LAPORAN KELOMPOK TUTORIAL
BLOK SISTEM RESPIRASI
SKENARIO 2
“Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Secara Tepat”
Disusun Oleh :
2. IKE PRAMASTUTI G0008107
3. IMAM RIZALDI G0008109
4. IRA RISTINAWATI G0008111
5. IZZATUL MUNA G0008113
6. KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115
7. NURSANTY S. G0008231
8. REDYA AYU T. G0008233
9. RESCHITA ADITYANTI G0008235
10. RIESKA WIDYASWARI G0008237
11. SALMA ASRI NOVA G0008239
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam skenario 2 Blok Sistem Respirasi terdapat seorang pasien laki-laki (70 tahun), perokok, datang ke IGD dengan keluhan utama sesak napas berat dua hari ini disertai nyeri dada kanan. Dalam tiga hari ini batuk makin sering dengan dahak yang lebih pekat dan berwarna kuning kehijauan. Kedua tungkai bengkak satu bulan ini. Pasien memiliki riwayat batuk dan sesak sejak 10 tahun yang lalu dan dua tahun ini dirasa lebih berat dan sering diikuti mengi. Pernah diberi obat pelega inhaler dan disarankan berhenti merokok. Pasien pernah bekerja di pabrik asbes selama tujuh tahun.
Pada pemeriksaan keadaan umum, pasien gelisah dan tampak sianotik. Pada pemeriksaan paru: inspeksi statis dada kanan menonjol daripada kiri dan saat bernapas dada kanan tertinggal. Perkusi paru kanan hipersonor, auskultasi suara napas melemah. Pada paru kiri didapatkan ronki dan wheezing. Pemeriksaan jumlah leukosit belum ada hasil. Tidak dilakukan pemeriksaan analisis gas darah. Pemeriksaan spirometri belum dapat dilakukan. Pemeriksaan foto toraks: paru kanan kolaps disertai gambaran hiperlusen dan pleural line. Paru kiri emfisematous. Pemeriksaan kultur mikroorganisme dan sitologi sputum belum ada hasil.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit paru, perlu data-data yang cukup, karena banyak penyakit paru yang mempunyai gejala yang hampir sama satu sama lain. Seperti yang terdapat dalam skenario, penderita memiliki gejala-gejala penyakit paru yang sangat banyak, sehingga sulit untuk menentukan diagnosis spesifik dari pasien tersebut. Akan tetapi, dengan memahami konsep penyakit dan tanda serta gejala yang khas pada pasien, dokter akan lebih mudah untuk menegakkan diagnosis yang tepat sehingga dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat pula, selanjutnya keselamatan pasien-lah yang dikedepankan. Oleh karena itu, penulisan laporan ini diharapkan dapat menunjang mahasiswa untuk dapat menegakkan diagnosa penyakit paru yang tepat dari gejala-gejala yang ada.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi gejala, tanda klinis, dan hasil pemeriksaan pasien pada skenario?
2. Bagaimana prosedur diagnosis pasien yang disebutkan pada skenario?
3. Bagaimana penatalaksanaan pasien pada skenario?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui patogenesis dan patofisiologi gejala, tanda klinis, dan hasil pemeriksaan pasien pada skenario
2. Mengetahui prosedur diagnosis penderitta
3. Memahami penatalaksanaan yang diberikan pada pasien dalam skenario
D. Manfaat Penulisan
Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran mahasiswa untuk mencapai sasaran pembelajaran yang sudah ditetapkan dan sebagai tolak ukur tercapaiannya sasaran pembelajaran tersebut.
E. Hipotesis
Dari diskusi yang telah dilakukan, penderita dalam skenario mengalami penyakit paru obstruktif kronik yang disebabkan karena terhirupnya asbes, yang diperberat dengan kebiasaan merokok penderita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan Etiologi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif (cepat dan berat) ini disebabkan karena terjadinya Radang kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak napas, batuk, dan produksi sputum dan keterbatasan aktifitas. Penyakit paru yang masuk ke dalam kategori PPOK antara lain adalah bronchitis dan emfisema.
Bronchitis kronis adalah suatu definisi klinis yaitu ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun dan paling sedikit selama 2 tahun.
Emfisema adalah suatu perubahan anatomi paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal disertai kerusakan dinding alveolus (Alsagaff, 2005).
Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya. Faktor resiko COPD bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya :
- Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita COPD bergantung pada “dosis merokok”nya, seperti umur orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut merokok. Enviromental tobacco smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat mengalami gejala-gejala respiratorik dan COPD dikarenakan oleh partikel-partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru “terbakar”. Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor resiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-paru dan perkembangan janin dalam kandungan, bahkan mungkin juga dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.
- Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
- Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya, sehngga menyebabkan polusi dalam ruangan.
- Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan.
- Infeksi saluran nafas berulang
- Jenis kelamin Dahulu, COPD lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita. Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena COPD dibandingkan perokok pria.
- Status sosio ekonomi dan status nutrisi yang rendah
- Asma
- Usia (Onset usia dari COPD ini adalah pertengahan)
(Yunus, 2007)
B. Patogenesis PPOK
Dalam patogenesis PPOK, tambahnya, tekanan oksidatif memiliki peran dalam peningkatan inflamasi, terutama pada perokok dan pasien PPOK. Peningkatan tekanan oksidatif pada pasien PPOK diperoleh dari pembakaran zat oksidan melalui asap rokok, atau dari penambahan jumlah spesies oksigen reaktif yang dilepaskan dari leukosit. Kebanyakan pasien PPOK mengalami episode akut yang disebut eksaserbasi. Eksaserbasi diyakini memberikan kontribusi dalam progresivitas penyakit sekaligus hilangnya fungsi paru yang menjadi penyebab utama morbiditas, perawatan di rumah sakit, bahkan kematian (Amin, 2006).
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease (Kumar, 2007).
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial, hipersekresi mukosa, peningkatan
C. Diagnosis PPOK
PPOK diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis kronik dan emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun dan emfisema ditandai oleh adanya kerusakan pada dinding alveola yang menyebabkan peningkatan ukuran ruang udara distal yang abnormal.Membedakan antara PPOK dengan asma sangat penting karena asma merupakan sumbatan saluran napas yang intermitten dan penanganan asma berbeda dengan PPOK.
Perbandingan gejala antara PPOK dan asma | ||||||||||||||||||||||||
|
(Swidarmoko, 1995)
Diagnosis banding dari PPOK adalah sebagai berikut:
1. Emfisema, dengan gejala:
· Batuk disertai keluarnya sputum (dahak) dalam jumlah besar
· Hembusan nafas terasa pendek dengan bibir yang berkerut
· Perubahan fisik yang ditandai dengan kemerosotan berat badan dan dada terasa berat.
· Napas terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit
· Dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol, penderita sampai membungkuk
· Bibir tampak kebiruan
2. Emboli paru, dengan gejala:
· Batuk (timbul secara mendadak, bisa disertai dengan dahak berdarah)
· Sesak nafas yang timbul secara mendadak
· Nyeri dada (dirasakan dibawah tulang dada atau pada salah satu sisi dada, sifatnya tajam atau menusuk)
· Nyeri semakin memburuk jika penderita menarik nafas dalam, batuk, makan atau membungkuk
· Pernafasan cepat dengan wheezing
· Denyut jantung cepat (takikardia)
· Kulit lembab dan berwarna kebiruan
· Nyeri pinggul tungkai (salah satu atau keduanya)
· Pembengkakan tungkai
· Tekanan darah rendah
· Denyut nadi lemah atau tak teraba
3. Pneumothoraks, dengan gejala:
· Penurunan ekspansi dada terkena
· Hilang suara nafas pada sisi dada yang terkena
· Hyperresonance
· Sesak napas tiba-tiba
· Napas pendek
· Sianosis
· Nyeri dada, punggung dan lengan
4. Ca paru, dengan gejala:
· Sesak napas
· Batuk berkepanjangan dan mengeluarkan darah
· Sakit dada
· Demam
· Kehilangan berat badan (Sudoyo, 2006)
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred.) <80%
%VEP1% (VEP1/KVP) <75%
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variability harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <20%>
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto thoraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran:
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop appearance)
Pada bronchitis kronik:
-
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningakt.
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronchitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20%
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednisone atau metilprednisolon) sebanyak 30-50mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20% dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai:
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT-Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emmfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto thoraks polos
- Scan ventilasi perfusi
7. Elektrokardiografi (EKG)
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan.
9. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitrypsin alfa- rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitrypsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
(Yunus, 2007)
D. Penatalaksanaan PPOK
Panduan konsensus penanganan terkini bergantung pada tingkat keparahan PPOK, yang diketahui dari FEV1. Intervensi satu-satunya sejauh ini yang telah terbukti memperbaiki harapan hidup adalah berhenti merokok dan terapi oksigen jangka panjang (LTOT/Long-Term Oxygen Therapy) untuk pasien dengan hypoxemia yang bermakna pada saat istirahat. Maka dari itu, pasien dengan PPOK sebaiknya didorong untuk berhenti merokok. Pasien yang tidak merokok dihindarkan dari paparan polusi lingkungan atau okupansional yang diduga merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan penyakitnya.
Bronkodilator
Bronkodilator dapat diklasifikasikan sebagai agen kerja singkat dan kerja panjang dan terbagi lagi menjadi tiga kelas farmakologis utama. Dengan meningkatnya keparahan PPOK, bronkodilator kerja panjang mungkin dapat memberikan manfaat simptomatik untuk periode yang lama. Antikolinergik dapat digunakan sebagai penanganan lini pertama untuk PPOK. Ipratropium bromide merupakan antikolinergik kerja singkat yang buruk diabsorbsi oleh saluran napas jika diberikan sebagai aerosol dan memiliki sedikit efek terhadap klirens mukosilier. Tiotropium merupakan antikolinergik kerja panjang yang telah terbukti mempertahankan FEV1 yang tinggi. Penggunaan antikolinergik sebagai agen farmakologis pada PPOK tidak seefektif penggunaannya pada asma.
Rehabilitasi Pulmoner
Jika ditujukan untuk pasien dengan PPOK (atau gangguan kesulitan pernapasan lainnya) program yang komprehensif pada rehabilitasi pulmoner dapat meningkatkan kapasitas kerja, fungsi psikososial, dan kualitas hidup. Program ini tidak memperpanjang hidup atau fungsi pulmoner, namun telah terbukti mengurangi frekuensi rawat inap.
Terapi Oksigen Jangka Panjang (Long Term Oxygen Therapy/LTOT)
Kriteria untuk menggunakan oksigen bukan berdasar pada sesak napas namun lebih dari hasil pemeriksaan baku untuk hypoxemia pada saat istirahat dan beraktivitas yang dilakukan pada laboratorium fungsi pulmoner. Terdapat kriteria LTOT yang diakui secara meluas untuk pasien PPOK berdasarkan kadar hypoxemia. LTOT sebaiknya digunakan setidaknya 15 jam per hari untuk memperoleh manfaat harapan hidup. Terapi ini biasanya dilakukan dengan mengenakan kanula nasal yang disambung dengan sumber oksigen.
Penanganan Eksaserbasi
Pada umumnya, semakin FEV1 menurun maka eksasebasi lebih sering terjadi. Eksaserbasi moderat atau berat ditandai dengan memburuknya dyspnea, batuk, dan peningkatan produksi dan purulensi dari sputum yang membaik jika diberikan antibiotic yang mencakup Haemophilus influenzae, pneumokokus, dan Moraxella catarrhalis. Cakupan antibiotic pseudomonas aeruginosa perlu dipertimbangkan pada pasien yang telah mengalami eksaserbasi sebanyak tiga kali atau lebih pada tahun sebelumnya. Kortikosteroid oral dan intravena diberikan pada eksaserbasi berat yang telah dijelaskan di atas (Amin, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada laporan kali ini akan dibahas scenario “Sesak Nafas pada Seorang Perokok”, yaitu tentang seorang laki-laki, 70 tahun; perokok dengan keluhan utama: sesak napas berat 2 hari ini disertai nyeri dada kanan. Dalam tiga hari ini batuk makin sering dengan dahak lebih pekat berwarna kuning kehijauan. Kedua tungkai bengkak satu bulan ini. Riwayat batuk dan sesak sudah berjalan sejak sepuluh tahun yang lalu. Dua tahun ini dirasa lebih berat dan sering diikuti mengi. Pernah diberi obat pelega inhaler dan disarankan berhenti merokok. Pernah bekerja di pabrik asbes selama tujuh tahun. Pada pemeriksaan keadaan umum: penderita gelisah dan tampak sianotik. Pemeriksaan paru : inspeksi statis dada kanan menonjol daripada kiri dan saat bernapas dada kanan tertinggal. Paru kanan perkusi hipersonor, auskultasi suara napas melemah. Paru kiri didapatkan ronki dan wheezing. Pemeriksaan jumlah leukosit belum ada hasil. Pemeriksaan foto toraks: paru kanan kolaps disertai gambaran hiperlusen dan pleural line. Paru kiri emfisematous. Pemeriksaan kultur mikroorganisme dan sitologi sputum belum ada hasil.
