Kamis, 25 Maret 2010

Gastritis dan Diare

LAPORAN KELOMPOK
BLOK XIV GASTROENTEROLOGY
SKENARIO 1


GASTRITIS DAN DIARE DISERTAI DENGAN DEHIDRASI SEDANG YANG MENGARAH PADA SYOK HIPOVOLEMIK





OLEH :
1. HERRY PRASETYANTO G0008105
2. IKE PRAMASTUTI G0008107
3. IMAM RIZALDI G0008109
4. IRA RISTINAWATI G0008111
5. IZZATUL MUNA G0008113
6. KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115
7. NURSANTY S. G0008231
8. REDYA AYU T. G0008233
9. RESCHITA ADITYANTI G0008235
10. RIESKA WIDYASWARI G0008237
11. SALMA ASRI NOVA G0008239

KELOMPOK 9
NAMA TUTOR : dr. Nugroho, SpK




FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Gangguan pada saluran pencernaan dapat menimpa sebagian atau seluruh organ saluran pencernaan. Pada dasarnya penyebab gangguan ini dibedakan menjadi dua, yaitu gangguan organic atau gangguan fungsional. Pada kenyataannya kedua gangguan ini sulit dipisahkan karena gejala penyakitnya adalah sama. Gangguan organic biasanya terjadi akibat adanya kelainan fisik pada organ bersangkutan, misalnya luka atau peradangan. Sedangkan gangguan fungsional lebih disebabkan oleh penyimpangan fungsi organ. Adanya gangguan fungsional membuat fungsi pecernaan dan penyerapan sari-sari makanan mengalami penyimpangan. Stress dan tekanan psikologi mendorong peniingkatan pengeluaran asam lambung. Bila berlangsung terus menerus, asam lambung tersebut akan melukai lambung. Gangguan fungsionsl saluran pencernaan bila tidak lekas diatasi, dapat berubah menjadi gangguan organic.
Tanda dan gejala gangguan saluran pencernaan sangat tergantungpada bagian organ yang terserang. Bila yang terganggu saluran pencernaan atas sampai lambung, akan timbul gejala mual sampai muntah yang diikuti dengan penurunan nafsu makan (anoreksia). Bila letak gangguannya pada usus halus dan usus besar akan menyababkan diare.
Gangguan hati penyebabya dapat berupa kuman penyakit, seperti virus, cacing, parasit, maupun keracunan zat-zat kimia misalnya alkohol. Serangan virus dapat menyebabkan sel-sel hati mengalami peradangan (hepatitis). Penyakit hati harus segera diobati sampai tuntas. Jika tidak jaringan hati dapat cacat, dan mengalami pengerutan yang disebut sirhosis hati atau menyebabkan kanker hati.
Skenario I: Sakit Perut dan Diare
Seorang wanita umur 30 tahun datang ke unit gawat darurat RS dr. Moewardi Surakarta dengan keluhan sakit perut dan diare.
Riwayat penyakit sekarang : satu bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita sering merasakan perut tidak enak, nyeri di daerah epigastrium, nausea kadang-kadang vomitus, terlambat makan juga sakit, nocturnal pain positif sehingga terbangun. Pederita sering minum obat gastritis (lambung) dan anti muntah bila merasakan keluhan diatas. Penderita pernah berobat ke dokter dan dikatakan menderita penyakit gastritis atau ulkus peptikum.
Sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami diare sehari rata-rata 10 kali, konsistensi encer, tanpa disertai lendir dan darah, warna kuning berbau amis, juga disertai nausea dan vomitus. Vomitus terjadi setiap kali penderita makan atau minum. Badan lemah, kalau makan terasa pahit, sehingga penderita semakin tidak mau makan atau minum. Kencing sedikit.
Pemeriksaan fisik : keadaan umum lemah, gizi cukup, kesadaran apatis. Tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 110x/menit, respirasi rate 28 kali permenit (pernafasan kussmoul). Suhu 37° C. Mata cekung, bibir kering, abdomen : epigastric tenderness positif, turgor perut menurun. Kedua tangan keriput. Oleh dokter, pasien diberikan terapi cairan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita?
2. Apa diagnosis penyakit diatas ?
3. Bagaimana hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhannya saat ini?
4. Bagaimana hasil pemeriksaan pada penderita?
5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit yang di derita pasien?
C. Tujuan
1. Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita
2. Menentukan hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhannya saat ini
3. Mengetahui hasil pemeriksaan pada penderita
4. Mengetahui kemungkinan diagnosis penyakit pasien
5. Mengetahui penatalaksanaan penyakit pasien
D. Manfaat
1. Membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik
2. Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar
3. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem digestiva
4. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem digestiva

