Sabtu, 19 Desember 2009

ISTC

ISTC (International Standart of Tuberculosis Care)

Standar Untuk Diagnosis

Standar 1
Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.

Standar 2
Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak yang dapat mengeluarkan dahak) yang diduga menderita tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.

Standar 3
Pada semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasiliti dan sumber daya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi.

Standar 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.

Standar 5
Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria berikut: minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari) temuan foto toraks sesuai tuberkulosis dan tidak ada respon terhadap antibiotika speltrum luas (catatan: fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M. Tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita tuberkulosis). Untuk pasien ini jika tersedia fasiliti, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan.

Standar 6
Diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni paru, pleura, dan kelenjar getah bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis dan pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferon gamma release assay). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasiliti bahan dahak seharusnya diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung, atau induksi dahak).

Standar Untuk Pengobatan

Standar 7
Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi juga harus mampu menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu, penyelenggara kesehatan akan mampu meyakinkan kepatuhan kepada paduan sampai pengobatan selesai.

Standar 8
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavailabilitinya telah diketahui. Fase awal seharusnya terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Etambutol boleh dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang dewasa dan anak dengan sediaan apus dahak negatif, tidak menderita tuberkulosis paru yang luas atau penyakit ekstra paru yang berat, serta telah diketahui HIV negatif. Fase lanjutan yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif pada fase lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan tetapi hal ini berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh, terutama untuk pasien yang terinfeksi HIV.
Dosis obat anti tuberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) sangat direkomendasikan terutama jika menelan obat tidak diawasi.

Standar 9
Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada pengobatan, suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai usia dan harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan serta layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien.
Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan menangani ketidakpatuhan, bila terjadi. Cara-cara ini seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu pasien dan penyelenggara pelayanan. Caracara ini dapat mencakup pengawasan langsung menelan obat (directly observed therapy-DOT) oleh pengawas menelan obat yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan.

Standar 10
Semua pasien harus dimonitor responnya terhadap terapi, penilaian terbaik pada pasien tuberkulosis ialah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) paling tidak pada waktu fase awal pengobatan selesai (dua bulan), pada lima bulan, dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan sediaan apus dahak positif pada pengobatan bulan kelima harus dianggap gagal pengobatan dan pengobatan harus dimodifikasi secara tepat (lihat standar 14 dan 15). Pada pasien tuberkulosis ekstra paru dan pada anak, respon pengobatan terbaik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks umumnya diperlukan dan dapat menyesatkan.

Standar 11
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respon bakteriologis dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.

Standar 12
Di daerah dengan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum dan daerah dengan kemungkinan tuberkulosis dan infeksi HIV muncul bersamaan, konseling dan uji HIV diindikasikan bagi semua pasien tuberkulosis sebagai bagian penatalaksanaan rutin. Di daerah dengan prevalensi HIV yang lebih rendah, konseling dan uji HIV diindikasikan bagi pasien tuberkulosis dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan dengan HIV dan pada pasien tuberkulosis yang mempunyai riwayat risiko tinggi terpajan HIV.

Standar 13
Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk menemukan perlu/tidaknya pengobatan anti retroviral diberikan selama masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat anti retroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat kompleksnya penggunaan serentak obat anti tuberkulosis dan anti retroviral, konsultasi dengan dokter ahli di bidang ini sangat direkomendasikan sebelum mulai pengobatan serentak untuk infeksi HIV dan tuberkulosis, tanpa memperhatikan mana yang muncul lebih dahulu. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.

Standar 14
Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Pasien gagal pengobatan dan kasus kronik seharusnya selalu dipantau kemungkinannya akan resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resisten obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifamisin, dan etambutol seharusnya dilaksanakan segera.

Standar 15
Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Caracara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR TB harus dilakukan.

Standar Untuk Tanggung Jawab Kesehatan Masyarakat

Standar 16
Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan bahwa semua orang (khususnya anak berumur di bawah 5 tahun dan orang terinfeksi HIV) yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular seharusnya dievaluasi dan di tata laksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak berumur di bawah 5 tahun dan orang terinfeksi HIV yang telah terkontak dengan kasus menular seharusnya dievaluasi untuk infeksi laten M. tuberkulosis maupun tuberkulosis aktif.

Standar 17
Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijakan yang berlaku.

ADENDUM
Standar 1
Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk evaluasi adalah berat badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.

Standar 3
Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya TB paru dan TB milier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila mungkin, pada anak.

Standar 6
Untuk penatalaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferon gamma release assay) dan kelainan radiografi toraks sesuai TB.

Standar 8
Etambutol boleh dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang dewasa dan anak dengan sediaan apus dahak negatif, tidak menderita tuberkulosis paru yang luas atau penyakit ekstra paru yang berat serta telah diketahui HIV negatif.
Secara umum terapi TB pada anak diberikan selama 6 bulan, namun pada keadaan tertentu (meningitis TB, TB tulang, TB milier dan lainlain) terapi TB diberikan lebih lama (9-12 bulan) dengan paduan OAT yang lebih lengkap sesuai derajat penyakitnya.

Standar 10
Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru BTA negatif dapat dinilai dengan foto toraks.

Standar 17
Pelaksanaan pelaporan seharusnya difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

Penanggulangan TBC

LAPORAN INDIVIDU
PELAKSANAAN FIELD LAB
BLOK XII RESPIRASI

PENERAPAN STRATEGI DOTS DALAM PROGRAM PENGENDALIAN PENYAKIT TUBERCULOSIS DI PUSKESMAS SELOGIRI




Disusun oleh :
Nama : Imam Rizaldi
NIM : G0008109
Kelompok : III
Instruktur : dr. Endang Sulistiyowati





FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang kembali muncul dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju. Salah satu di antaranya adalah tuberkulosis (TB) (Kartasasmita, CB. dan Darfioes Basir, 2008). Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Price dan Wilson, 2005).

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia, yaitu sekitar dua miliar orang, telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin (Kartasasmita, CB. dan Darfioes Basir, 2008).

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Indonesia masih menjadi negara ke-3 terbanyak kasus TB setelah India dan China, dengan jumlah pasien 10% dari jumlah pasien dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Field Lab FK UNS dan Tim UPTD Puskesmas Sibela Surakarta, 2009).

Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabklan: kemiskinan pada berbagai penduduk; adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup; perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi; tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter; terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik, dan pengawasan kasus TB dimana deteksi dan tata laksana kasus yang tidak adekuat; dan adanya epidemi HIV (Amin, Zulkifli dan Asril Bahar, 2007).

Dalam mengatasi hal tersebut, program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy) yang direkomendasikan oleh WHO telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1995. Bank Dunia juga menyatakan bahwa strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost-effective (Depkes RI, 2002).

2. Tujuan Pembelajaran

Setelah melakukan kegiatan laboratorium lapangan, diharapkan mahasiswa mampu:

1. Mendemonstrasikan algoritma penemuan suspek dan kasus TB dengan strategi DOTS.

2. Mendemonstrasikan alur pencatatan dan pelaporan kasus TB dengan strategi DOTS.

3. Melakukan perhitungan angka keberhasilan pengobatan kasus TB.

4. Mendemonstrasikan cara pemantauan dan evaluasi pengobatan kasus TB dengan strategi DOTS.

5. Mendemonstrasikan cara diagnosis dan pengobatan profilaksis TB anak.

BAB II

PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Rincian Pelaksanaan Kegiatan

  1. Kamis, 10 Desember 2009

Pelaksanaan kegiatan Pengendalian Penyakit Menular TB, bertempat Puskesmas Selogiri (Penjelasan tentang DOTS, OAT, tata cara pemeriksaan sputum, dan survey ke klinik DOTS oleh dr. Endang)

  1. Sabtu, 19 Desember 2009

Pengumpulan laporan hasil kegiatan field lab, bertempat di Puskesmas Selogiri

B. Deskripsi Pelaksanaan Kegiatan Pengendalian Penyakit Menular Tuberkulosis

Pelaksanaan kegiatan field lab tentang pengendalian penyakit menular TB dimulai pada hari Kamis, 10 Desember 2009 di Puskesmas Selogiri. Kegiatan field lab tersebut dimulai pada pukul 08.30 WIB dan diawali dengan pembukaan dan perkenalan kepala puskesmas beserta staf. Penjelasan secara umum mengenai kegiatan field lab pengendalian penyakit menular TB diterangkan oleh dr. Endang

Penjelasan yang diberikan meliputi algoritma penemuan suspek, kasus TB, alur pencatatan, dan pelaporan kasus TB dengan strategi DOTS. Selain itu, beliau juga menerangkan mengenai perhitungan angka keberhasilan pengobatan kasus TB dan cara pengobatan kasus TB. Sebagian besar penjelasan beliau lebih dititikberatkan pada cara pengobatan kasus TB. Penjelasan mengenai tata cara diagnosis TB anak juga diterangkan karena pada tahun 2009 ini juga ditemukan kasus TB anak.

Selain itu, kami juga diajak untuk melakukan survey ke klinik DOTS untuk melihat apa saja yang ada di dalam klinik tersebut. Di dalam klinik tersebut kami diperlihatkan bagan dari alur pemeriksaan paasien TB, tabel skoring untuk diagnosis TB anak, jenis dan macam-macam OAT baik kombipak maupun FDC, serta form-form yang digunakan dalam pencatatan kasus TB.

Penjelasan mengenai cara pemeriksaan sputum dimulai dengan tata cara pengambilan dahak SPS, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang pot dahak dan syarat-syarat pot yang baik. Kegiatan di hari tersebut diakhiri dengan penjelasan mengenai jenis-jenis pasien TB dan kategori-kategori OAT yang harus diberikan sesuai dengan hasil pemeriksaannya.

C. Hasil Kegiatan

Dari hasil kegiatan pengendalian penyakit menular TB didapatkan data sebagai berikut:

Jumlah Suspek

64 orang

Penemuan Kasus

BTA (+)

6 orang

Rontgen (+)

6 orang

Anak

4 anak

Jumlah Konversi

9 orang

Jumlah Kesembuhan

3 orang

Jumlah Pengobatan Lengkap

7 orang

(Sumber: Laporan Hasil Program TB Paru Puskesmas Selogiri Januari-Desember 2009)

BAB III

PEMBAHASAN

Pada kegiatan Field Lab yang dilaksanakan di Puskesmas Selogri pada tanggal 10 Desember 2009 ini, penulis dan kelompoknya telah melihat bagaimanakah alur pencatatan diagnosis pasien TB, bentuk dan macam-macam OAT dan telah berdiskusi dengan staff Puskesmas Selogiri mengenai program pengendalian TBC. Pada kegiatan di lapangan ini penulis merasa kegiatan yang dilakukan sudah sesuai dengan teori yang ada, hanya saja ada beberapa perbedaan bentuk dari Form TB.01 yang ada pada buku dengan form TB.01 yang sebenarnya. Selain itu, pada kegiatan ini kami juga tidak melihat form-form pencatatan TB lain seperti Form TB.02 (kartu identitas pasien) dan Form TB.06 (kartu pemeriksaan dahak SPS). Disamping itu, karena kelompok kami melakukan kegiatan field lab pada hari Kamis, maka kami tidak dapat melihat secara langsung alur pendiagnosisan suspek TB karena klinik DOTS hanya buka pada hari Selasa dan Sabtu saja. Data-data yang kami peroleh juga kurang lengkap sehingga tidak dapat menghitung perhitungan-perhitungan yang ada untuk menentukan indikator-indikator dalam program penanganan TB. Namun, secara keseluruhan kegiatan ini berjalan lancar dan baik, seluruh anggota kelompok juga diberikan masing-masing satu Form TB.01 yang berbeda-beda agar dapat dianalisis untuk bahan kelengkapan laporan.

Pembahasan Kasus

Data Pasien :

Nama penderita : Marto Wiyono

Alamat Lengkap : Sanggrahan Rt 02/06, Singoduton

Nama PMO : Parno

Umur Penderita : 80 tahun

Klasifikasi Penyakit : Paru

Tipe penderita : Baru

Pemeriksaan Dahak : BTA (-)

Pengobatan : OAT KDT Kategori I

Hasil Akhir Pengobatan : Pengobatan Lengkap

Dari data-data diatas maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut merupakan penderita baru TB Paru BTA(-) dengan pengobatan kategori I. Obat-obat yang diberikan pada kategori I adalah 2HRZE/4(HR)3 dengan penjelasan sebagai berikut :

* Tahap intensif : Selama 2 bulan diberikan Isoniazid, Rifampicin, Pyrazinamide dan Etambuthol setiap hari, keempat obat ini sudah ada dalam satu tablet OAT KDT

* Tahap Lanjutan : Selama 4 bulan diberikan Isoniazid dan Rifampicin dengan aturan minum 3 kali seminggu dan itu harus merata dalam satu minggunya, jenis obat ini juga ada dalam satu tablet OAT KDT

Pasien ini memulai pengobatan TB dari awal bulan Juli 2008 dan selesai pada bulan Desember 2008, sehingga pasien tersebut sudah menjalani baik tahap intensif maupu tahap lanjutan dan di akhir pengobatan dituliskan hasilnya adalah pegobatan lengkap.

Namun, sebenarnya data-data yang dituliskan dalam Form TB.01 ini kurang lengkap, yaitu :

* Keterangan tentang parut BCG tidak dituliskan sehingga kita tidak dapat mengetahui apakah pasien ini sudah pernah mendapat vaksinasi atau belum

* Catatan tentang pemeriksaan rontgen juga tidak ditulis, padahal pasien dengan hasil pemeriksaan BTA (-) seharusnya dilakukan foto thorax untuk penegakan diagnosis pasti TB

* Pemeriksaan kontak serumah tidak ada keterangan pasti, sehingga sulit menentukan adakah penyebaran kuman TB dalam lingkungan keluarga

* Pada tabel hasil pemeriksaan dahak juga kurang lengkap, yang ada hanya pemeriksaan pada awal pengobatan saja sehingga tidak dapat dianalisis mengenai keberhasilan pengobatan. Selain itu juga tidak ditulis BB pasien sehingga tidak dapat dianalisis dosis obatnya

Tetapi, dari hasil akhir pengobatan yang dituliskan bahwa pasien ini telah melakukan pengobatan lengkap, maka sesuai dengan teori bahwa pasien baru BTA(-) dan Rontgen (+) yang menjalani pengobatan kategori I dengan hasil akhir pengobatan lengkap maka pada akhir tahap intensif berarti dahak pasien tersebut BTA(-) dan diteruskan dengan tahap lanjutan. Namun, apabila pada akhir tahap intensif dahak masih memberikan hasil BTA (+) maka disimpulkan pengobatannya gagal dan dimulai lagi dari awal dengan pengobatan Kategori 2 yaitu 2HRZES/HRZE/5(HR)3E3.

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Puskesmas Selogiri telah melaksanakan Prosedur Kerja Untuk Penanggulangan TB sesuai DOTS dengan baik.

2. Karena keterbatasan waktu dan tidak sesuainya jadwal maka kelompok kami tidak dapat melihat secara langsung cara pendiagnosisan pasien TB

3. Kurangnya data yang kami minta menyebabkan tidak dapat dihitungnya indikator-indikator dalam program pengendalian TB

B. Saran

  1. Dalam melaksanakan program DOTS, Puskesmas Selogiri sudah dapat dikatakan baik. Namun, karena beberapa keterbatasan, pelayanan pemeriksaan TB menjadi kurang maksimal. Oleh karena itu, diharapkan agar Dinas Kesehatan setempat lebih dapat menentukan dan mendistribusikan sarana dan prasarana dengan baik, sehingga pelayanan kesehatan, khususnya dalam mengendalikan penyebaran penyakit menular dapat semakin maksimal.
  2. Dalam pengisian kartu-kartu untuk administrasi pasien TBC sebaiknya selengkap mungkin agar dalam penatalaksanaannya ke depan dapat lebih optimal
  3. Bagi Tim Field Lab harap mampu berkoordinasi lebih baik dengan pihak Puskesmas agar kegiatan seperti ini dapat berjalan lebih baik lagi
  4. Bagi masyarakat umum sebaiknya dapat lebih mengerti lagi mengenai penyakit TBC secara umum, sehingga dapat melakukan pencegahan dan bagi penderita TBC supaya dapat lebih mengerti lagi tentang pengobatan dan perawatan TBC

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2007. Tuberkulosis Paru. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi Keempat. Editor Kepala: Aru W. Sudoyo et.al. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI.

Field Lab FK UNS dan Tim UPTD Puskesmas Sibela Surakarta. 2009. Pengendalian Penyakit Menular: Tuberculosis. Surakarta: Field Lab FK UNS.

Price, Sylvia Anderson & Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.


Selasa, 15 Desember 2009

BATUK DAN SESAK NAFAS

LAPORAN INDIVIDU

BLOK XII RESPIRASI

SKENARIO 1

GANGGUAN SISTEM RESPIRASI DENGAN

GEJALA AWAL BATUK DAN SESAK NAFAS

OLEH :

1. HERRY PRASETYANTO G0008105

2. IKE PRAMASTUTI G0008107

3. IMAM RIZALDI G0008109

4. IRA RISTINAWATI G0008111

5. IZZATUL MUNA G0008113

6. KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115

7. NURSANTY S. G0008231

8. REDYA AYU T. G0008233

9. RESCHITA ADITYANTI G0008235

10. RIESKA WIDYASWARI G0008237

11. SALMA ASRI NOVA G0008239

KELOMPOK 9

NAMA TUTOR : dr. Suyatmi, MBiomedSc

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2009



BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Fungsi utama paru adalah mengeluarkan karbon dioksida dari darah dan mengganti oksigen. Dinding dada dan diafragma berfungsi sebagai pompa untuk menggerakkan udara masuk-keluar paru sehingga dapat terjadi pertukaran gas di sepanjang membran alveolokapiler. Sehingga, kesempatan timbulnya penyakit di sistem oragan penting ini sangat banyak. Pendekatan yang lazim dalam studi tentang patologi paru, adalah dengan mengelompokkan panyakit paru menjadi penyakit yang mengenai saluran napas, interstitium, dan sistem vaskular paru. Pembagian menjadi kompartemen terpisah ini, jelas bersifat artifisial karena dalam kenyataannya, penyakit pada satu kompartemen umumnya disertai perubahan morfologi dan fungsi pada kompartemen yang lain.

Paru sebagai organ dengan permukaan yang luas, aliran darah yang cepat dan epitel alveolar yang tipis merupakan tempat kontak yang penting dengan substansi yang berasal dari lingkungan. Penyakit paru yang ada saat ini dapat disebabkan oleh banyak factor. Dan salah satu perhatian atas dampak pajanan bahan-bahan berbahaya di tempat kerja dan lingkungan terhadap kesehatan sejak beberapa dekade terakhir tampak makin meningkat karena peranannya terhadap gangguan fungsi paru. Penyakit paru kerja penting dikenali karena disebabkan oleh paparan debu, asap, atau zat-zat kimia yang nantinya dapat menggangu fungsi normal paru. Pajanan bahan berbahaya di tempat kerja dapat menyebabkan atau memperburuk penyakit seperti asma, bronkiektasis, Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), kanker paru, atau tuberkulosis..

Skenario: Seorang laki-laki usia 18 tahun merasakan batuk yang tidak berkurang sejak 3 hari yang lalu. Batuk yang dirasakan mula-mula tidak disertai dahak, akan tetapi sejak tadi pagi mulai batuk berdahak, bahkan sekarang mendadak menjadi sesak napas. Selain itu, penderita juga mengalami demam. Sebelumnya penderita membersihkan rak-rak buku lama ayahnya yang penuh dengan debu. Penderita segera datang ke dokter keluarganya, disana dokter memeriksa pasien untuk mendapatkan gejala dan tanda respirasi lainnya. Pada pemeriksaan auskultasi penderita ditemukan wheezing yang jelas. Dokter tersebut ingat, kakak penderita juga menderita penyakit paru kronik yang pada rontgen toraksnya menunjukkan gambaran honeycomb appearance tetapi tidak pernah ditemukan wheezing. Selanjutnya dokter memberi obat pada penderita tersebut 2 macam obat yang berbeda fungsinya.

Pada umumnya, penyakit paru dapat menimbulkan tanda-tanda dan gejala umum maupun tanda dan gejala pernapasan. Tanda dan gejala pernapasan mencakup batuk, sputum yang berlebihan, atau abnormal, hemoptisis, dispnea, dan nyeri dada. Sedangkan yang termasuk tanda dan gejala umum adalah sianosis, jari tabuh, dan osteoartropati hipertrofik, serta manifestasi lain yang berkaitan dengan pertukaran gas yang tidak adekuat.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana anatomi, dan fisiologi dari sistem pernafasan?

2. Bagaimana patofisiologi terjadinya batuk, dahak, sesak napas, demam dan wheezing?

3. Mengapa batuk yang awalnya tidak berdahak bisa menjadi batuk berdahak dan sesak napas?

4. Apakah terdapat keterkaitan antara penyakit pasien dengan penyakit kakaknya?

5. Apakah batuk yang diderita pasien disebabkan oleh debu?

6. Bagaimana mekanisme timbulnya honeycomb appearance? Penyakit apa saja yang terkait?

7. Dua macam obat apa yang diberikan dokter pada pasien?

C. TUJUAN

  1. Mengetahui anatomi dan fisiologi sistem pernafasan
  2. Mengetahui patofisiologi terjadinya batuk, dahak, sesak nafas, demam dan wheezing
  3. Mengetahui penyebab terjadinya sesak nafas yang bermula dari batuk
  1. Mengetahui keterkaitan penyakit kakak pasien dengan pasien sendiri
  2. Memahami mekanisme batuk karena alergen
  3. Memahami mekanisme terjadinya honeycomb appearance
  4. Mengetahui penatalaksanaan penyakit dalam skenario

C. MANFAAT
1. Mahasiswa dapat memahami anatomi dan fisiologi system respirasi

2. Mahasiswa dapat mencari dan mengerti patologi pada penyakit respiratorik khususnya asma bronkhiale

3. Mahasiswa dapat mengetahui kalsifikasi, kausa, diagnosis, penatalaksanaan,

prognosis, dan rehabilitasi penyakit asma bronkhiale


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

  1. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN

1. Anatomi Sistem Pernapasan

a. Jalan Napas

Jalan napas atau sistem konduksi terdiri atas rongga hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus berfungsi menghantarkan udara dari atmosfer ke dalam alveolus. Bronkus terbagi secara dikotomi, lambat laun mengecil dan berdinding lebih tipis pada saat udara melintas dari hilum menuju perifer. Bila dinding-dinding tersebut sudah tidak bertulang rawan, jalan napas ini dinamakan bronkiolus. Bronkiolus berdiameter 2 mm, memiliki dinding-dinding otot polos, dan berakhir pada alveolus. Epitel pelapis adalah kolumner bersilia di dalam jalan napas besar dan kuboid bersilia di dalam bronkiolus distal. Sel-sel goblet penghasil mukus juga ada, khususnya di dalam bronkus besar. Sebaran sel-sel granul kecil juga terdapat pada membran basal diantara sel-sel epitel dalam bronkus. Sel-sel ini merupakan sel neuroendokrin yang mengandung serotonin, bombesin, dan polipeptida lainnya. Sel-sel klara kecil berbentuk kubah di dalam bronkiolus terminal menyekresi protein yang melapisi jalan napas kecil.

b. Parenkim paru

Terdapat dua unit parenakim paru yaitu lobulus paru dan asinus paru. Lobulus paru ditunjukkan oleh struktur yang berasal dari bronkiolus kecil terdiri atas 5-7 bronkiolus terminal dan struktur-struktur yang lebih distal. Sedangkan asinus paru merupakan struktur yang muncul dari bronkiolus terminal tunggal dan terdiri atas bronkiolus respiratorik dan alveolus. Bronkiolus respiratorik dilapisi oleh epitel kuboid yang ikut berperan dalam pertukaran gas. Bronkiolus respiratoris tersebut menuju ke dalam duktus alveolus. Sakus alveolus timbul sebagai kantung-kantung luar sakular dari duktus alveolus dan bronkiolus respiratorik. Dinding alveolus memiliki tebal 5-10 mikron dan dilapisi oleh sel pneumosit tipe II yang merupakan penghasil surfaktan dan berproliferasi cepat bila terjadi cedera alveolus.

c. Pleura

Paru dikelilingi oleh sel-sel mesotel yang membentuk pleura visceralis dan nantinya akan bersambung dengan batas dalam dinding dada (pleura parietalis) pada hilum paru. Rongga pleura dilumasi oleh lapisan tipis cairan pleura yang memungkinkan gerakan paru sesuai dinding dada.

d. Pasokan darah

Paru memiliki pasokan darah ganda. Cabang-cabang arteriola bronkus mengikuti pohon bronkus dan memiliki fungsi nutritif. Arteri paru terbagi untuk menghasilkan jejaring kapiler, suatu fungsi primer tempat terjadinya pertukaran gas.

2. Fisiologi Sistem Pernapasan

Sistem pernapasan atau sistem respirasi memiliki peran/ fungsi untuk menyediakan oksigen (O2) serta mengeluarkan gas karbon dioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi penyediaan oksigen adalah sebagai sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok terus menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus segera dikeluarkan dari tubuh. CO2 ini bila tertumpuk dalam darah akan menurunkan pH sehingga menimbulkan keadaan asidosis yang dapat mengganggu faal badan bahkan dapat menyebabkan kematian. Proses respirasi berlangsung beberapa tahap yaitu:

a. Ventilasi, merupakan proses pergerakan udara kedalam dan keluar paru. Proses ini terdiri atas inspirasi dan ekspirasi.

