidak cukup efektif karena sifat korteks tulang yang tidak memiliki pembuluh darah sehingga tidak cukup banyak antibodi yang dapat mencapai daerah korteks tulang. Infeksi tulang sangat sulit untuk dibasmi, bahkan tindakan drainase dan debridemen, serta pemberian antibiotika sering tidak cukup untuk menghilangkan penyakit (Price, Wison, 2005). Mengenai kartu Askes pasien yang tidak bisa digunakan, sebaiknya pasien berobat ke rumah sakit pemerintah, atau apabila masa berlakunya sudah habis, pasien dapat meminta untuk memperpanjang masa berlaku kartu Askesnya. Bila untuk tindakan operasi pemebedahan diperlukan biaya yang cukup besar, dokter dapat membantu mencarikan pasien donatur yang bersedia untuk membantu biaya tindakan pembedahan pasien.

BAB IV

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Pasien pada skenario pertama ini disimpulkan mengalami osteomielitis kronik yang terjadi karena kecelakaan yang dialaminya dua tahun yang lalu dan tidak melakukan tindakan pengobatan lanjut, tetapi malah pergi ke dukun tulang yang memperbesar risiko terjadinya osteomielitis pada pasien. Osteomielitis dapat digolongkan menjadi osteomielitis primer dan sekunder berdasarkan penyebarannya. Atau, berdasarkan agen etiologinya menjadi osteomielitis piogenik dan osteomielitis tuberkulosa.

Tindakan drainase, debridemen, dan pemberian antibiotika pada penderita osteomielitis tidak cukup untuk menghilangkan penyakit karena sifat korteks tulang yang tidak memiliki pembuluh darah.

  1. Saran

Pada pasien sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan berdasarkan indikasi dilakukannya tindakan pembedahan yang sudah dijelaskan pada bagian Pembahasan masalah. Selain itu juga agar prognosisnya lebih baik. Pasien juga sebaiknya berobat ke rumah sakit pemerintah saja untuk keringanan biaya yang ditanggung dan agar pamakaian kartu Askesnya dapat diterima.


DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W. A. Newman, 2002. KAMUS KEDOKTERAN Edisi 29. Alih bahasa : Andy Setiawan, et al. Jakarta : EGC, pp : 1565, 1

Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. BUKU AJAR FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi 11. Alih bahasa : Irawati, et al. Jakarta : EGC, pp : 1032, 1

Hirmawan, Sutisna., 1973. PATOLOGI. Jakarta : Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 437, 1

Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. BUKU AJAR PATOLOGI Edisi 7. Jakarta : EGC, pp: 850, 852, 2

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan, W., 2000. KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius, pp : 358-359, 2

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2005. PATOFISIOLOGI : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Alih bahasa : Brahm U. Pendit, et al. Jakarta : EGC, pp : 1358-1359, 1367-1368, 1371, 5

Tim Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret., 2008. BUKU PETUNJUK PRAKTIKUM BLOK MUSKULOSKELETAL. Surakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, pp : 13-14, 2

Minggu, 01 November 2009

Bell's Palsy

LAPORAN INDIVIDU
BLOK X NEUROLOGI
SKENARIO 3


BELL’S PALSY SEBAGAI SUATU KELAINAN NEUROLOGIS YANG BERSIFAT AKUT





OLEH :
HERRY PRASETYANTO G0008105
IKE PRAMASTUTI G0008107
IMAM RIZALDI G0008109
IRA RISTINAWATI G0008111
IZZATUL MUNA G0008113
KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115
NURSANTY S. G0008231
REDYA AYU T. G0008233
RESCHITA ADITYANTI G0008235
RIESKA WIDYASWARI G0008237
SALMA ASRI NOVA G0008239