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Epitel lambung tersusun atas rugae yang pada pengamatan mikroskopis terdapat gastric pit dengan 4 sampai 5 percabangan yang disebut gastric gland. Jumlah gastric gland di cardia kurang dari 5%, di dalamnya terdapat sel mucus, dan endokrin. Sebagian besar (75%) gastric gland terdapat di mukosa oxyntic, tersusun atas sel mucus, parietal, chief, endokrin, dan enterochromaffin. Pyloric gland di antrum tersusun atas sel mucus dan endokrin (termasuk sel gastrin).
Pada keadaan tidak terstimulasi, di dalam sel parietal terdapat tubulovesikel sitoplasmik dan di permukaannya terdapat kanalikuli intraselular dengan mikrovili pendek. Saat sel parietal terstimulasi, H,K-ATPase di ekspresikan di membran tubulovesikel dan terbentuk rangkaian kanalikuli intraselular dengan mikrovili panjang. Sekresi asam lambung yang terjadi di permukaan kanalikuli merupakan aktifitas sel yang membutuhkan energi besar. Pasokan energi diperoleh dari mitochondria yang menempati 30-40% volume sel parietal
B. Fisiologi
• Sekresi Lambung
Kandungan cairan yang disekresi lambung terdiri dari air, elektrolit (H, K, Na, Cl, HCO3), enzim (pepsin, lipase), glikoprotein (intrinsic factor, mucin), dan trace element (Zn, Fe, Mg, Ca). HCl yang terkandung di dalamnya berfungsi untuk supresi mikro organisme yang ada di makanan, memperoleh pH optimal untuk fungsi enzimatik pepsin dan lipase, memudahkan absorpsi besi di duodenum, negative feedback pada gastrin, stimulasi sekresi bikarbonat pankreas. Kerja pepsin mengawali hidrolisis protein, dan memisah vitamin B12 dari protein makanan. Lipase mengawali hidrolisis trigliserida. Vitamin B12 berikatan dengan faktor intrinsic agar bisa diserap di ileum. Mucin dan bikarbonat berperan dalam fungsi proteksi terhadap bahan-bahan yang bisa merusak mukosa.
Selain sel-sel eksokrin, di dalam gastric gland terdapat pula sel-sel endokrin yang beberapa diantaranya mengatur sekresi sel-sel eksokrin. Sekresi sel D somatostatin, sel EC (enterochromaffin) serotonin, sel ECL (enterochromaffin-like) histamine letaknya berdekatan dan mengatur sekresi sel parietal. Sel D dan sel ECL merupakan sel paracrine, sedangkan sel G (gastrin) yang hanya terdapat di pyloric gland sebagai sel endokrin. Sekresi gastric neuron meliputi acethylcholine dan neurocrine seperti GRP (gastrin releasing peptide), CGRP (calcitonin gene-related peptide), PACAP (pituitary adenylate cyclase-activating polypeptide)
• Pertahanan Mukosa Gastroduodenal
Sistem pertahanan atau sistem defensif mukosa gastroduodenal terdiri dari 3 lapis yakni elemen preepitelial, epitelial, dan subepitelial.
- Elemen preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama adalah berupa lapisan mucus bicarbonate yang merupakan penghalang fisikokimiawi terhadap berbagai bahan kimia termasuk ion hydrogen. Mukus tersusun dari lipid, glikoprotein, dan air sebanyak 95%. Mucin adalah campuran glikoprotein, phospholipid dan asam lemak membentuk lapisan hidrofobik. Fungsi mucus ini menghalangi difusi ion dan molekul, misalnya pepsin. Bikarbonat yang disekresi sel epitel permukaan membentuk gradasi pH di lapisan mucus, pH pada permukaan terluar berkisar 1 ? 2 dan 6 ? 7 pada lapisan dasar yang bersinggungan dengan sel epitel. Stimulasi sekresi bikarbonat oleh calcium, prostaglandin, asam, dan rangsang cholinergik.
- Lapis pertahanan kedua adalah sel epitel itu sendiri. Aktifitas pertahanannya meliputi produksi mucus, bikarbonat, transportasi ion untuk mempertahankan pH, dan membuat ikatan antar sel. Bila pertahanan preepitelial bisa dilewati akan segera terjadi restitusi, sel sekeliling mukosa yang rusak migrasi dan mengganti sel-sel epitel yang rusak. Proses ini tidak tergantung pada pembelahan sel, membutuhkan sirkulasi darah yang utuh, dan pH sekitar yang alkali. Modulasi proses restitusi ini memerlukan beberapa growth factor, seperti EGF (epidermal growth factor), TGF alfa (transforming growth factor alfa), FGF (fibroblast growth factor). Bila kerusakan mukosa luas dan tidak teratasi dengan proses restitusi akan diatasi dengan proliferasi sel epitel. Pengaturan regenerasi ini oleh prostaglandin, EGF dan TGF alfa. Bersamaan dengan itu bila terjadi kerusakan vascular akan terjadi angiogenesis yang diatur oleh FGF dan VEGF (vascular endothelial growth factor). Prostaglandin adalah metabolit asam arakhidonat dan menduduki peran sentral dalam pertahanan epitelial. Mengatur sekresi mucus dan bikarbonat, menghambat sekresi sel parietal, mempertahankan sirkulsai mukosa, dan restitusi sel. Enzim phospholipase A2 merubah phospholipid dari membran sel menjadi asam arakhidonat, yang selanjutnya terbentuknya prostaglandin lewat peran enzim COX (cyclooxygenase). Dikenal dua isoform COX-1, dan COX-2. yang berbeda dalam struktur, distribusinya di jaringan, dan ekspresinya.
- Lapisan pertahanan ketiga adalah aliran darah dan lekosit. Komponen terpenting lapis pertahanan ini ialah mikrosirkulasi subpetileal yang adekuat. Sangat diperlukan untuk mempertahankan keutuhan dan kelangsungan hidup sel epitel dengan memasok oksigen, mikronutrien, dan membuang produk metabolisme yang toksik.
C. Definisi Gastritis
Gastritis ialah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa. Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yangdapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
D. Etiologi Gastritis
Lambung adalah sebuah kantung otot yang kosong, terletak pada bagian kiri atas perut tepat dibawah tulang iga. Lambung orang dewasa mempunyai panjang berkisar antara 10 inchi dan dapat mengembang untuk menampung makanan atau minuman sebanyak 1 gallon. Bila lambung dalam keadaan kosong, maka ia akan melipat, mirip seperti sebuah akordion. Ketika lambung mulai terisi dan mengembang, lipatan - lipatan tersebut secara bertahap membuka.
Lambung memproses dan menyimpan makanan dan secara bertahap melepaskannya ke dalam usus kecil. Ketika makanan masuk ke dalam esophagus, sebuah cincin otot yang berada pada sambungan antara esophagus dan lambung (esophageal sphincter) akan membuka dan membiarkan makanan masuk ke lambung. Setelah masuk ke lambung cincin in menutup. Dinding lambung terdiri dari lapisan lapisan otot yang kuat. Ketika makanan berada di lambung, dinding lambung akan mulai menghancurkan makanan tersebut. Pada saat yang sama, kelenjar - kelenjar yang berada di mukosa pada dinding lambung mulai mengeluarkan cairan lambung (termasuk enzim - enzim dan asam lambung) untuk lebih menghancurkan makanan tersebut.
Salah satu komponen cairan lambung adalah asam hidroklorida. Asam ini sangat korosif sehingga paku besi pun dapat larut dalam cairan ini. Dinding lambung dilindungi oleh mukosa - mukosa bicarbonate (sebuah lapisan penyangga yang mengeluarkan ion bicarbonate secara regular sehingga menyeimbangkan keasaman dalam lambung) sehingga terhindar dari sifat korosif asam hidroklorida.
Gastritis biasanya terjadi ketika mekanisme pelindung ini kewalahan dan mengakibatkan rusak dan meradangnya dinding lambung. Beberapa penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya gastritis antara lain :
Infeksi bakteri. Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi oleh bakteri H. Pylori yang hidup di bagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung. Walaupun tidak sepenuhnya dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat ditularkan, namun diperkirakan penularan tersebut terjadi melalui jalur oral atau akibat memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Infeksi H. pylori sering terjadi pada masa kanak - kanak dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Infeksi H. pylori ini sekarang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya peptic ulcer dan penyebab tersering terjadinya gastritis. Infeksi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan peradangan menyebar yang kemudian mengakibatkan perubahan pada lapisan pelindung dinding lambung. Salah satu perubahan itu adalah atrophic gastritis, sebuah keadaan dimana kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung secara perlahan rusak. Peneliti menyimpulkan bahwa tingkat asam lambung yang rendah dapat mengakibatkan racun-racun yang dihasilkan oleh kanker tidak dapat dihancurkan atau dikeluarkan secara sempurna dari lambung sehingga meningkatkan resiko (tingkat bahaya) dari kanker lambung. Tapi sebagian besar orang yang terkena infeksi H. pylori kronis tidak mempunyai kanker dan tidak mempunyai gejala gastritis, hal ini mengindikasikan bahwa ada penyebab lain yang membuat sebagian orang rentan terhadap bakteri ini sedangkan yang lain tidak.
Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus. Obat analgesik anti inflamasi nonsteroid (AINS) seperti aspirin, ibuprofen dan naproxen dapat menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung. Jika pemakaian obat - obat tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat mengakibatkan gastritis dan peptic ulcer.
Penggunaan alkohol secara berlebihan. Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal.
Penggunaan kokain. Kokain dapat merusak lambung dan menyebabkan pendarahan dan gastritis.
Stress fisik. Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan juga borok serta pendarahan pada lambung.
• Kelainan autoimmune. Autoimmune atrophic gastritis terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat yang berada dalam dinding lambung. Hal ini mengakibatkan peradangan dan secara bertahap menipiskan dinding lambung, menghancurkan kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung dan menganggu produksi faktor intrinsic (yaitu sebuah zat yang membantu tubuh mengabsorbsi vitamin B-12). Kekurangan B-12, akhirnya, dapat mengakibatkan pernicious anemia, sebuah konsisi serius yang jika tidak dirawat dapat mempengaruhi seluruh sistem dalam tubuh. Autoimmune atrophic gastritis terjadi terutama pada orang tua.
Crohn's disease. Walaupun penyakit ini biasanya menyebabkan peradangan kronis pada dinding saluran cerna, namun kadang-kadang dapat juga menyebabkan peradangan pada dinding lambung. Ketika lambung terkena penyakit ini, gejala-gejala dari Crohn's disease (yaitu sakit perut dan diare dalam bentuk cairan) tampak lebih menyolok daripada gejala-gejala gastritis.
Radiasi and kemoterapi. Perawatan terhadap kanker seperti kemoterapi dan radiasi dapat mengakibatkan peradangan pada dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi gastritis dan peptic ulcer. Ketika tubuh terkena sejumlah kecil radiasi, kerusakan yang terjadi biasanya sementara, tapi dalam dosis besar akan mengakibatkan kerusakan tersebut menjadi permanen dan dapat mengikis dinding lambung serta merusak kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung.
• Penyakit bile reflux. Bile (empedu) adalah cairan yang membantu mencerna lemak-lemak dalam tubuh. Cairan ini diproduksi oleh hati. Ketika dilepaskan, empedu akan melewati serangkaian saluran kecil dan menuju ke usus kecil. Dalam kondisi normal, sebuah otot sphincter yang berbentuk seperti cincin (pyloric valve) akan mencegah empedu mengalir balik ke dalam lambung. Tapi jika katup ini tidak bekerja dengan benar, maka empedu akan masuk ke dalam lambung dan mengakibatkan peradangan dan gastritis.
Faktor-faktor lain. Gastritis sering juga dikaitkan dengan konsisi kesehatan lainnya seperti HIV/AIDS, infeksi oleh parasit, dan gagal hati atau ginjal.
E. Patofisiologi Gastritis

Terdapat gangguan keseimbangan faktor agresif dan faktor defensif yang berperan dalam menimbulkan lesi pada mukosa. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Faktor Agresif