- Inspirasi

Inspirasi yaitu pergerakan udara dari luar ke dalam paru. Inspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih rendah dari tekanan udara luar. Dan tekanan ini berkisar antara -1 mmHg sampai dengan -3 mmHg. Proses ini diawali dengan kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna. Kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan rongga toraks mengembang dan volume rongga membesar. Akibatnya, tekanan intra pleura menurun dan paru mengembang. Karena pada inspirasi, terjadi penurunan tekanan intraalveol, maka udara di atmosfer akan masuk ke dalam paru.

- Ekspirasi

Ekspirasi yaitu pergerakan udara dari dalam ke luar paru. Ekspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi dari tekanan udara luar. Ekspirasi merupakan suatu proses pasif yang disebabkan oleh sifat elastisitas dinding dada dan elastic coil paru. Proses ini diawali dengan relaksasi otot diafragma dan kontraksi otot interkostalis interna. Hal ini akan menyebabkan volume rongga toraks mengecil. Akibatnya, tekanan intra pleura meningkat dan paru mengecil. Karena pada ekspirasi, terjadi peningkatan tekanan intraalveol, maka udara dalam paru bergerak keluar paru.

b. Pernapasan Luar, merupakan proses pertukaran gas di dalam alveol dan darah

c. Transportasi gas dalam darah

d. Pernapasan Dalam, merupakan proses pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan

e. Pernapasan Seluler, merupakan proses metabolisme penggunaan oksigen di dalam sel serta pembuatan karbondioksida

  1. MANIFESTASI PENYAKIT RESPIRATORIK
  1. Manifestasi Pulmoner

Berupa keluhan atau tanda penyakit, baik akibat langsung (primer) maupun akibat tidak langsung (sekunder) dari proses yang ada di paru. Manifestasi ini dapat berupa:
a. Manifestasi pulmoner primer, merupakan keluhan/ tanda yang ditimbulkan langsung oleh proses setempat.

- Keluhan, merupakan ha-hal yang dirasakan oleh penderita serta dapat disampaiakan pada dokter pada waktu melakukan anamnesa. Keluhan ini pada dasarnya dapat berupa batuk dengan atau tanpa dahak/ darah; sesak napas dengan/tanpa berbunyi; dan nyeri dada

- Tanda penyakit, merupakan perubahan-perubahan jaringan paru, pleura atau dinding dada yang ditimbulkan oleh penyakit yang dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik. Tanda penyakit meliputi perubahan pada bentuk/ besarnya toraks, pergerakan pernapasan, dan penghantaran getaran suara

b. Manifestasi pulmoner sekunder, merupakan perubahan akibat kelainan paru yang dapat menimbulkan gangguan dalam pertukaran gas, dan peningkatan pembuluh darah

2. Manifestasi ekstrapulmoner

Berupa perubahan-perubahan atau kelainan yang terjadi di luar paru akibat dari penyakit yang ada di paru

- Metastasis, merupakan penyebaran penyakit paru ke luar paru seperti kanker paru menyebar ke tulang, hati, otak, dan organ tubuh lainnya.

- Non metastasis, merupakan gejala sistemik yang dapat berupa gejala umum (panas, anoreksia, rasa lelah) dan gejala khusus (jari tabuh, osteoartropati).

  1. PATOFISIOLOGI

1. Refleks Batuk

Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor di dapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial, dan diafragma.

Serabut afferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus, menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma.

Oleh serabut afferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-serabut afferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma,otot-otot interkostal, dan lain-lain. Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi. Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :

Fase iritasi

Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.

Fase inspirasi

Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial.

Fase kompresi

Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meninggi sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.

Fase ekspirasi/ ekspulsi

Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.
2. Sesak Napas

Sesak napas merupakan keluhan subjektif dari seorang yang menderita penyakit paru. Keluhan ini mempunyai jangkauan yang luas, sesuai dengan interpretasi seseorang mengenai arti sesak napas tadi. Pada dasarnya, sesak napas baru akan timbul bila kebutuhan ventilasi melebihi kemampuan tubuh untuk memenuhinya. Sedangkan kebutuhan ventilasi dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti aktivitas jasmani yang bertambah atau panas badan yang meningkat. Patofisiologi sesak napas akut dapat dibagi sebagai berikut:

- Oksigenasi jaringan menurun

- Kebutuhan oksigen meningkat

- Kerja pernapasan meningkat

- Rangsangan pada sistem saraf pusat

- Penyakit neuromuskuler

3. Wheezing

Wheezing merupakan suara napas tambahan yang bersifat continue, musical, nada tinggi, dan durasinya panjang. Wheezing dapat terjadi bila aliran udara secara cepat melewati saluran napas yang mendatar atau menyempit/ hampir tertutup. Wheezing secara umum disebabkan oleh obstruksi parsial atau penyempitan jalan napas. Wheezing yang terdengar menyeluruh di lapangan paru disebabkan oleh asma, bronkitis kronik, Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), dan penyakit jantung kongestif. Pada asma, wheezing hanya terdengar pada ekspirasi atau di antara dua fase siklus napas. Wheezing yang terdengar hanya pada lokasi tertentu menandakan terdapat obstruksi parsial pada bronkus, misalnya benda asing atau tumor. Wheezing ini bisa terjadi pada saat inspirasi, ekspirasi, atau keduanya.

  1. DIAGNOSIS BANDING
  1. Bronkiektasis

Pengertian

Bronkiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebaran bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muscular dinding bronkus. Bronkiektasis berarti suatu dilatasi yang tak dapat pulih lagi dari bronchial yang disebabkan oleh episode pnemonitis berulang dan memanjang,aspirasi benda asing, atau massa ( mis. Neoplasma) yang menghambat lumen bronchial dengan obstruksi. Bronkiektasis adalah dilatasi permanen abnormal dari salah satu atau lebih cabang-vabang bronkus yang besar.

Etiologi

* Infeksi

* Kelainan heriditer atau kelainan konginetal

* Faktor mekanis yang mempermudah timbulnya infeksi

* Sering penderita mempunyai riwayat pneumoni sebagai komplikasi campak, batuk rejan, atau penyakit menular lainnya semasa kanak-kanak.

Tanda dan Gejala

* Batuk yang menahun dengan sputum yang banyak terutama pada pagi hari,setelah tiduran dan berbaring.

* Batuk dengan sputum menyertai batuk pilek selama 1-2 minggu atau tidak ada gejala sama sekali ( Bronkiektasis ringan )

* Batuk yang terus menerus dengan sputum yang banyak kurang lebih 200 - 300 cc, disertai demam, tidak ada nafsu makan, penurunan berat badan, anemia, nyeri pleura, dan lemah badan kadang-kadang sesak nafas dan sianosis, sputum sering mengandung bercak darah,dan batuk darah.

* Gambaran radiologis khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambran sarang tawon (honey comb appearance).

  1. PNEUMONIA

Pengertian

Pneumonia adalah infeksi akut jaringan (parenkim) paru yang ditandai dengan demam, batuk dan sesak napas. Pneumonia dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya dan pemeriksaan penunjang (Rontgen, Laboratorium).

Etiologi

Sebagian besar penyebab Pneumonia adalah mikroorganisme (virus, bakteri). Dan sebagian kecil oleh penyebab lain seperti hidrokarbon (minyak tanah, bensin, atau sejenisnya) dan masuknya makanan, minuman, susu, isi lambung ke dalam saluran pernapasan (aspirasi).

Berbagai penyebab Pneumonia tersebut dikelompokkan berdasarkan golongan umur, berat ringannya penyakit dan penyulit yang menyertainya (komplikasi). Mikroorganisme tersering sebagai penyebab Pneumonia adalah virus, terutama Respiratory Syncial Virus (RSV) yang mencapai 40%. Sedangkan golongan bakteri yang ikut berperan terutama Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae type b (Hib). Awalnya, mikroorganisme masuk melalui percikan ludah (droplet), kemudian terjadi penyebaran mikroorganisme dari saluran napas bagian atas ke jaringan (parenkim) paru dan sebagian kecil karena penyebaran melalui aliran darah.

Tanda dan Gejala

Tanda-tanda Penumonia sangat bervariasi, tergantung golongan umur, mikroorganisme penyebab, kekebalan tubuh (imunologis) dan berat ringannya penyakit. Pada umumnya, diawali dengan panas, batuk, pilek, suara serak, nyeri tenggorokan. Selanjutnya panas makin tinggi, batuk makin hebat, pernapasan cepat (takipnea), tarikan otot rusuk (retraksi), sesak napas dan penderita menjadi kebiruan (sianosis). Adakalanya disertai tanda lain seperti nyeri kepala, nyeri perut dan muntah (pada anak di atas 5 tahun).

  1. ASTHMA BRONKIALE

1. DEFINISI

Asthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai ciri bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asthma merupakan penyakit yang kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biochemical, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi.

2. TIPE ASTHMA

Asthma terbagi menjadi alergi, idiopatik, non alergik atau campuran (mixed) :

a. Asthma Alergik /Ekstrinsik, merupakan suatu bentuk asthma dengan penyebab allergen (missal : bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dll). Allergen terbanyak adalah airborne dan seasonal (musiman). Pasien dengan asthma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan exzema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asthma. Bentuk asthma ini biasanya dimulai saat kanak-kanak.

b. Idiopathic atau Nonallergic Asthma/Intrinsik, tidak berhubungan secara langsung dengan allergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran nafas atas, kegiatan, emosi dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan. Beberapa agent pharmakologi, beta-adrenergic antagonist dan agent sulfite (penyedap makanan) juga dapat sebagai faktor. Serangan dari asthma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan seringkali dengan berjalannya waktu dan dapat berkembang menjadi bronchitis dan emfisema. Beberapa pasien berkembang menjadi asthma campuran. Bentuk asthma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (> 35 tahun).

c. Asthma Campuran (Mixed Asthma), merupakan bentuk asthma yang paling sering.

Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asthma alergi dan idiopatik atau nonalergi.

3. ETIOLOGI

Sampai saat ini etiologi asthma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang menonjol pada semua penderita asthma adalah fenomena hiperreaktivitas bronchus. bronchus penderita asthma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non-imunologi. Karena sifat inilah maka serangan asthma mudah terjadi akibat berbagai rangsangan baik fisis, metabolik, kimia, alergen, infeksi dan sebagainya. Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan asthma perlu diketahui dan sedapat mungkin dihindarkan. Faktor-faktor tersebut adalah :

a. Alergen utama : debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan

b. Iritan seperti asap, bau-bauan, pollutan

c. Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus

d. Perubahan cuaca yang ekstrim.

e. Kegiatan jasmani yang berlebihan.

f. Lingkungan kerja

g. Obat-obatan.

h. Emosi

4. GAMBARAN KLINIS

Gejala asthma terdiri dari triad : dispnea, batuk dan mengi, gejala yang disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (“sine qua non”).

Objektif

* Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing.

* Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit dikeluarkan.

* Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan

* Cyanosis, tachicardia, gelisah, pulsus paradoksus.

* Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apex dan hilus) Subjektif

* Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia. Psikososial

* Cemas, takut dan mudah tersinggung

* Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya.

5. PATOFISIOLOGI

Asthma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh limfosit T dan B dan diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang mencetuskan asthma bersifat airborne dan supaya dapat menginduksi keadaan sensitivitas, alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu tertentu. Akan tetapi sekali sensitisasi telah terjadi pasien akan memperlihatkan respon yang sangat baik sehingga sejumlah kecil alergen yang mengganggu sudah dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas.

Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut asthma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan sulfat. Sindroma pernafasan sensitif-aspirin khusus terutama mengenai orang dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial yang diikuti oleh rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul asthma progresif.

Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang juga akan terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non-steroid lain. Mekanisme dengan aspirin dan obat lain dapat menyebabkan bronkospasme tidak diketahui tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.

Antagonis beta-adrenergik biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien asthma demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan reaktifitas jalan nafas dan harus dihindarkan pada pasien ini. Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat klorida, yang secara luas digunakan dalam industri makanan dan farmasi sebagai agen sanitasi dan pengawet juga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada pasien yang sensitif. Pajanan biasanya terjadi setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung senyawa ini, misal, salad, buah segar, kentang, kerang dan anggur.

Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah cetusan lainnya dari internal pasien akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan antibodi yang mengakibatan dikeluarkan substansi pereda alergi yang sebetulnya merupakan mekanisme tubuh dalam menghadapi serangan yang dapat berupa dikeluarkannya histamin, bradikinin dan anafilatoksin.