Dari data tersebut, dapat dilihat proses perjalanan penyakitnya. Pasien pernah bekerja di pabrik asbes selama 7 tahun. Hal ini membuat pasien memiliki kemungkinan yang sangat tinggi untuk terkena asbesitosis. Debu yang terhirup tergantung dari konsentrasi poluten di udara, jumlah yang tertahan di saluran pernapasan dan paru, ukuran dan bentuk kontaminan, kelarutan dan reaktifitas fisiokimianya. Jika ukurannya lebih dari 5 mikromilimeter akan tersaring di hidung dan dibuang. Ukuran 1-5 mikromilimeter cenderung menetap di bronkiolus respiratorius karena partikel ini memiliki resistensi yang tinggi. Kurang dari 1 mikromilimeter akan mudah sampai di duktus alveolaris dan alveoli. Debu asbestos ukurannya kurang dari 2 mikromilimeter. Debu yang terhirup akan terdeposisi dan difagosit oleh makrofag. Makrofag yang mengandung partikel asbes akan mengaktifkan C5a yang memanggil makrofag-makrofag yang lain dan netrofil. Makrofag-asbes ini kemudian diselubungi oleh kompleks protein-besi yang menyebabkan fibrosis.
Selain itu, pasien memiliki kebiasaan merokok. Asap tembakau mengandung ribuan bahan atau zat, termasuk bahan kimia, gas, dan tetesan-tetesan kecil dari tar. Asap rokok bisa menyebabkan berbagai macam keabnormalan. Iritan dalam asap tembakau bisa menimbulkan penyempitan saluran udara sehingga bronkus menghasilkan mucus yang berlebihan. Zat iritan ini juga dapat mengganggu fungsi sel sistem kekebalan dalam paru dan mengganggu keseimbangan normal enzim paru, yang membuat pasien lebih rentan terhadap penyakit pernapasan. Selain itu, juga dapat menghentikan gerak silia yang membantu mengeluarkan benda asing. Asap tembakau juga mengandung karbon monoksida yang bila bergabung dengan hemoglobin akan membentuk karboksihemoglobin, yang menghalangi pengangkutan oksigen ke seluruh tubuh. Asbesitosis ditambah dengan merokok inilah yang membuat pasien mampunyai riwayat batuk dan sesak napas sejak 10 tahun yang lalu.
Orang yang merokok dapat mengakibatkan respon peradangan sehingga menyebabkan pelepasan enzim proteolitik (protease), sementara bersamaan dengan itu oksidan pada asap menghambat enzim alfa1-antiprotease. Makrofag yang memfagositosis asbestos mengeluarkan protease. Tetapi karena enzim alfa1-antiprotease yang bertugas menghambat protease dihambat oleh oksidan dari asap tembakau, maka perusakan jaringan paru sekitar tidak dapat dicegah sehingga ‘membawa’ pasien kita ke emfisema-bronkitis kronik. Ini yang menyebabkan gambaran paru kiri emfisematous. Pada emfisema terdapat bleb (rongga subpleura yang terisi udara) dan bulla (rongga parenkim yang terisi udara). Biasanya bula timbul karena adanya penyumbatan pada katup pengatur bronkiolus. Selama inspirasi, lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara. Sehingga waktu pasien ekspirasi akan terdengar suara wheezing dan ronki. Sedangkan, dahak yang berwarna kuning kehijauan menunjukkan adanya infeksi dan warna hijau berasal dari zat verdoperoksidase yang dihasilkan dari sel polimorfonuklear, yaitu neutrofil.
Bleb pada paru kanan yang terbentuk akibat rupture alveoli dapat pecah ke dalam rongga pleura sehingga mengakibatkan pneumotoraks spontan (kolaps paru) sehingga didapatkan gambaran paru kanan kolaps. Karena pleura terisi oleh udara, maka pada foto toraks ada gambaran hiperlusen (hitam) yaitu udara yang ada di pleura. Garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Karena celah antara kedua garis pleura terisi udara (tampak lusens), maka akan terlihat pleural line (garis putih yang mengapit daerah hitam). Selain itu, pada perkusi didapatkan hipersonor dan auskultasi suara napas melemah juga disebabkan karena pleura yang terisi oleh udara. Paru yang kolaps, saat inspirasi akan tertinggal karena sudah tidak dapat mengembang lagi.