Faktor Defensif

Asam Lambung

Pepsin

OAINS

Empedu

Urea

Infeksi

Bahan korosif

Bikarbonat mukosa

Aliran darah mukosa

Regenerasi epitel

Prostaglandin mikrosirkulasi


Obat-obatan, alkohol, garam empedu atau enzim-enzim pankreas dapat merusak mukosa lambung (gastritis erosif), mengganggu pertahanan mukosa lambung dan memungkinkan difusi kembali asam dan pepsin ke dalam jaringan lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respon mukosa lambung terhadap kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya.
Dengan iritasi yang terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan.Masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada dinding lambung (gastritis korosif). Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi dinding lambung dengan akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis.
Gastritis kronis dapat menimbulkan keadaan atropi kelenjar-kelenjar lambung dan keadaan mukosa terdapat bercak-bercak penebalan berwarna abu-abu atau abu-abu kehijauan (gastitis atropik). Hilangnya mukosa lambung akhirnya akan mengakibatkan berkurangnya sekresi lambung dan timbulnya anemia pernisiosa. Gastritis atropik boleh jadi merupakan pendahuluan untuk karsinoma lambung. Gastritis kronis dapat pula terjadi bersamaan dengan ulkus peptikum atau mungkin terjadi setelah tindakan gastroyeyunostomi.
Gastritis kronis dapat diklasifikasikan tipe A atau tipe B. Tipe A (sering disebut sebagai gastritis autoimun) diakibatkan dari perubahan sel parietal, yang menimbulkan atropi dan infiltrasi sel. Hal ini dihubungkan dengan penyakit otoimun, seperti anemia pernisiosa dan terjadi pada fundus atau korpus dari lambung.
Tipe B (kadang disebut sebagai gastritis H. pylory) ini dihubungkan dengan bakteri H. pylory, faktor diet seperti minum panas atau pedas, penggunaan obat-obatan dan alkohol, merokok atau refluks isi usus kedalam lambung.
F. Manifestasi Klinis
Gejala sakit gastritis adalah timbul karena makan tidak teratur, makan yang terlalu asam, kebanyakan makan yang manis, bisa juga karena stres. Sakit gastritis terasa pada lambung yang terasa perih, mual kadang-kadang kembung.
Sakit mag sering kali digambarkan sebagai “termakan”-nya lambung kita oleh asam lambung. Kalau penyakit ini menimpa, kita akan merasakan sakit luar biasa pada perut atas kiri. Ternyata beberapa tanaman di sekitar kita punya khasiat mencegah dan menyembuhkannya.
Kalau sering muntah agak asam, suhu badan naik, muka pucat, nafsu makan kurang, kalau sedang kosong perut terasa sakit, pedih, dan sesak pada bagian atas, ulu hati sakit hingga kadang-kadang membuat kita terbangun di tengah malam, buang hajat tidak teratur, terkadang sembelit atau mencret, kita patut curiga tukak lambung sedang mendera kita. Istilah paling populer untuk penyakit ini adalah sakit gastritis.
Pada keadaan sakit terdapat borok-borok pada mukosa lambung. Borok terjadi akibat tidak seimbangnya sekresi asam lambung-pepsin dan mukus (produk kelenjar pada mukosa lambung yang berfungsi sebagai benteng bagi lapisan mukosa lambung). Karena lambung terletak di rongga perut bagian atas agak ke kiri (ulu hati), maka penderita biasanya mengeluh sakit di bagian itu. Biang keladi penyakit ini adalah zat yang dapat menginhibisi sekresi asam lambung. Misalnya histamin dan antiinflamasi nonsteroid. Kerja berat, pikiran tegang, tidak tenang, atau kurang tidur juga menyebabkan kadar asam lambung yang tinggi. Sering terlambat makan, kebiasaan minum obat yang bersifat asam saat perut kosong, minum minuman beralkohol, dan mengisap rokok berlebihan juga dapat menjadi penyebab penyakit ini. Demikian pula dengan infeksi bakteri Helicobacter pylory yang dapat menyerbu lapisan submukosa lambung.
Penyakit mag sangat kita kenal. Jika kambuh, penderitanya akan merasa mual, perih pada perut, nyeri, dan kembung. Juga banyak penderita yang mengeluarkan keringat dingin dan muka menjadi pucat. Sejumlah penderita bahkan bisa pingsan karena tak tahan dengan serangan mag.
Mag bisa menimpa siapa saja dan dari golongan umur mana saja. Terutama mereka yang tidak memperhatikan pola makan yang teratur. Kalangan jurnalis sering dianggap paling rentan dan paling banyak menderita penyakit ini karena kebiasaan makannya tidak teratur.
G. Diagnosis
• Penegakan Diagnosis
a. Gastritis Akut:
Tiga cara yang dilakukan untuk mendiagnosis gastritis akut, yaitu:
1. Gambaran Klinis, yang berupa dyspepsia (nyeri epigastrium, mual, kembung, muntah), perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena),kemudian disusul tanda-tanda anemia pasca perdarahan.
2. Endoskopi, ditemukan gambaran lesi mukosa akut di mukosa lambung, berupa erosi atau ulkus dangkal dengan tepi rata
3. Gambaran radiology (sebaiknya dengan kontras ganda)
b. Gastritis Kronik:
Kebanyakan pasien gastritis kronis tidak memiliki keluhan. Hanya sebagian kecil yang mengeluh nyeri ulu hati, anorexia, nausea, dan pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai adanya kelainan. Diagnosis gastritis kronis ditegakkan berdasarka pemeriksaan endoskopi dan dilanjutkan dengan histopatologi biopsy mukosa lambung. Perlu pula dilakukan kultur untuk membuktikan adanya infeksi Helicobacter Pylori apalagi jika ditemukan ulkus baik pada lambung atau duodenum. Dilakukan pula Rapid Ureum Test (CLO). Kriteria minimal penegakan diagnosis Helicobacter Pylori jika hasil CLO dan / atau PA positif. Dilakukan pula pemeriksaan serologi untuk Helicobacter Pylori sebagai diagnosis awal.
Bila seorang pasien didiagnosa terkena gastritis, biasanya dilanjutkan dengan pemeriksaan tambahan untuk mengetahui secara jelas penyebabnya. Pemeriksaan tersebut meliputi :
• Pemeriksaan darah. Tes ini digunakan untuk memeriksa adanya antibodi H. pylori dalam darah. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa pasien pernah kontak dengan bakteri pada suatu waktu dalam hidupnya, tapi itu tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut terkena infeksi. Tes darah dapat juga dilakukan untuk memeriksa anemia, yang terjadi akibat pendarahan lambung akibat gastritis.
• Pemeriksaan pernapasan. Tes ini dapat menentukan apakah pasien terinfeksi oleh bakteri H. pylori atau tidak.
• Pemeriksaan feces. Tes ini memeriksa apakah terdapat H. pylori dalam feses atau tidak. Hasil yang positif dapat mengindikasikan terjadinya infeksi. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap adanya darah dalam feces. Hal ini menunjukkan adanya pendarahan pada lambung.
• Endoskopi saluran cerna bagian atas. Dengan tes ini dapat terlihat adanya ketidaknormalan pada saluran cerna bagian atas yang mungkin tidak terlihat dari sinar-X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimati-rasakan (anestesi) sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi adalah rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop.
• Ronsen saluran cerna bagian atas. Tes ini akan melihat adanya tanda-tanda gastritis atau penyakit pencernaan lainnya. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih dahulu sebelum dilakukan ronsen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika di ronsen.
• Diagnosis Banding
a. Gastroenteritis. Juga disebut sebagai flu perut (stomach flu), yang biasanya terjadi akibat infeksi virus pada usus. Gejalanya meliputi diare, kram perut dan mual atau muntah, juga ketidaksanggupan untuk mencerna. Gejala dari gastroenteritis sering hilang dalam satu atau dua hari sedangkan untuk gastritis dapat terjadi terus menerus.
b. Heartburn. Rasa sakit seperti terbakar yang terasa di belakang tulang dada ini biasanya terjadi setelah makan. Hal ini terjadi karena asam lambung naik dan masuk ke dalam esophagus (saluran yang menghubungkan antara tenggorokan dan perut). Heartburn dapat juga menyebabkan rasa asam pada mulut dan terasa sensasi makanan yang sebagian sudah dicerna kembali ke mulut.
c. Stomach ulcers. Jika rasa perih dan panas dalam perut terjadi terus menerus dan parah, maka hal itu kemungkinan disebabkan karena adanya borok dalam lambung. Stomach (peptic) ulcer atau borok lambung adalah luka terbuka yang terjadi dalam lambung. Gejala yang paling umum adalah rasa sakit yang menjadi semakin parah ketika malam hari atau lambung sedang kosong. Gastritis dan stomach ulcers mempunyai beberapa penyebab yang sama, terutama infeksi H. pylori. Penyakit ini dapat mengakibatkan terjadinya gastritis dan begitu juga sebaliknya.
d. Nonulcer dyspepsia. Merupakan kelainan fungsional yang tidak terkait pada penyakit tertentu. Penyebab pasti keadaan ini tidak diketahui, tetapi stress dan terlalu banyak mengkonsumsi gorengan, makanan pedas atau makanan berlemak diduga dapat mengakibatkan keadaan ini. Gejalanya adalah sakit pada perut atas, kembung dan mual.
H. Komplikasi
• Ulkus Peptikum
Ulkus Peptikum adalah suatu luka terbuka yang berbentuk bundar atau oval pada lapisan lambung atau usus dua belas jari (duodenum).Ulkus pada lambung disebut ulkus gastrikum, sedangkan ulkus pada usus duabelas jari disebut ulkus duodenalis.
Ulkus peptikum bisa disebabkan oleh bakteri (misalnya Helicobacter pylori) atau obat-obatan yang menyebabkan melemahnya lapisan lendir pelindung lambung dan duodenum sehingga asam lambung bisa menembus lapisan yang sensitif di bawahnya.
Asam lambung dan bakteri dapat mengiritasi lapisan lambung dan duodenum serta menyebabkan terbentuknya ulkus. H. pylori biasanya ditularkan pada masa kanak-kanak, bisa melalui makanan, air atau kontak dengan penderita infeksi H. pylori.
Penyakit menular ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa yang berumur lebih dari 60 tahun dan juga lebih sering ditemukan di negara-negara berkembang. Sebagian besar orang yang memiliki H. pylori baru menunjukkan gejala-gejala setelah mencapai usia lanjut, mereka bahkan tidak menyadari bahwa mereka memiliki bakteri tersebut. Meskipun H.pylori biasanya tidak menimbulkan masalah pada masa kanak-kanak, tetapi jika tidak diobati bisa menyebabkan gastritis, ulkus peptikum dan bahkan kanker lambung.
Para ahli sepakat bahwa penyebab utama dari ulkus peptikum pada orang dewasa adalah bakteri Helicobacter pylori, tetapi tidak semua ahli berpendapat bahwa penyebab utama dari ulkus pada masa kanak-kanak adalah bakteri tersebut.
Beberapa ahli mengemukakan perbedaan antara ulkus duodenalis dan ulkus gastrikum; ulkus duodenalis biasanya disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori, sedangkan ulkus gastrikum memiliki penyebab yang lain. 50% dari kasus disebabkan oleh Helicobacter pylori dan sisanya memiliki penyebab yang tidak diketahui secara pasti. Yang pasti, ulkus peptikum jarang ditemukan pada anak-anak yang sehat.
Pada beberapa kasus, penyebabnya adalah pemakaian obat. Pemakaian NSAIDs (non-steroid anti inflammatory drugs, obat anti peradangan non-steroid) dosis menengah bisa menyebabkan kelainan saluran pencernaan dan perdarahan pada beberapa anak. Acetaminophen tidak menyebabkan ulkus gastrikum dan merupakan pilihan NSAIDs yang baik bagi anak-anak.
Pada bayi baru lahir, gejala awal dari ulkus peptikum bisa berupa adanya darah di dalam tinja. Jika ulkus menyebabkan terbentuknya lubang (perforasi) pada lambung atau usus halus, bayi bisa tampak kesakitan dan cenderung timbul demam.
Pada bayi yang lebih tua dan anak kecil, selain di dalam tinjanya ditemukan darah, juga disertai muntah atau nyeri perut berulang. Nyeri seringkali semakin memburuk atau membaik jika anak makan. Nyeri juga menyebabkan anak terbangun dari tidurnya pada malam hari.
• Diare
Diare adalah peningkatan volume, keenceran atau frekuensi buang air besar. Diare yang disebabkan oleh masalah kesehatan biasanya jumlahnya sangat banyak, bisa mencapai lebih dari 500 gram/hari. Orang yang banyak makan serat sayuran, dalam keadaan normal bisa menghasilkan lebih dari 500 gram, tetapi konsistensinya normal dan tidak cair. Dalam keadaan normal, tinja mengandung 60-90% air, pada diare airnya bisa mencapai lebih dari 90%.
Diare dapat disebabkan karena :
a. Diare osmotik terjadi bila bahan-bahan tertentu yang tidak dapat diserap ke dalam darah, tertinggal di usus. Bahan tersebut menyebabkan peningkatan kandungan air dalam tinja, sehingga terjadi diare. Makanan tertentu (buah dan kacang-kacangan) dan heksitol, sorbitol juga manitol (pengganti gula dalam makanan dietetik, permen dan permen karet) dapat menyebabkan diare osmotik.
Kekurangan laktase juga bisa menyebabkan diare osmotik. Laktase adalah enzim yang secara alami ditemukan dalam usus halus, yang mengubah gula susu (laktosa) menjadi glukosa dan galaktosa, sehingga dapat diserap ke dalam aliran darah. Jika orang mengalami kekurangan laktase minum susu atau makan produk olahan susu, maka laktosa tidak akan diubah tapi terkumpul di usus dan menyebabkan diare osmotik.
b. Diare sekretorik terjadi jika usus kecil dan usus besar mengeluarkan garam (terutama natrium klorida) dan air ke dalam tinja. Hal ini juga bisa disebabkan oleh toksin tertentu seperti pada kolera dan diare infeksius lainnya. Diare bisa sangat banyak, bahkan pada kolera bisa lebih dari 1 liter/hari.
Bahan lainnya yang juga menyebabkan pengeluaran air dan garam adalah minyak kastor dan asam empedu (yang terbentuk setelah pengangkatan sebagian usus kecil). Tumor tertentu (misalnya karsinoid, gastrinoma dan vipoma, juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
c. Sindroma Malabsorbsi juga bisa menyebabkan diare. Penderita sindroma ini tidak dapat mencerna makanannya secara normal. Pada malabsorbsi yang menyeluruh, lemak tertinggal di usus besar dan menyebabkan diare sekretorik, sedangkan adanya karbohidrat dalam usus besar menyebabkan diare osmotik.
Malabsorbsi mungkin juga disebabkan oleh beberapa keadaan seperti:
 Sariawan non-tropikal
 Insufisiensi pancreas
 Pengangkatan sebagian usus
 Aliran darah ke usus besar yang tidak adekuat
 Kekurangan enzim tertentu di usus halus
 Penyakit hati.
d. Diare eksudatif terjadi jika lapisan usus besar mengalami peradangan atau membentuk tukak, lalu melepaskan protein, darah, lendir dan cairan lainnya, yang akan meningkatkan kandungan serat dan cairan pada tinja.
Diare ini dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit seperti:
 Kolitis ulserativa
 Penyakit Crohn (enteritis regional)
 Tuberkulosis
 Limfoma
 Kanker.
Jika mengenai lapisan rektum, penderita akan merasakan desakan untuk buang air besar dan sering buang air besar, karena rektum yang mengalami peradangan lebih sensitf terhadap peregangan oleh tinja.
Diare yang berat juga dapat menyebabkan kehilangan cairan (dehidrasi) dan kehilangan elektrolit seperti natrium, kalium, magnesium dan klorida. Jika sejumlah besar cairan dan elektrolit hilang, tekanan darah akan turun dan dapat menyebabkan pingsan, denyut jantung tidak normal (aritmia) dan kelainan serius lainnya. Resiko ini terjadi terutama pada anak-anak, orang tua, orang dengan kondisi lemah dan penderita diare yang berat.
• Dehidrasi
Keadaan dimana berkurangnya volume air tanpa elektrolit (natrium) atau berkurangnya air jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel (hipernatremia). Akibatnya osmolaritas cairan ekstrasel (CES) meningkat karena natrium meningkat di cairan ekstrasel. Akibatnya, air dari cairan intrasel keluar ke cairan ekstrasel untuk mengencerkan Na yang meningkat pada CES. Selain itu, meningkatnya osmolaritas merangsang sel saraf khusus atau osmoreseptor yang berada pada hipotalamus anterior yang terletak dekat dengan nukleus supraoptik untuk mengerutkan selnya. Sel yang mengerut ini akan mengirimkan sinyal saraf ke sel saraf tambahan di nukleus supraoptik sampai ke tangkai hipofisis posterior. Sinyal inilah yang kemudian merangsang pengeluaran antidiuretikhormon (ADH). ADH ini akan disimpan dalam granula sekretorik diujung saraf. ADH yang disekresikan akan terbawa aliran darah dan ditransfer sampai ginjal. Di ginjal ini, efek ADH yaitu meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan duktus koligentes terhadap air, sehingga reabsorbsi air meningkat, dan urin menjadi pekat.