KELOMPOK 9
NAMA TUTOR : dr. Yoseph Iskayanto




FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2009





BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Bell’s palsy adalah kelumpuhan wajah sebelah yang timbul mendadak akibat lesi saraf fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan kata lain bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu sisi wajah. Adalah Sir Charles Bell seorang ilmuan dari Skotlandia yang pertama kali menemukan penyakit ini pada abad ke-19.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa bell's palsy bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
Banyak orang mengira bahwa bell’s palsy merupakan stroke, tetapi pada hakikatnya bell’s palsy berbeda dengan serangan stroke. Yang menjadi pembeda paling mendasar adalah pada bell’s palsy tidak disertai dengan kelemahan pada anggota gerak. Hal ini disebabkan oleh letak kerusakan saraf yang berbeda. Pada serangan stroke saraf yang rusak adalah pada saraf otak yang mengatur pergerakan salah satu sisi tubuh, termasuk wajah. Sedangkan pada kasus bell’s palsy, kerusakan yang terjadi langsung pada saraf yang mengurus persarafan wajah yaitu saraf fasialis.
Skenario : Seorang wanita usia 40 tahun sewaktu bangun tidur merasakan kebal pada pipi dan telingan kanan. Pada saat bercermin terlihat wajahnya tidak simetris (merot) saat tersenyum. Sisi kanan mulut tidak bergerak. Kelopak mata kanan tidak bias menutup dan air mata keluar terus menerus dari mata kanan. Pasien merasakan kesulitan berkumur.
Penderita sadar penuh, tanda vital normal, bicara pelo terutama untuk bunyi mi-mi-mi. Lipatan nasolabialis kanan terlihat mendatar dan tak ada kerutan pada sisi wajah sebelah kanan. Lebar fissure palpebralis kanan lebih keluar dari yang kiri dan secara terus menerus mengeluarkan airmata dari mata kanan. Didapatkan fenomena bell. Bila melihat keatas tak ada kerutan pada dahi kanan. Penderita tak bisa minum dari sedotan atau kursil penderita tak mampu merasakan larutan manis asin yag dioleskan pada sisi kanan depan lidahnya, tetapi mudah mengenali bila diletakkan pada sisi kirinya. Pemeriksaan motor sensorik, koordinasi reflek tendo dan cara berjalan masih dalam batas normal.
Melihat fenomena di atas, Bell’s Palsy merupakan penyakit yang menjadi momok bagi manusia. Selain itu, Bell’s Palsy menyerang dengan tiba-tiba. Tiba-tiba saja, penderita merasakan dan mengalami kelainan seperti lumpuh pada sebagian sisi wajah, bicara pelo, pandangan kabur, dan lain sebagainya. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mempelajari tentang patofisologi, mekanisme, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan penatalaksanaan Bell’s Palsy.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah definisi, epidemiologi dan etiologi Bell’s Palsy?
Bagaimanakah anatomi dari nervus VII?
Bagaimanakah patofisiologi dari penyakit Bell’s Palsy?
Apa sajakah gejala klinis yang timbul pada penderita Bell’s Palsy?
Apa sajakah pemeriksaan yang dibutuhkan untuk penegakan diagnosis Bell’s Palsy?
Bagaimanakah terapi untuk penderita Bell’s Palsy?
Bagaimanakah pencegahan dan prognosis Bell’s Palsy?
Tujuan
1. Mengetahui definisi, epidemiologi dan etiologi Bell’s Palsy
2. Mengetahui anatomi nervus VII
3. Mengetahui patofisiologi Bell’s Palsy
4. Mengetahui gejala klinis pada penderita Bell’s Palsy
5. Memahami pemeriksaan yang dibutuhkan untuk penegakan diagnosis Bell’s Palsy
6. Memahami cara pengobatan dalam terapi s Bell’s Palsy
7. Mengetahui pencegahan dan prognosis Bell’s Palsy
Manfaat
1. Mahasiswa dapat memahami anatomi dan fisiologi system saraf.
2. Mahasiswa dapat mencari dan mengerti patologi pada penyakit neurologi khususnya Bell’s Palsy.
3. Mahasiswa dapat mengetahui kalsifikasi, kausa, diagnosis, penatalaksanaan, prognosis, dan rehabilitasi penyakit Bell’s Palsy.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering me-rupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang
erat hubungannya dengan cuaca dingin.
Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Etiologi
Kausa kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb.
I) Kongenital
1.anomali kongenital (sindroma Moebius)
2.trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
II) Didapat
trauma
penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
sindroma paralisis n. fasialis familial
• Neurotmesis
– Terjadi karena axon, schwann cell dan myelin sheat terputus dan terjadi degenerasi
– Saraf banyak mengandung serabut yang jika rusak dapat mengakibatkan tipe lesi yang bermacam-macam sehingga sulit mendiagnosis
• Tekanan yang singkat pada saraf mengakibatkan hilangnya konduksi yang dapat membuat ischemic dan secara cepat reversible
– Contoh : Duduk dengan kaki menyilang dapat mengakibatkan hilangnya konduksi sementara di ibu jari (n. peroneal)