Pengkajian Untuk menentukan beratnya Asthma

Manifestasi Klinis

Skor 0

Skor 1

a. Penurunan toleransi beraktifitas

b. Penggunaan otot nafas tambahan, adanya retraksi interkostal.

c. Wheezing

d. Respirasi rate permenit e. Pulse rate permenit

f. Teraba pulsus paradoksus

g. Puncak Expiratory Flow Rate (L/menit)

Ya

Tidak ada

Tidak ada

< 25

< 120

Tidak ada

> 100

Tidak

Ada

Ada

> 25

> 120

ada

< 100

Keterangan : Skor 4/lebih disangkakan asthma berat, klien harus diobservasi untuk menentukan adakah respon dari terapi atau segera dikirim ke rumah sakit.

Perubahan Dalam Arteri Blood Gas yang berhubungan dengan Asthma

Ringan

Sedang

Berat

Status Asmatikus

PaO2

PaCO2

pH

Elevasi

Menurun

Alkalosis

Normal sampai hipoxemia

ringan

Menurun sampai Normal

Alkalosis

Hipoxemia

Elevasi

Alkalosis

Hipoxemia berat

Elevasi Jelas

Asidosis

6. PEMERIKSAAN

Mengi/wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah 3 tahun. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal/fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer.

Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma melalui 3 cara, yaitu didapatkannya:

  • Variabilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced expiratory volume per satu detik) ≥15%

Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaannya berlangsung ≥ 2 minggu.

  • Reversibilitas pada PFR atau FEV1 ≥15%

Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.

  • Penurunan ≥20% pada FEV1 setelah provokasi bronkus dengan metakolin atau histamin.

Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma. Jika tidak tersedia, dapat menggunakan Lembar Catatan Harian sebagai alternatif. Asma bisa langsung diketahui jika pasien menderita eczema, alergi (atopik) atau sejarah asma dalam keluarga.

7. PENATALAKSANAAN

Prinsip-prinsip penatalaksanaan asthma bronchial :

a. Diagnosis status asmatikus. Faktor penting yang harus diperhatikan :

1) Saatnya serangan

2) Obat-obatan yang telah diberikan (macam dan dosis)

b. Pemberian obat bronchodilator.

c. Penilaian terhadap perbaikan serangan.

d. Pertimbangan terhadap pemberian kortikosteroid.

e. Setelah serangan mereda

1) Cari faktor penyebab.

2) Modifikasi pengobatan penunjang selanjutnya.

8. OBAT-OBATAN

a. Bronchodilator

Tidak digunakan bronchodilator oral, tetapi dipakai secara inhalasi atau parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan Aminophilin secara parenteral sebab mekanisme yang berlainan, demikian sebaliknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan Teofilin oral maka sebaiknya diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau parenteral.

Obat-obatan bronchodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap adrenoreseptor (Orsiprendlin, Salbutamol, Terbutalin, Ispenturin, Fenoterol) mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping kecil dibandingkan dengan bentuk non-selektif (Adrenalin, Efedrin, Isoprendlin)

* Obat-obat bronchodilatator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping sistemik lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak nafas berat pada anak-anak dan dewasa. Mula-mula diberikan 2 sedotan dari Metered Aerosol Defire (Afulpen Metered Aerosol). Jika menunjukkan perbaikan dapat diulang tiap 4 jam, jika tidak ada perbaikan sampai 10-15 menit berikan Aminophilin intravena.

* Obat-obat Bronchodilatator simpatomimetik memberi efek samping tachicardia, penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi, kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan. Anak-anak 0,01 mg/Kg BB subkutan (1 mg permil) dapat diulang tiap 30 menit untuk 2–3x sesuai kebutuhan.

* Pemberian Aminophilin secara intravena dosis awal 5 6 mg/Kg BB dewasa/anak-anak, disuntikkan perlahan dalam 5-10 menit. Untuk dosis penunjang 0,9 mg/KgBB/Jam secara infus. Efek sampingnya tekanan darah menurun bila dilakukan tidak secara perlahan.

b. Kortikosteroid

Pemberian obat–obat bronchodilatator tidak menunjukkan perbaikan, dilanjutkan dengan pengobatan kortikosteroid 200 mg hidrokortison secara oral atau dengan dosis 3 – 4 mg/Kg BB intravena sebagai dosis permulaan dan dapat diulang 2 – 4 jam secara parenteral sampai serangan akut terkontrol, dengan diikuti pemberian 30 – 60 mg prednison atau dengan dosis 1 – 2 mg/Kg BB/hari secara oral dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi secara bertahap.

c. Pemberian Oksigen

Melalui kanul hidung dengan kecepatan aliran O2 2-4 liter/menit dan dialirkan melalui air untuk memberikan kelembaban. Obat ekspektoran seperti Gliserolguaiakolat dapat juga digunakan untuk memperbaiki dehidrasi, maka intake cairan peroral dan infus harus cukup, sesuai dengan prinsip rehidrasi, antibiotik diberikan bila ada infeksi.

d. Beta Agonists

Beta agonists (b-adrenergic agents) merupakan pengobatan awal yang digunakan dalam pengobatan asthma dikarenakan obat ini bekerja dengan jalan mendilatasikan otot polos. Adrenergic Agent juga meningkatkan pergerakan cilliary, menurunkan mediator kimia anaphylaxis dan dapat meningkatkan efek broncholasi dari kortikosteroid. Agent adrenergic yang sering digunakan antara lain epinephrine, albuterol, metaproterenol, isoproterenol, isoetharine dan terbutaline. Biasanya diberikan secara parenteral atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan jalan pilihan dikarenakan dapat mempengaruhi secara langsung dan mempunyai efek samping yang lebih kecil.


BAB III

PEMBAHASAN

Perjalanan udara saat inspirasi bermula dari apertura nasalis anterior → cavitas nasi (concha nasalis superior untuk pembau, concha nasalis medius dan concha nasalis inferior untuk conditioning) → vestibulum nasi (dalam vestibulum nasi ini terdapat fibricea atau bulu hidung yang berfungsi sebagai penyaring partikel-partikel kecil seperti debu yang masuk bersama udara saat inspirasi) → choana → nasopharing → larynx → trachea (terdapat cartilago dan pars membranacea) → bronchus primer → bronchus sekunder → bronchus tertius → bronchiolus (disini sudah tidak ada cartilago) → bronchiolus terminalis (masuk zona respiratorius) → brochiolus repiratorius → ductus alveolaris → saccus alveolaris → alveolus.

Refleks batuk penting untuk kehidupan, karena batuk merupakan cara jalan ke paru dipertahankan bebas dari benda asing. Impuls aferen berasal dari jalan pernafasan, terutama melalui nervus vagus ke medulla oblongata (MO). Di sana rangkaian kejadian automatis dicetuskan oleh sirkuit neuron MO, menyebabkan efek berikut :

1. Sekitar 2,5 liter udara diinspirasikan,

2. Epiglotis menutup dan pita suara menutup rapat untuk menjebak udara di dalam paru-paru,

3. Otot-otot perut berkontraksi kuat, mendorong diafagma sementara otot-otot ekspirasi lain juga berkontraksi kuat (tekanan intrapulmonal meningkat ≥

100 mmHg),

4. Pita suara dan epiglotis tiba-tiba terbuka lebar sehingga udara yang tertekan

di dalam paru-paru meledak keluar,

5. Kompresi kuat paru-paru juga mengempiskan bronki dan trakea, lalu benda asing keluar.

Batuk yang tidak berkurang sejak tiga hari kemungkinan disebabkan adanya benda asing yang masuk ke dalam tractus respiratoria. Benda asing tersebut bisa bermacam-macam bentuknya, misalnya debu rumah.

Timbulnya dahak yang menyertai batuk disebabkan oleh adanya sel epitel berlapis mukus bersilia yang membantu membersihkan saluran pernafasan, karena silia bergetar ke arah faring dan menggerakkan mukus seperti suatu lembaran yang mengalir terus-menerus. Jadi partikel asing kecil dan mukus digerakkan dengan kecepatan satu sentimeter per menit sepanjang trakea ke faring. Benda asing di dalam saluran hidung juga dimobilisasikan ke laring.

Sesak nafas yang terjadi pada penderita lebih disebabkan karena reaksi hipersensitifitas terhadap suatu alergen, yang pada skenario adalah debu. Partikel debu sangatlah kecil, sulit dilihat dengan mata telanjang. Jika seseorang yang alergi terhadap debu secara tidak sengaja menghirupnya, maka tubuh akan meresponnya pertama kali dengan refleks batuk. Kemudian sistem imun tubuh meresponnya dengan melepaskan mediator-mediator inflamasi, seperti IgE, sel mast, Sel Th2, dan eosinofil. Akibatnya akan terjadi sesak nafas yang disebabkan oleh penyempitan bronkus yang berlebihan. Penyakit respirasi dengan riwayat seperti ini adalah asma ekstrinsik (disebabkan oleh reaksi hipersensitif tubuh terhadap suatu alergen, debu). Selain sesak nafas, tubuh juga akan mengalami kenaikkan suhu (demam) akibat melepaskan berbagai mediator inflamasi tadi.

Pada pemeriksaan fisik auskultasi penderita ditemukan adanya bunyi wheezing. Bunyi tersebut merupakan bunyi yang khas terdapat pada penyakit asma. Wheezing tersebut adalah terlepasnya udara dari saluran napas yang menyempit sehingga menghasilkan suara yang kontinyu. Sang kakak juga menderita penyakit paru kronik yang pada rontgen toraksnya menunjukkan gambaran honeycomb appearance tetapi tidak pernah ditemukan wheezing. Gambaran yang seperti sarang lebah tersebut merupakan salah satu ciri khas foto rontgen pada bronkiektasis.

Bronkiektasis adalah pelebaran menetap bronkus dan bronkiolus akibat kerusakan otot dan jaringan elastik penunjang, yang disebabkan oleh atau berkaitan dengan infeksi nekrotikans kronis. Pada kasus brinkhietaksis terjadi metaplasi sel epitel kolumner menjadi epitel bersquamous, selain itu terjadi nekrosis elemen kartilago dan rusaknya jaringan elastic. Inilah yang menyebabkan gambaran honeycomb apereance. Bronkiektasis bukanlah suatu penyakit primer, tetapi lebih merupakan akibat obstruksi atau infeksi persisten yang ditimbulkan oleh berbagai sebab. Pada sebagian kasus asma kronik tanpa penatalaksanaan yang tepat dapat berkembang menjadi bronkhietaksis.

Selain itu, Tanda demam pada scenario memungkinkan adanya gejala pneumonia, namun pada pneumonia terdapat tanda khas berupa nafas bonkhi bukan bunyi wheezing. Pneumonia itu sendiri bersifat akut sehingga pada perjalanannya tidak dapat berlanjut menjadi bronkhietaksis.

BAB IV

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Asma bronchial merupakan penyakit obstruksi paru akut dengan manifestasi klinis batuk yang kadang disertai dahak, sesak nafas, dan yang paling khas adalah ditemukannya suara paru wheezing. Asma bronchial termasuk ke dalam kategori hipersensitifitas tipe I, dimana allergen yang mengiritasi saluran nafas dapat menyebabkan batuk dan sesak nafas. Penderita asma bronchial harus segera mendapat penanganan, karena penyempitan saluran nafas bisa menyebabkan otot pernafasan lelah dan berlanjut menjadi gagal nafas. Walaupun asama bronchial tidak bisa disembuhkan, namun penyakit ini dapat dikontrol dengan menghindari allergen yang bisa menyebabkan kambuhnya asma.

  1. Saran
  1. Sebaiknya penderita asma segera mendapat penanganan yang tepat agar tidak terjadi komplikasi asma yang lebih lanjut, dan bahkan bisa terjadi gagal nafas
  2. Penderita asma sebaiknya mengetahui allergen-elergen yang dapat menyebabkan kambuhnya asma, sehingga penderita tersebut bisa menghindarinya
  3. Obat untuk penanganan asma akut, seperti inhaler, sebaiknya selalu dibawa penderita asma, agar bila serangan asma mendadak terjadi, bisa segera ditangani


DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood, Abdul Mukty. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press, hal: 15-56

Amin, Zulkifli. 2007. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan Sistem Pernapasan, Dalam: Sudoyo Aru W et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal: 959-963

Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 480-489

Forinsik, 2004. Catatan Kuliah IPD-Paru. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Marey Surakarta, hal: 4-11

Guyton, Arthur C. , John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 610-611

Kabat. 2004. Asma Bronkial, Dalam: Hood Alsagaff, M.Jusuf Wibisono, Winariani. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Cetakan 1. Surabaya: Graha Masyarakat Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga, hal: 41-50

Maitra, Anirban, Vinay Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas, Dalam : Stanley L.Robbins, Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta : Penerbit Buku Kedoketeran EGC, Hal: 510-515

Reviono et al. 2008. Ketrampilan Pemeriksaan Fisik Sistem Respirasi. Surakarta: Skills Lab Universitas Sebelas Maret Surakarta, hal: 15

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 622-635

Wilson, Lorraine M. 2005. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan, Dalam: Sylvia Anderson Price dan Lorraine McCarty Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 773-779