Selain sistem ADH, sistem lain yang berperan adalah sistem renin angiotensin aldosteron. Sistem ini tidak begitu berpengaruh terhadap retensi Na karena 2 hal. Yang pertama yaitu angiotensin II dan aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium dan air oleh tubulus ginjal, yang meningkatkan CES dan kuantitas Na tetapi sedikit perubahan pada konsentrasi Na. Kedua, selama mekanisme ADH-rasa haus berfungsi, kecenderungan yang mengarah pada peningkatan konsentrasi natrium plasma akan dikompensasi dengan peningkatan sekresi ADH plasma, yang cenderung mengencerkan CES kembali normal. Bila konsentrasi Na hanya meningkat sekitar 2mEq/L diatas normal, mekanisme rasa haus diaktifkan, keadaan ini disebut dengan ambang batas untuk minum
Manifestasi klinis yang muncul yaitu berkeringat, urine yang pekat disebabkan karena reabsorbsi air yang meningkat sebagai kompensasi, gejala dehidrasi pada sel otak seperti lemas, agitasi, hiperrefleksi. Selain itu juga kulit menjadi keriput, selaput lendir kering, dan lidah kering kasar disebabkan karena selnya menciut akibat air dari CIS keluar ke CES sebagai kompensasi akibat hipernatremia. Selain itu juga konjungtiva pucat, dan pada pemeriksaan fisik turgor perut menurun
• Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merujuk suatu keadaan di mana terjadi kehilangan cairan tubuh dengan cepat sehingga terjadinya multiple organ failure akibat perfusi yang tidak adekuat. Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan cara mengaktifkan 4 sistem major fisiologi tubuh: sistem hematologi, sistem kardiovaskular, sistem renal dan sistem neuroendokrin.system hematologi berespon kepada perdarahan hebat yag terjadi secara akut dengan mengaktifkan cascade pembekuan darah dan mengkonstriksikan pembuluh darah (dengan melepaskan thromboxane A2 lokal) dan membentuk sumbatan immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak akan mendedahkan lapisan kolagennya, yang secara subsekuen akan menyebabkan deposisi fibrin dan stabilisasi dari subatan yang dibentuk. Kurang lebih 24 jam diperlukan untuk pembentukan sumbatan fibrin yang sempurna dan formasi matur.
Sistem kardiovaskular awalnya berespon kepada syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meninggikan kontraktilitas myocard, dan mengkonstriksikan pembuluh darah jantung.. System kardiovaskular juga merespon dengan mendistribusikan darah ke otak, jantung, dan ginjal dan membawa darah dari kulit, otot, dan GI. System urogenital (ginjal) merespon dengan stimulasi yang meningkatkan pelepasan rennin dari apparatus justaglomerular. Dari pelepasan rennin kemudian diproses kemudian terjadi pembentukan angiotensi II yang memiliki 2 efek utama yaitu memvasokontriksikan pembuluh darah dan menstimulasi sekresi aldosterone pada kortex adrenal. Adrenal bertanggung jawab pada reabsorpsi sodium secra aktif dan konservasi air. System neuroendokrin merespon hemoragik syok dengan meningkatkan sekresi ADH. ADH dilepaskan dari hipothalmus posterior yang merespon pada penurunan tekanan darah dan penurunan pada konsentrasi sodium. ADH secara langsung meningkatkan reabsorsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distal. Ductus colletivus dan the loop of Henle.
Patofisiology dari hipovolemik syok lebih banyak lagi dari pada yang telah disebutkan . untuk mengexplore lebih dalam mengenai patofisiology, referensi pada bibliography bias menjadi acuan. Mekanisme yang telah dipaparkan cukup efektif untuk menjaga perfusi pada organ vital akibat kehilangan darah yang banyak. Tanpa adanya resusitasi cairan dan darah serta koreksi pada penyebab hemoragik syok, kardiak perfusi biasanya gagal dan terjadi kegagalan multiple organ.
F. Penatalaksanaan
Terapi gastritis sangat bergantung pada penyebab spesifiknya dan mungkin memerlukan perubahan dalam gaya hidup, pengobatan atau, dalam kasus yang jarang, pembedahan untuk mengobatinya.
Terapi terhadap asam lambung
Asam lambung mengiritasi jaringan yang meradang dalam lambung dan menyebabkan sakit dan peradangan yang lebih parah. Itulah sebabnya, bagi sebagian besar tipe gastritis, terapinya melibatkan obat-obat yang mengurangi atau menetralkan asam lambung seperti :
• Anatsida. Antasida merupakan obat bebas yang dapat berbentuk cairan atau tablet dan merupakan obat yang umum dipakai untuk mengatasi gastritis ringan. Antasida menetralisir asam lambung dan dapat menghilangkan rasa sakit akibat asam lambung dengan cepat.
• Penghambat asam. Ketika antasida sudah tidak dapat lagi mengatasi rasa sakit tersebut, dokter kemungkinan akan merekomendasikan obat seperti cimetidin, ranitidin, nizatidin atau famotidin untuk mengurangi jumlah asam lambung yang diproduksi.
• Penghambat pompa proton. Cara yang lebih efektif untuk mengurangi asam lambung adalah dengan cara menutup “pompa” asam dalam sel-sel lambung penghasil asam. Penghambat pompa proton mengurangi asam dengan cara menutup kerja dari “pompa-pompa” ini. Yang termasuk obat golongan ini adalah omeprazole, lansoprazole, rabeprazole dan esomeprazole. Obat-obat golongan ini juga menghambat kerja H. pylori.
• Cytoprotective agents. Obat-obat golongan ini membantu untuk melindungi jaringan-jaringan yang melapisi lambung dan usus kecil. Yang termasuk ke dalamnya adalah sucraflate dan misoprostol. Jika meminum obat-obat AINS secara teratur (karena suatu sebab), dokter biasanya menganjurkan untuk meminum obat-obat golongan ini. Cytoprotective agents yang lainnya adalah bismuth subsalicylate yang juga menghambat aktivitas H. pylori.
Terapi terhadap H. pylori
Terdapat beberapa regimen dalam mengatasi infeksi H. pylori. Yang paling sering digunakan adalah kombinasi dari antibiotik dan penghambat pompa proton. Terkadang ditambahkan pula bismuth subsalycilate. Antibiotik berfungsi untuk membunuh bakteri, penghambat pompa proton berfungsi untuk meringankan rasa sakit, mual, menyembuhkan inflamasi dan meningkatkan efektifitas antibiotik.
Terapi terhadap infeksi H. pylori tidak selalu berhasil, kecepatan untuk membunuh H. pylori sangat beragam, bergantung pada regimen yang digunakan. Akan tetapi kombinasi dari tiga obat tampaknya lebih efektif daripada kombinasi dua obat. Terapi dalam jangka waktu yang lama (terapi selama 2 minggu dibandingkan dengan 10 hari) juga tampaknya meningkatkan efektifitas.
Pencegahan
Walaupun infeksi H. pylori tidak dapat selalu dicegah, berikut beberapa saran untuk dapat mengurangi resiko terkena gastritis :
• Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama makanan yang pedas, asam, gorengan atau berlemak. Yang sama pentingnya dengan pemilihan jenis makanan yang tepat bagi kesehatan adalah bagaimana cara memakannya. Makanlah dengan jumlah yang cukup, pada waktunya dan lakukan dengan santai.
• Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis lapisan mukosa dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan pendarahan.
• Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung, membuat lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga meningkatkan asam lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung dan merupakan penyebab utama terjadinya kanker lambung.
• Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan pernapasan dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus sehingga membantu mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih cepat.
• Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke, menurunkan sistem kekebalan tubuh dan dapat memicu terjadinya permasalahan kulit. Stress juga meningkatkan produksi asam lambung dan melambatkan kecepatan pencernaan.
• Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari penggunaan AINS, obat-obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya peradangan dan akan membuat peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti dengan penghilang nyeri yang mengandung acetaminophen.

BAB III
PEMBAHASAN

Pasien wanita umur 30 tahun datang dengan keluhan sakit perut dan diare. Satu bulan yang sebelum masuk rumah sakit penderita sering merasakan perut tidak enak, nyeri daerah epigastrium, nausea kadang-kadang vomitus, terlambat makan juga sakit, nocturnal pain positif sehingga terbangun. Penderita sering minum obat maag (lambung) dan anti muntah bila merasakan keluhan di atas. Penderita pernah berobat ke dokter dan dikatakan menderita sakit gastritis atau ulkus peptikum.
Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami diare sehari rata-rata 10 kali, konsistensi encer, tanpa disertai lendir dan darah, warna kuning berbau amis, juga disertai nausea dan vomitus. Vomitus terjadi setiap kali penderita makan atau minum. Badan lemah, kalau makan terasa pahit, sehingga penderita semakin tidak mau makan dan minum. Kencing sedikit.
Pasien dalam skenario disebutkan mempunyai keluhan perut tidak enak dan nyeri pada daerah epigastrium. Nyeri daerah (regio) epigastrium merupakan gejala yang timbul pada berbagai kasus terkait dengan gaster dan duodenum. Karena pada skenario disebutkan pasien mendapat pengobatan obat maag (lambung) maka kelainan mengarah pada ventrikulus.
Nyeri pada epigastrium, dalam hal ini pada gaster, dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab yang salah satunya adalah iritasi oleh HCl dan pepsin pada mukosa lambung. Pepsin mempunyai sifat proteolitik dan HCl mempunyai sifat korosif terhadap mukosa lambung sehingga apabila kadar HCl dan pepsin terlalu tinggi dan gaster dalam keadaan kosong, akan menekan faktor-faktor defensif mukosa lambung. Lapisan mukosa lambung merupakan garis depan pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan perlindungan terhadap trauma mekanis dan agen kimia. Pepsin yang mengiritasi dinding mukosa lambung menimbulkan proses inflamasi dan memicu reaksi imunologi. Histamin yang dikeluarkan pada proses imunologi merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut, serta meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Rusaknya mukosa dapat merangsang ujung saraf nyeri (parasimpatis) melalui nervus vagus.

Mual (nausea)merupakan stadium pertama dari muntah. Mual ditandai dengan meningkatnya saliva, menurunnya tonus lambung, dan peristaltik. Selanjutnya akan dilanjutkan retching, yang merupakan usaha involunter untuk muntah (vomitus). Muntah merupakan suatu refleks yang menyebabkan dorongan ekspulsi isi lambung ke mulut. Rangsangan untuk muntah dihantarkan serabut saraf aferen ke pusat muntah dengan mengaktivasi CTZ (chemoreceptor trigger zone). Selanjutnya impuls akan diteruskan ke serabut eferen dan menimbulkan gerakan ekspulsif otot abdomen, gastrointestinal dan pernafasan yang terkoordinasi sehingga timbullah muntah. Peningkatan sekresi HCl yang merangsang saraf simpatis menyebabkan refleks pirorospasme dan menjadikan pilorustenosis sehingga makanan dari gaster tidak bisa masuk ke saluran berikutnya, terjadi perasaan penuh di gaster (kembung), anoreksia, nausea, dan vomitus.
Adanya reflek oesophageal akibat peningkatan HCl menyebabkan refluk cairan gaster menuju oesophagus dan oral, suasana menjadi asam dan memberi sensasi pahit. Oleh karena itu pasien mengalami anoreksia (tidak mau makn dan minum)
Nocturnal pain pada pasien merupakan rasa nyeri yang timbul pada malam hari. Rasa nyeri tersebut disebabkan oleh peningkatan HCL pada malam hari yang distimulus oleh peningkatan hormon gastrin. Secara fisiologis hormon gastrin meningkat sampai titik maksimal pada malam hari dan menurun sampai titik terendah pada pagi hari.
Pada awalnya pasien tersebut terserang gastritis yang disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori tetapi karena pengobatan yang tidak cukup efektif dalam menurunkan asam lambung sehingga akan berlanjut sebagai ulkus peptikum. Pada ulkus peptikum terjadi degradasi dinding mukosa lambung yang meluas sampai lapisan submukosa dan lapisan muskularis dari ventrikulus sehingga timbul ulcerasi.
Tiga hari yang lalu penderita mengalami diare. Diare yang diderita pasien disebabkan oleh konsumsi obat maag. Karena komposisi dari obat maag (NaHCO3, Al(OH)3, dan Mg(OH)2) tidak terabsorbsi di lambung maka akan diteruskan ke intestinum tenue. Hal ini menyebabkan penderita mengalami dehidrasi. Selain dehidrasi, banyaknya bahan-bahan yang tidak terserap di lumen usus akan menyebabkan peningkatan motilitas usus (gerak peristaltik di usus lebih cepat). Gerak peristaltik yang cepat serta ditambah akumulasi bahan-bahan yang tidak tercerna di usus akan menyebabkan konsistensi tinja encer dan timbullah diare osmotik. Karena diare yang terjadi merupakan diare osmotik tanpa disertai keganasan dan infeksi maka pada pemeriksaan feses pasien tidak ditemukkan adanya lendir dan darah.
Dehidrasi adalah keadaan dimana berkurangnya volume air tanpa elektrolit (natrium) atau berkurangnya air jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel (hipernatremia). Akibatnya osmolaritas cairan ekstrasel (CES) meningkat karena natrium meningkat di cairan ekstrasel. Akibatnya, air dari cairan intrasel keluar ke cairan ekstrasel untuk mengencerkan Na yang meningkat pada CES. Selain itu, meningkatnya osmolaritas merangsang antidiuretikhormon (ADH). ADH yang disekresikan akan terbawa aliran darah dan ditransfer sampai ginjal. Di ginjal ini, efek ADH yaitu meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan duktus koligentes terhadap air, sehingga reabsorbsi air meningkat, dan urin menjadi pekat.
Dehidrasi juga menyebabkan tekanan turgor menurun sehingga menimbulkan mata cekung, bibir kering, kedua tangan pasien keriput, serta badan terasa lemah. Kesadaran apatis (acuh tak acuh) pada pasien terjadi karena efek dari dehidrasi sehingga perfusi ke otak juga mengalami penurunan.
Akibat pasien kehilangan banyak cairan termasuk elektrolit tubuh, antara lain Na dan ion bikarbonat (HCO3-), didapatkan pernafasan Kussmaul (pada asidosis metabolik) yang terjadi pada pasien sebagai kompensasi terhadap kurangnya ion bikarbonat. Kurangnya ion bikarbonat menyebabkan ion H+ meningkat dalam tubuh dan berkurangnya pembentukan asam karbonat.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya pasien ini mengalami gastritis yang kemudian berkomplikasi menjadi ulkus peptikum. Perjalanan penyakit diawali dengan infeksi Helicobacter pylori yang kemudian merusak mukosa. Akibatnya mukosa gaster terkena dengan asam lambung dan lama kelamaan mukosa lambung menjadi tidak kontinu.
Oleh karena terjadi kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah yang banyak, maka terapi cairan merupakan lanmgkah awal untuk mencegah syok hipovolemik pada pasien tersebut. Beberapa cairan yang digunakan antara lain: ringer laktat, NaCl 0,9% dan dekstrosa 5% yang diberikan secara intravena lewat infus hingga keadaan cairan tubuh pasien mulai membaik.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami gastritis atau mungkin juga terjadi ulkus peptikum.
2. Ada hubungan antara gastritis dan ulkus peptikum.
3. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis
B. Saran
1. Menerapkan hidup sehat seperti menghindari factor-faktor penyebab gastritis. Contohnya: makan teratur, tidak menkonsumsi kopi secara berlebihan, meminum obat-obat secara tepat terutama obat-obat yg mengiritasi lambung.
2. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan gastrointestinal, dalam hal ini pada kasus-kasus gastritis. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat, serta usaha mengeradikasi H. pylori sebagai etiologi utama gastitis.




DAFTAR PUSTAKA

Akil, H.A.M. 2007. Tukak Duodenum. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 345-348
Djojoningrat, Dharmika. 2007. Dispepsia Fungsional. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 352-354
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Fauzi, Achmad., Rani A, Azis. 2007. Infeksi Helycobacter Pylori dan Penyakit Gastro-duodenal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 329-330
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: ,1002-1004, 1018-1020,1052
Hirlan. 2007. Gastritis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 335-336
Lindseth, Glenda N. 2005. Gangguan Lambung dan Duodenum. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 437-450
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Tarigan, Penggarapen. 2007. Tukak Gaster. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 338-341


Senin, 15 Maret 2010

Gagal Jantung Kiri

LAPORAN KELOMPOK
BLOK XIII KARDIOVASKULAR
SKENARIO 3


GAGAL JANTUNG KIRI DENGAN GEJALA AWAL HIPERTENSI STADIUM III





OLEH :
1. HERRY PRASETYANTO G0008105
2. IKE PRAMASTUTI G0008107
3. IMAM RIZALDI G0008109
4. IRA RISTINAWATI G0008111
5. IZZATUL MUNA G0008113
6. KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115
7. NURSANTY S. G0008231
8. REDYA AYU T. G0008233
9. RESCHITA ADITYANTI G0008235
10. RIESKA WIDYASWARI G0008237
11. SALMA ASRI NOVA G0008239

KELOMPOK 9
NAMA TUTOR : dr. Hari Purnomosidik, MMR




FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada skenario 3 Blok Sistem Kardiovaskuler terdapat seorang laki-laki (54 tahun) datang ke rumah sakit dengan keluhan utama sesak napas disertai batuk berdahak warna merah muda, berdebar-debar, sukar tidur, dan kencing berkurang serta kedua kaki tidak membengkak. Penderita memiliki riwayat pernah dirawat di rumah sakit karena menderita sakit serupa dan kemudian setelah diberi obat-obatan dan keadaan membaik saat istirahat di rumah sakit. Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 180/100 mmHg, heart rate (HR) 120 x/menit, regular, respiration rate (RR) 32 x/menit, suhu badan 36,50C,dan jugular venous pressure (JVP) tidak meningkat. Hasil inspeksi menunjukkan dinding dada simetris dan ictus cordis bergeser ke lateral bawah. Hasil palpasi ditemukan ictus cordis bergeser ke lateral bawah di spatium intercostale (SIC) VI 2 cm lateral linea medioklavikularis. Pada perkusi didapatkan hasil berupa batas jantung kiri bergeser ke
lateral bawah dan batas kanan jantung pada SIC V linea parasternal kanan. Hasil auskultasi didapatkan bunyi jantung I intensitas meningkat, bunyi jantung II normal, bising pansistolik di apek menjalar ke lateral, dan irama gallop positif. Pada pemeriksaan paru didapatkan vesikuler normal, ronkhi basah basal halus dan pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan hepatomegali dan tidak ada ascites.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin (Hb) 14 gr/dl, serum ureum 65, serum kreatinin 1,4. Hasil pemeriksaan EKG didapatkan left atrial hyperthropy dan left ventricle hyperthropy. Pada pemeriksaan foto thorax tampak adanya kardiomegali dengan CTR 0,60, apex cordis bergeser ke lateal bawah, pinggang jantung menonjol ,dan vascularisasi paru meningkat. Pada pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan asidosis metabolik terkompensasi.
Pada pembelajaran KBK-PBL (Kurikulum Berbasis Kompetensi – Problem Based Learning), skenario dalam tutorial diharapkan dapat menjadi trigger atau pemicu untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar biomedis dan klinik sesuai dengan sasaran pembelajaran yang sudah ditetapkan. Adapun sasaran pembelajaran yang telah ditentukan antara lain: pengaturan tekanan darah, patogenesis dan patofisiologi gejala, tanda dan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang pada penderita, proses penegakan diagnosis penderita pada skenario.
Berdasarkan hal di atas, penulis berusaha untuk mencapai dan memenuhi sasaran pembelajaran tersebut selain melalui tutorial tetapi juga melalui penulisan laporan ini. Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran mahasiswa yang bersangkutan dan bahan evaluasi sejauh mana pencapaian sasaran pembelajaran yang sudah didapatkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan tekanan darah?
2. Bagaimana epidemiologi dan etiologi penyakit yang gagal jantung kiri?
3. Bagaiman patofisiologi gagal jantung kiri?
4. Bagaimana hasil pemeriksaan pada penderita?
5. Apa kemungkinan diagnosis penderita?
6. Bagaimana penatalaksanaan penyakit yang di derita pasien?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengaturan tekanan darah
2. Mengetahui epidemiologi dan etiologi penyakit yang gagal jantung kiri
3. Menentukan patofisiologi gagal jantung kiri
4. Mengetahui hasil pemeriksaan pada penderita
5. Mengetahui kemungkinan diagnosis penyakit pasien
6. Mengetahui penatalaksanaan penyakit pasien
D. Manfaat
1. Membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik
2. Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar
3. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem kardiovaskuler.
4. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem kardiovaskuler.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal jantung atau payah jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai oleh sesak napas (dispneu) dan mudah lelah (fatigue), baik pada saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, yang mengganggu kemampuan ventrikel (bilik jantung) untuk mengisi dan mengeluarkan darah ke sirkulasi.Gagal jantung kongestif merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya abnormalitas fungsi ventrikel kiri dan kelainan regulasi neurohormonal, disertai dengan intoleransi kemampuan kerja fisis retensi cairan, dan memendeknya umur hidup.
B. Etiologi
Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya: atrial fibrillation), emboli paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi maligna atau accelerated, penyakit tiroid (hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high output failure, gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication-induced problems), intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat.
Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam enam kategori utama:
1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).
6. Kelainan kongenital jantung.
Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus
• Faktor Predisposisi
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri koroner, kardiomiopati, enyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis mitral, dan penyakit perikardial.
• Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake) garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut, hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif.
C. Patofisiologi
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak nafas dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh ketidakmampuan jantung memompa darah dengan kecepatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan atau kemampuan melakukan hal ini pada tekanan pengisian yang meningkat.
Gagal jantung merupakan ekspresi dari final common pathway dengan berbagai etiologi berupa kardiomiopati (dilatasi, hipertrofik, restriktif), penyakit katup jantung (mitral dan aorta), hipertensi berat yang tak diobati, konsumsi alkohol dan obat-obatan, dan lain-lain. Jadi, semua bentuk penya¬kit jantung (baik pada otot jantung, pembuluh darah jantung, perikardial, kongenital, aritmia) dapat berakhir menjadi gagal jantung.
Berbagai faktor etiologi dapat berperan menimbulkan gagal jantung yang kemudian merangsang timbulnya mekanisme kompensasi dan jika mekanisme kompensasi ini berlebihan, maka dapat menimbulkan gejala-gejala gagal jantung. Mekanisme kompensasi jantung tersebut berupa:
1. Mekanisme Frank-Starling
Mekanisme Frank-Starling berarti makin besar otot jantung diregangkan selama pengisian, makin besar kekuatan kontraksi dan makin besar pula jumlah darah yang dipompa ke dalam aorta atau arteri pulmonalis.
Kontraksi ventrikel yang menurun akan mengakibatkan pengosongan ruang yang tidak sempurna sehingga volume darah yang menumpuk dlm ventrikel saat diastol (volume akhir diastolik) lebih besar dari normal. Berdasarkan hukum Frank-Starling, peningkatan volume ini akan meningkatkan pula daya kontraksi ventrikel sehingga dapat menghasilkan curah jantung yang lebih besar.
2. Hipertrofi Ventrikel
Peningkatan volume akhir diastolik juga akan meningkatkan tekanan di dinding ventrikel yang jika terjadi terus-menerus, maka akan merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel. Terjadinya hipertrofi ventrikel berfungsi untuk mengurangi tekanan dinding dan meningkatkan massa serabut otot sehingga memelihara kekuatan kontraksi ventrikel. Dinding ventrikel yang mengalami hipertrofi akan meningkat kekakuannya (elastisitas berkurang) sehingga mekanisme kompensasi ini selalu diikuti dengan peningkatan tekanan diastolik ventrikel yang selanjutnya juga menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri.
3. Aktivasi Neurohormonal
Perangsangan neurohormonal mencakup sistem saraf simpatik, sistem renin-angiotensin, peningkatan produksi hormon antidiuretik dan peptida natriuretik.
Penurunan curah jantung dapat merangsang baroreseptor di sinus carotis dan arkus aorta sehingga terjadi perangsangan simpatis dan penghambatan parasimpatis yang mengakibatkan peningkatan denyut jantung, kontraktilitas ventrikel, dan vasokonstriksi vena dan arteri sistemik sehingga terjadilah peningkatan curah jantung, peningkatan aliran balik vena ke jantung dan peningkatan tahanan perifer
Penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi arteri renalis sehingga merangsang reseptor sel juxtaglomerulus yang kemudian menyintesis renin dan terjadilah hidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin I, angiotensin I dikonversi menjadi angiotensin II oleh ACE yang kemudian menginduksi vasokonstriksi dan sekresi aldosteron sehingga terjadi peningkatan tahanan perifer, retensi natrium dan air yang mengakibatkan peningkatan alir balik vena ke jantung hingga terjadilah peningkatan curah jantung melalui mekanisme Frank-Starling.
Gagal jantung paling sering merupakan manifestasi dari kelainan fungsi kontraktilitas ventrikel (disfungsi sistolik) atau gangguan relaksasi ventrikel (disfungsi diastolik). Pada disfungsi sistolik, kontraktilitas miokard mengalami gangguan sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatigue, menurunnya kemampuan aktivitas fisik, dan gejala hipoperfusi lainnya.
Pada disfungsi diastolik, terjadi gangguan relaksasi miokard akibat peningkatan kekakuan dinding ventrikel dan penurunan compliance sehingga pengisian ventrikel saat fase diastol terganggu. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Disfungsi sistolik dan diastolik seringkali dijumpai bersamaan dan timbulnya gagal jantung sistolik bisa mempengaruhi fungsi diastolik. Diagnosis gagal jantung sistolik atau diastolik tidak dapat ditentukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. (
Gagal jantung dapat memengaruhi jantung kiri, jantung kanan, atau keduanya (biventrikel), namun dalam praktik jantung kiri yang sedang terkena. Manifestasi tersering dari gagal jantung kiri adalah dispnea, atau perasaan kehabisan napas. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan compliance paru akibat edema dan kongesti paru dan oleh peningkatan aktivitas reseptor regang otonom di dalam paru. Dispnea paling jelas sewaktu aktivitas fisik (dyspneu d’effort). Dispnea juga jelas saat pasien berbaring (ortopnea) karena meningkatnya jumlah darah vena yang kembali ke toraks dari ekstremitas bawah dan karena pada posisi ini diafragma terangkat. Dispnea nokturnal paroksismal adalah bentuk dispnea yang dramatik; pada keadaan tersebut pasien terbangun dengan sesak napas hebat mendadak disertai batuk, sensasi tercekik, dan mengi. Manifestasi lain gagal jantung kiri adalah kelelahan otot, pembesaran jantung, takikardia, bunyi jantung ketiga (S3) gallop, ronki basah halus di basal paru, karena aliran udara yang melewati alveolus yang edematosa. Terjadi krepitasi paru karena edema alveolar dan edema dinding bronkus dapat menyebabkan mengi. Seiring dengan bertambahnya dilatasi ventrikel, otot papilaris bergeser ke lateral sehingga terjadi regurgitasi mitral dan murmur sistolik bernada tinggi. Dilatasi kronis atrium kiri juga dapat terjadi dan menyebabkan fibrilasi atrium yang bermanifestasi sebagai denyut jantung “irregularly irregular” (tidak teratur secara tidak teratur).)
Manifestasi utama dari gagal jantung kanan adalah bendungan vena sistemik dan edema jaringan lunak. Kongesti vena sistemik secara klinis tampak sebagai distensi vena leher dan pembesaran hati yang kadang-kadang nyeri tekan. Bendungan ini juga menyebabkan peningkatan frekuensi trombosis vena dalam dan embolus paru. Edema menyebabkan penambahan berat dan biasanya lebih jelas di bagian dependen tubuh, seperti kaki dan tungkai bawah. Pada gagal ventrikel yang lebih parah, edema dapat menjadi generalista. Efusi pleura sering terjadi, terutama di sisi kanan, dan mungkin disertai efusi perikardium dan asites. Pada gagal jantung kanan ditemukan dispneu, namun bukan ortopneu atau PND. Pada palpasi mungkin didapatkan gerakan bergelombang (heave) yang menandakan hipertrofi ventrikel kanan dan/atau dilatasi, serta pada auskultasi didapatkan bunyi jantung S3 atau S4 ventrikel kanan.
D. Hipertensi
Belum ada kesatuan pendapat mengenai definisi hipertensi. Namun, secara umum hipertensi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tekanan darah saat istirahat lebih dari normal. Pada tahun 1993, JNC/DETH membuat klasifikasi untuk hipertensi sebagai berikut :

Kategori

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

Normal

<>

<>

Normal Tinggi

130 – 139

85 – 89

Hipertensi



Stadium 1

140 – 159

90 – 99

Stadium 2

160 – 179

100 – 109

Stadium 3

180 – 209

110 – 119

Stadium 4

> 210

> 120














Klasifikasi Tekanan Darah untuk Usia > 18 tahun
Dari semua kasus hipertensi yang ada, sekitar 95% kasus merupakan hipertensi primer/esensial, yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul karena interaksi beberapa faktor risiko seperti genetik, obesitas, merokok, stres, dan asupan garam yang berlebihan. Sedangkan 5% sisanya adalah hipertensi sekunder, yaitu keadaan terjadinya tekanan darah tinggi akibat penyakit tertentu
Terjadinya hipertensi melalui pembentukan angiotensin II dari angiotensin I yang dibantu oleh Angiotensin I-Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II berperan dalam menaikkan tekanan darah melalui dua mekanisme, yaitu:
1. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH).
Peningkatan sekresi ADH akan menyebabkan pengeluaran urin sedikit, sehingga darah menjadi pekat dan osmolaritasnya meningkat.
2. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Jadi, peningkatan sekresi ADH menyebabkan darah menjadi lebih pekat sehingga terjadi peningkatan viskositas, sedangkan aldosteron akan meningkatkan volume darah. Peningkatan viskositas dan peningkatan volume darah menyebabkan peningkatan tahanan perifer kemudian akan menyebabkan peningkatan tekanan darah (Hipertensi).
Pada penderita hipertensi, baroreseptor masih berfungsi mengatur tekanan darah. Namun, mereka telah beradaptasi untuk mempertahankannya pada tekanan rata-rata yang lebih tinggi dari orang normal. Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh lain. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui adalah:
1. Jantung : hipertrofi ventrikel kiri, angina pectoris, infark miokardium, dan gagal jantung.
2. Otak : stroke, transcient ischemic attack (TIA).
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati
Adanya kerusakan organ target, terutama jantung dan pembuluh darah akan memperburuk prognosis penderita hipertensi. Selama ini, tingginya angka morbiditas dan mortalitas penderita hipertensi terutama disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Pengobatan hipertensi terdiri atas terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi nonfarmakologis bertujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor risiko serta penyakit penyerta lainnya. Terapi nonfarmakologis yang dapat dilakukan antara lain menghentikan merokok, menurunkan berat badan berlebih, mengurangi asupan garam, dan latihan fisik. Sedangkan terapi farmakologis yang dianjurkan oleh JNC7 adalah diuretika (thiazide, aldosterone antagonist), Beta Blocker, Calcium Channel Blocker, dan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI).
D. Diagnosis
• Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis gagal jantung dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, foto thorax, ekokardigrafi-doppler dan kateterisasi.
Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association (NYHA), umum dipakai untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik:
Klas I: tidak timbul gejala pada aktivitas sehari-hari, gejala akan timbul pada
aktivitas yang lebih berat dari aktivitas sehari-hari.
Klas II: gejala timbul pada aktivitas sehari-hari.
Klas III: gejala timbul pada aktivitas lebih ringan dari aktivitas sehari-hari.
Klas IV: gejala timbul pada saat istirahat.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria mayor:
1. Paroxismal Nocturnal Dispneu
2. distensi vena leher
3. ronkhi paru
4. kardiomegali
5. edema paru akut
6. gallop S3
7. peninggian tekanan vena jugularis
8. refluks hepatojugular
Kriteria minor:
1. edema ekstremitas
2. batuk malam hari
3. dispneu de effort
4. hepatomegali
5. efusi pleura
6. takikardi
7. penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor harus ada pada saat yang bersamaan. Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien, terutama pada usia lanjut. Contoh klasik gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma atau infark miocard luas. Curah jantung yang menurun tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah disertai edema perifer.
• Diagnosis Banding
1. PENYAKIT KARDIOVASKULER
1. Ventricular Septal Defect
Defek Septum Ventrikel (VSD, Ventricular Septal Defect) adalah suatu lubang pada septum ventrikel. Septum ventrikel adalah dinding yang memisahkan jantung bagian bawah (memisahkan ventrikel kiri dan ventrikel kanan). Akibatnya jumlah darah di dalam pembuluh darah paru-paru meningkat dan menyebabkan:
- sesak nafas
- bayi mengalami kesulitan ketika menyusu
- keringat yang berlebihan
- berat badan tidak bertambah
2. Regurgitasi Mitral
Regurgitasi Katup Mitral (Inkompetensia Mitral, Insufisiensi Mitral), (Mitral Regurgitation) adalah kebocoran aliran balik melalui katup mitral setiap kali ventrikel kiri berkontraksi
Regurgitasi katup mitral yang ringan bisa tidak menunjukkan gejala.
Kelainannya bisa dikenali hanya jika dokter melakukan pemeriksaan dengan stetoskop, dimana terdengar murmur yang khas, yang disebabkan pengaliran kembali darah ke dalam atrium kiri ketika ventrikel kanan berkontraksi.
Secara bertahap, ventrikel kiri akan membesar untuk meningkatkan kekuatan denyut jantung, karena ventrikel kiri harus memompa darah lebih banyak untuk mengimbangi kebocoran balik ke atrium kiri.
Ventrikel yang membesar dapat menyebabkan palpitasi ( jantung berdebar keras), terutama jika penderita berbaring miring ke kiri.
Atrium kiri juga cenderung membesar untuk menampung darah tambahan yang mengalir kembali dari ventrikel kiri. Atrium yang sangat membesar sering berdenyut sangat cepat dalam pola yang kacau dan tidak teratur (fibrilasi atrium), yang menyebabkan berkurangnya efisiensi pemompaan jantung.
Pada keadaan ini atrium betul-betul hanya bergetar dan tidak memompa; berkurangnya aliran darah yang melalui atrium, memungkinkan terbentuknya bekuan darah.
Jika suatu bekuan darah terlepas, ia akan terpompa keluar dari jantung dan dapat menyumbat arteri yang lebih kecil sehingga terjadi stroke atau kerusakan lainnya. Regurgitasi yang berat akan menyebabkan berkurangnya aliran darah sehingga terjadi gagal jantung, yang akan menyebabkan batuk, sesak nafas pada saat melakukan aktivitas dan pembengkakan tungkai.
3. Penyakit Jantung Hipertensi
Adalah penyakit jantung yang terjadi sebagai akibat komplikasi hipertensi pada jantung dimana kelainan anatomik (hipertrofi dan atau dilatasi), baik disertai maupun tanpa disertai kelaianan fungsional( dekompensasi jantung).
Simptomatik jika: berdebar-debar, rasa melayang(dizzy), impoten karena kenaikan tekanan darah. Penyakit jantung/vaskuler hipertensi seprti cepat capek, cepat lelah, sesak nafas, sakit dada, bengkak kedua kaki dan perut. Gangguan vaskuler lainnya seperti episataksis, hematuria, pandangan akbur karena perdarahan retinam TIA, penyakit dasar seprti pada hipertensi sekunder: polodipsi, poliuria, kelemahan otot pada aldosteronisme primer, peningkatan BB pada sindrom Cushing.
4. Gagal Jantung Kanan
Gejala-gejala yang ditemui pada Gagal Jantung Kanan adalah sebagai berikut
• Hepatomegali
• Ascites
• Edema Umum
• dispneu
• penurunan kapasits aktivitas
• nyeri dada denyut nadi sama dengan gagal jantung kiri
• peningkatan Jugular Venosus Pressure (JVP)
• Hepatomegali dan ascites
• Gerakan bergelombang parasternal (heaving)
• Terdengar S3 atau S4 ventrikel kanan.
2. NONCARDIOVASKULAR
• PPOK
• Peningkatan produksi sputum
• Perubahan warna sputum menjadi kuning atau hitam, bahkan kadang sputum berwarna merah karena darah yang tercampur
• Batuk yang tidak sembuh-sembuh
• Pergelangan kaki yang bengkak
• Gangguan Tidur
• Penurunan Berat badan yang drastis
• Tumor Mediastinum
Tumor mediastinum menimbulkan manofestasi klinis pada pasien, yaitu sebagai berikut:
• Nyeri Dada
• Batuk, kadang batuk darah
• Demam
• Berkeringat di malam hari
• Nafas Pendek
• Shortness of breath
E. Penatalaksanaan
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek : mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam, melakukan tindakan terhadap penyebab, faktor pencetus dan penyakit yang mendasari.
Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan. Terapi nonfarmakologi antara lain: diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur (Nugroho, 2009). Beban awal dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian diuretika, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi dengan obat-obat vasodilator, seperti ACE-inhibitor, hidralazin. Kontraktilitas dapat ditingkatkan dengan obat ionotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin (Sugeng dan Sitompul, 2003).


BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada penderita tersebut, kemungkinan penderita menderita gagal jantung kiri. Gagal jantung tersebut disebabkan oleh hipertensi yang penderita derita. Tidak adanya peningkatan JVP, hepatomegali, ascites, dan pembengkakan pada kedua kaki pada pemeriksaan fisik menyingkirkan dugaan gagal jantung kanan. Selain itu, sesak napas penderita pada aktivitas ringan dan mau tidur serta auskultasi paru didapatkan suara vesikuler menyingirkan dugaan kelainan penderita akibat sistem pernapasan. Berikut ini adalah hasil analisis lebih lanjut penulis terhadap kasus dalam skenario.
Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron).
Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah yang menyebabkan kencing penderita berkurang dan peningkatan kadar serum ureum (65 mg/dl) di mana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dl. Walaupun terjadi penurunan filtrasi glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi kreatinin sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dl masih mendekati batas normal (normal 0,6-1,3 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O. Hasil akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.
Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pertama, setelah terpajan dalam jangka waktu yang lama, jantung menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali menurun. Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (left atrium hyperthropy, LAH) sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral fungsional (terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya pembesaran jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke lateral bawah dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR 0,60. Lama kelamaan akan terjadi kongesti di vena pulmonalis. Tekanan intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan cairan terdorong keluar dan terjadilah edema paru. Edema paru menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi. Di sisi lain, jaringan sistemik semakin kekurangan O2 dan proses metabolisme pun berubah menjadi metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu, pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi arteri berkurang dan peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat adanya penurunan pertukaran O2 dan CO2 di dalam alveolus paru. Peningkatan ion hidrogen [H+] merangsang kemoreseptor sentral sehingga terjadi hiperventilasi.
Pada pasien ditemukan adanya asidosis metabolik terkompensasi. Kondisi ini menggambarkan adanya penurunan pH akibat penurunan kadar HCO3- dalam darah dan terkompensasi oleh peningkatan ventilasi paru (hiperventilasi) yang akan menurunkan PCO2 dan penambahan bikobarbonat baru ke dalam cairan ekstraseluler oleh ginjal. Keadaan hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan oleh adanya respiration rate sebesar 32 kali/menit. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien adalah pemberian venodilator dan vasodilator untuk menurunkan preload dan afterload. Selain itu pasien juga perlu diberi obat-obatan inotropik seperti digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas jantung. Terapi non-farmakologis pada penderita dapat dilakukan berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pasien kemungkinan menderita gagal jantung kiri akut akibat hipertensi yang dideritanya. Pasien mengalami kardiomegali dan penurunan fungsi ginjal akut.
2. Penatalaksanaan perlu diberikan sedini mungkin agar tidak terjadi komplikasi yang lebih parah seperti gagal jantung kongestif atau syok kardiogenik.
3. Terapi diberikan secara farmakologis dan nonfarmakologis.
B. Saran
1. Penderita sebaiknya melakukan terapi nonfarmakologis seperti diet rendah garam jika sensitif terhadap garam, mengurangi berat badan jika mengalami obesitas, menghindari lemak berlebih, mengurangi stres psikis, menghindari rokok, olahraga teratur.
2. Terapi farmakologis yang bisa diberikan adalah β blocker golongan kardioseletif seperti atenolol, diuretik untuk mengurangi timbunan cairan, digitalis efek cepat (digoxin) untuk meningkatkan kontraktilitas, dan jika perlu diberikan golongan Ca antagonis untuk mengurangi impuls saraf.


DAFTAR PUSTAKA

Burndside, JW., McGlynn, TJ. 1995. Diagnosis Fisik. Alih Bahasa : Lumanto, Henny. Jakarta : EGC. hlm 246
Gray, HH dkk. 2005. Lecture Notes on Cardiology Fourth Edition. Alih Bahasa : Azwar Agoes dan Asri Dwi R. Jakarta : Erlangga.
Joesoef, HA., Setianti, Budhi. 2003. Hipertensi Sekunder. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Editor : Rilanto, LI dkk.Jakarta : FK UI. hlm 206-208
O’Donnell, MM., Carleton, PF. 2006. Disfungsi Mekanis Jantung dan Bantuan Sirkulasi. Dalam : Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume I. Editor : Price, SA., Wilson, LM. Alih Bahasa : Pendit, BU dkk. Jakarta : EGC. hlm 632-639
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem. Alih Bahasa : Pendit, BU. Jakarta : EGC. hlm 266-270
Sitompul, Barita., Sugeng, JI. 2003. Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Editor : Rilanto, LI dkk. Jakarta : FK UI. hlm 115-125
Sutedjo, A.Y. 2007. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books.
Tagor, GM.H. 2003. Hipertensi Esesial. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Editor : Rilanto, LI dkk. Jakarta : FK UI. hlm 197-205
Yogiantoro, Mohammad. 2006. Hipertensi Esensial. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I. Editor : Sudoyo, AW dkk. Jakarta : FK UI. hlm 599-608
Wilson, LM. 2006. Gangguan Asam Basa. Dalam : Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume I. Editor : Price, SA., Wilson, LM. Alih Bahasa : Pendit, BU dkk. Jakarta : EGC. hlm 384-385