• Kompressi injury yang lebih lama mengakibatkan mechanical displacement nodus of ranvier
• Jika proses penekanan hilang sebelum terjadi perubahan strktur maka akan pulih dalam beberapa minggu.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic
Anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).
Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
Gejala Klinis
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan menurut gejalanya. Bell’s palsy selalu mengenai satu sisi wajah, kelemahannya tiba-tiba dan dapat melibatkan baik bagian atas atau bagian bawah wajah.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan saraf fasialis sebagai berikut:
Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan saraf fasialis irreversibel.
Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada saraf fasialis kiri dan kanan.
Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot
otot wajah.
Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada bell's palsy menunjukkan letak lesi saraf fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter, berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi saraf fasialis setinggi ganglion genikulatum
Penyakit lain yang juga dapat menyebabkan kelumpuhan saraf wajah adalah:
- Tumor otak yang menekan saraf
- Kerusakan saraf wajah karena infeksi virus (misalnya sindroma Ramsay
Hunt)
- Infeksi telinga tengah, sinus mastoideus
- Penyakit Lyme
- Patah tulang di dasar tengkorak.
Untuk membedakan bell's palsy dengan penyakit tersebut, bisa dilihat dari riwayat penyakit, hasil pemeriksaan rontgen, CT scan atau MRI. Pada penyakit Lyme perlu dilakukan pemeriksaan darah.
Penatalaksanaan
Terapi pertama yang harus dilakukan adalah penjelasan kepada penderita bahwa penyakit yang mereka derita bukanlah tanda stroke, hal ini menjadi penting karena penderita dapat mengalami stress yang berat ketika terjadi salah pengertian.
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
Selain itu, dari tinjauan terbaru menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid dalam tujuh hari pertama efektif untuk menangani Bell’s palsy. Pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus bell's palsy yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
3.a. Penanganan mata
Bagian mata juga harus mendapatkan perhatian khusus dan harus dijaga agar tetap lembab, hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian pelumas mata setiap jam sepanjang hari dan salep mata harus digunakan setiap malam
3.b. Latihan wajah
Komponen lain yang tidak kalah pentingnya dalam optimalisasi terapi adalah latihan wajah. Latihan ini dilakukan minimal 2-3 kali sehari, akan tetapi kualitas latihan lebih utama daripada kuantitasnya. Sehingga latihan wajan ini harus dilakukan sebaik mungkin. Pada fase akut dapat dimulai dengan kompres hangat dan pemijatan pada wajah, hal ini berguna mengingkatkan aliran darah pada otot-otot wajah. Kemudian latihan dilanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat merangsang otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakkan otot-otot wajah. Sebaiknya latihan ini dilakukan di depan cermin. Gerakan yang dapat dilakukan berupa:
Tersenyum
Mencucurkan mulut, kemudian bersiul
Mengatupkan bibir
Mengerutkan hidung
Mengerutkan dahi
Gunakan telunjuk dan ibu jari untuk menarik sudut mulut secara manual
Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari
Setelah melakukan terapi tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan sebagian akan meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa:
1. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum berpengalaman mungkin bagian yang sehat ini yang disangkanya lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya sehat.
2. Sinkinesia (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot orbikularis orispun akan akan ikut berkontraksi dan sudut mulut terngkat. Bila ia disuruh menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat.
3. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala sisa dari Bell’s palsy
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
1.Tidak terdapat penyembuhan spontan
2.Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada bell's palsy antara lain dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi).
PENCEGAHAN
Agar Bell's Palsy tidak mengenai kita, cara-cara yang bisa ditempuh adalah :
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan Anda menderita Bell's Palsy.
5. Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah dengan air dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.
PROGNOSIS
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
(1) Usia di atas 60 tahun
(2) Paralisis komplit
(3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
(4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan
(5) Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.