Paru kanan yang kolaps, membuat darah kotor dari ventrikel dexter yang masuk ke paru untuk dibersihkan, tidak dapat masuk dengan lancar. Darah kaya oksigen dari ventrikel sinister unutk seluruh tubuh pun juga jadi terganggu sirkulasinya sehingga bias membuat tubuh kekurangan oksigen (sianosis) dan gelisah, karena hipoksia otak dan jaringan. Sianosis juga disebabkan karena adanya karbon monoksida yang berasal dari asap rokok sehingga menghambat ikatan oksigen dengan hemoglobin. Sirkulasi vena untuk masuk ke atroum dexter kemudian ke ventrikel dexter dan dibawa ke paru untuk dibersihkan pun jadi terganggu. Seakan-akan darah jadi mengantri. Karena kaki memiliki
Sesak napas yang bertambah berat, batuk makin sering dan dahak bertambah pekat merupakan indikasi adanya infeksi pada pasien. Nyeri dada kanan pada pasien disebabkan karena saat bernapas, pleura viseralis paru kanan yang kolaps, tertarik seakan dikelupas. Jadi dibawanya pasien ke IGD dikarenakan pasien pneumotoraks ventil yang dilaminya. Hal ini juga yang membuat pemeriksaan spirometri dan analaisi gas darah tidak dilakukan. Lebih tepatnya tidak dapat dilakukan dahulu, bukan berarti tidak dilakukan sama sekali. Karena pada pasien pneumotoraks ventil perlu segera dikeluarkannya udara yang terperangkap di pleura.
Jadi diagnosis penyakit pasien tersebut, berawal dari paparan asbes, menyebabkan asbestosis. Kemudian diperkuat dengan adanya kebiasaan merokok yang bisa memperparah penyakit. Jika dilihat dari keberjalanan penyakit dan manifestasi gejala-gejala awalnya asbestosis menjadi bronchitis kronik-emfisema dan ditambah lagi terdapat pneumothorax hingga terjadi kor pulmonal. Pasien ini sudah terkena komplikasi penyakit-penyakit tersebut.
Untuk pengobatannya hanya bisa dilakukan berupa pengobatan simtomatik. Dapat diberikan terapi oksigen, berhenti merokok, membatasi pemakain garam dan cairan untuk penanganan kor pulmonal, juga dengan obat diuretic untuk mengendalikan pengumpulan cairan di dalam jaringan, atau dengan transplantaasi paru. Batuk bisa diberi kodein phosfat dan dahak bisa dicairkan dengan nebulizer. Prognosis pasien tersebut, karena sudah muncul gejala kor pulmonal, angka kelangsungan hidupnya hanya berkisar antara 2-5 tahun.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Penyakit pada pasien berkaitan dengan riwayat pekerjaan (bekerja di pabrik asbes) dan kebiasaan merokok.
2. Pasien kemungkinan menderita sindrom PPOK yang ditandai adanya emfisema, bronkitis kronis, asbestosis, pneumothorax, dan hipertensi pulmonal.
3. Diagnosis pada pasien kemungkinan adalah PPOK dengan komplikasi berupa pneumothoraks.
B. Saran
1. Sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis pasti agar pasien dapat dilakukan pengobatan dengan cepat dan tepat.
2. Sebaiknya pasien berhenti untuk merokok dan melakukan pola hidup sehat serta melakukan kontrol rutin.
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood, Prof. Dr. 2005. Pneumothorak; PPOK; Karsinoma Bronkogenik dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru cetakan ke-3. Surabaya: Airlangga University Press. pp: 162-179, 181-183, 231-253.
Amin, Muhammad. 2006. Emfisema-sesak nafas./www.ezcobar.com
Kumar, Vinay, dkk; alih bahasa Hartanto, Huriawati. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Ed.7 Vol.1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, Sylvia Anderson and Wilson, Lorraine McCarty; alih bahasa, Hartanto, Huriawati. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol.2 Ed.6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sudoyo, Aru W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Swidarmoko, Boedi. 1995. Penatalaksanaan Konservatif pada Pneumotoraks Spontan. www.kalbe.co.id
Yunus, Faisal. 2007. Penyakit Paru Obstruktif Kronik.www.medicastore.com