BAB III
PEMBAHASAN

Bell’s palsy pada dasarnya merujuk pada kelumpuhan salah satu syaraf wajah (mononeuropati) yakni syaraf ke-7. Kelumpuhan ini murni disebabkan jepitan pada syaraf ke-7, bukan dari penyebab lain seperti pembuluh darah pecah atau tersumbat.
Berbeda dengan stroke, Bell’s palsy hanya menyebabkan kelumpuhan pada separuh wajah. Bukan kelumpuhan separuh bagian badan. Kelumpuhan ini terjadi akibat adanya himpitan yang menekan serabut syaraf ke-7 sehingga tak bisa menyampaikan impuls dari pusat syaraf pada batang otak.
Syaraf yang bekerja pada wajah sebenarnya ada 12 dengan pusat pada batang otak. Masing-masing memiliki fungsi berbeda. Misalkan, syaraf 1 untuk hidung, syaraf 2 untuk penglihatan, syaraf 3-4-6 untuk gerakan bola mata, syaraf 5 untuk merasakan sentuhan dan syaraf 7 untuk menggerakkan otot wajah.
Syaraf ke-7 memiliki keistimewaan, terdapat serabut panjang dari dalam tempurung kepala keluar melalui kanal di bawah telinga menuju sisi wajah. Panjangnya serabut syaraf ke-7 ini menyebabkannya rentan terjepit atau tertekan. Bila terjadi gangguan, akan menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot wajah sesisi.
Sejumlah keluhan Bell’s palsy juga disertai sakit kepala tak spesifik. Umumnya Bell’s palsy tak disertai keluhan lain seperti rasa kebas, karena syaraf perasa di wajah dipengaruhi syaraf 5, bukan 7. Namun, karena terjadi kekakuan pada otot wajah, penderitanya merasa sedikit tebal pada kulit wajahnya.
Banyak asumsi dikaitkan dengan Bell’s palsy. Beberapa pendapat di masa lalu mempercayai, Bell’s palsy disebabkan angin yang menyusup ke daerah belakang telinga dan mengganggu syaraf ke-7. Ada pula yang berpendapat, kondisi ini diakibatkan serangan virus cytomegalovirus, atau herpes. Kenyataannya, tanpa bepergian atau terkena angin, maupun mendapat serangan virus sekalipun, seseorang tetap bisa terserang Bell’s palsy.
Menghadapi wajah yang mencong tiba-tiba akibat Bell’s palsy sebaiknya jangan panik. Bell’s palsy bisa sembuh hingga 100 persen dan tak meninggalkan kecacatan. Bahkan 80 persen serangan Bell’s palsy akan sembuh sendiri dalam waktu 4 sampai 7 hari.
Asalkan ditangani tepat dan tak terlambat, bisa sembuh sempurna. Tepat artinya ditangani kurang dari 24 jam setelah serangan (golden period). Dan tidak dilakukan pengobatan alternatif atau tindakan tanpa pertimbangan medis. Namun, yang terpenting lagi penderita Bell’s palsy sebaiknya beristirahat atau mengurangi aktivitas wajah selama beberapa hari setelah terkena serangan. Dan segera berkonsultasi ke dokter syaraf selama masih dalam golden period.
Bila pengobatan dengan obat anti inflamasi atau anti-viral tak menunjukkan hasil, dan setelah dilakukan MRI tampak adanya penekanan pada syaraf ke-7, pilihan akhir yang diambil dokter adalah tindakan operasi dekompresi atau pembebasan tekanan. Namun, sekali lagi, ini pilihan terakhir yang jarang sekali diambil. Setelah lewat fase akut 3-4 hari, barulah bisa dimulai latihan fisioterapi di depan kaca atau mengunyah permen karet.
Sebaiknya fisioterapi tak terburu-buru dilakukan, karena memicu terjadinya nerve sprouting atau syaraf tak kembali sempurna, atau tumbuh melenceng. Nerve sprouting bisa menyebabkan timbulnya gerakan tak terkontrol yang menyertai maksud gerakan pada wajah. Misalnya, kedutan di wajah.
Pada penderita diabetes, kemungkinan untuk sembuh akan berbeda dengan orang tanpa diabetes. Rocksy menerangkan, penderita diabetes yang terserang bell’s palsy akan sembuh sekitar 60 persen saja, karena kemampuan penyembuhannya relatif tak sebaik orang tanpa diabetes. Biasanya wajahnya masih akan terlihat sedikit mencong.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
1. Bell’s Palsy ialah kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya dengan lokasi lesi pada kanalis fasialis. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
2. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi
3. Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan.
4. Berbeda dengan Stroke (yang sama-sama membuat salah satu bagian wajah mencong / ketarik), Bell's Palsy hanya menyerang syaraf wajah. Sedangkan fungsi tubuh berjalan normal. Namun ada beberapa kasus di mana Bell's Palsy menyerang syaraf otak, sehingga ada penderita yang tidak mampu berbicara jelas seperti penderita Stroke. Walau demikian, pikirannya masih sangat jernih dan dia masih dapat berkomunikasi dengan cara menulis.
Saran
1. Usahakan agar tidak terkena udara dingin maupun air dingin secara langsung, khususnya pada daerah wajah dan kepala
2. Hindari keadaan-keadaan yang dapat memperburuk prognosis Bell’s Palsy
3. Segera konsultasikan ke dokter apabila setelah terapi tidak ada perbaikan, untuk mencegah adanya gejala sisa Bell’s Palsy










DAFTAR PUSTAKA

Aliah, Amirudin; Kuswara,F.F; Limoa, R.Arifin; Wuysang,Gerrad. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta: Gajah Mada University Press
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon, RP.1993.A Lange Medical Book Clinical Neurology. USA: Appleton & Lange
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy III (revisi). Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.
Campbell WW.1992. DeJong’s The Neurologic Examination.USA: Lippincott Williams & Wilkins
Mardjono dan Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Ropper AH, Brown RH. 2003. Adams and Victor’s Principles of Neurology. New York: MacGraw-Hill
Shidarta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis dalam Praktik Umum. Jakarta: Dian Rakyat.
Shidarta, Priguna. 2008. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Dian Rakyat.
Silbernagl dan Lang. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Snell, Richard S. 2007. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.
Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS.2001. Buku Saku Neurologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC