LAPORAN INDIVIDU
BLOK X NEUROLOGI
SKENARIO 3
BELL’S PALSY SEBAGAI SUATU KELAINAN NEUROLOGIS YANG BERSIFAT AKUT
OLEH :
KELOMPOK 9
NAMA TUTOR : dr. Yoseph Iskayanto
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2009
BLOK X NEUROLOGI
SKENARIO 3
BELL’S PALSY SEBAGAI SUATU KELAINAN NEUROLOGIS YANG BERSIFAT AKUT
OLEH :
HERRY PRASETYANTO G0008105
IKE PRAMASTUTI G0008107
IMAM RIZALDI G0008109
IRA RISTINAWATI G0008111
IZZATUL MUNA G0008113
KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115
NURSANTY S. G0008231
REDYA AYU T. G0008233
RESCHITA ADITYANTI G0008235
RIESKA WIDYASWARI G0008237
SALMA ASRI NOVA G0008239
IKE PRAMASTUTI G0008107
IMAM RIZALDI G0008109
IRA RISTINAWATI G0008111
IZZATUL MUNA G0008113
KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115
NURSANTY S. G0008231
REDYA AYU T. G0008233
RESCHITA ADITYANTI G0008235
RIESKA WIDYASWARI G0008237
SALMA ASRI NOVA G0008239
KELOMPOK 9
NAMA TUTOR : dr. Yoseph Iskayanto
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2009
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Bell’s palsy adalah kelumpuhan wajah sebelah yang timbul mendadak akibat lesi saraf fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan kata lain bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu sisi wajah. Adalah Sir Charles Bell seorang ilmuan dari Skotlandia yang pertama kali menemukan penyakit ini pada abad ke-19.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa bell's palsy bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
Banyak orang mengira bahwa bell’s palsy merupakan stroke, tetapi pada hakikatnya bell’s palsy berbeda dengan serangan stroke. Yang menjadi pembeda paling mendasar adalah pada bell’s palsy tidak disertai dengan kelemahan pada anggota gerak. Hal ini disebabkan oleh letak kerusakan saraf yang berbeda. Pada serangan stroke saraf yang rusak adalah pada saraf otak yang mengatur pergerakan salah satu sisi tubuh, termasuk wajah. Sedangkan pada kasus bell’s palsy, kerusakan yang terjadi langsung pada saraf yang mengurus persarafan wajah yaitu saraf fasialis.
Skenario : Seorang wanita usia 40 tahun sewaktu bangun tidur merasakan kebal pada pipi dan telingan kanan. Pada saat bercermin terlihat wajahnya tidak simetris (merot) saat tersenyum. Sisi kanan mulut tidak bergerak. Kelopak mata kanan tidak bias menutup dan air mata keluar terus menerus dari mata kanan. Pasien merasakan kesulitan berkumur.
Penderita sadar penuh, tanda vital normal, bicara pelo terutama untuk bunyi mi-mi-mi. Lipatan nasolabialis kanan terlihat mendatar dan tak ada kerutan pada sisi wajah sebelah kanan. Lebar fissure palpebralis kanan lebih keluar dari yang kiri dan secara terus menerus mengeluarkan airmata dari mata kanan. Didapatkan fenomena bell. Bila melihat keatas tak ada kerutan pada dahi kanan. Penderita tak bisa minum dari sedotan atau kursil penderita tak mampu merasakan larutan manis asin yag dioleskan pada sisi kanan depan lidahnya, tetapi mudah mengenali bila diletakkan pada sisi kirinya. Pemeriksaan motor sensorik, koordinasi reflek tendo dan cara berjalan masih dalam batas normal.
Melihat fenomena di atas, Bell’s Palsy merupakan penyakit yang menjadi momok bagi manusia. Selain itu, Bell’s Palsy menyerang dengan tiba-tiba. Tiba-tiba saja, penderita merasakan dan mengalami kelainan seperti lumpuh pada sebagian sisi wajah, bicara pelo, pandangan kabur, dan lain sebagainya. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mempelajari tentang patofisologi, mekanisme, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan penatalaksanaan Bell’s Palsy.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah definisi, epidemiologi dan etiologi Bell’s Palsy?
Bagaimanakah anatomi dari nervus VII?
Bagaimanakah patofisiologi dari penyakit Bell’s Palsy?
Apa sajakah gejala klinis yang timbul pada penderita Bell’s Palsy?
Apa sajakah pemeriksaan yang dibutuhkan untuk penegakan diagnosis Bell’s Palsy?
Bagaimanakah terapi untuk penderita Bell’s Palsy?
Bagaimanakah pencegahan dan prognosis Bell’s Palsy?
Tujuan
1. Mengetahui definisi, epidemiologi dan etiologi Bell’s Palsy
2. Mengetahui anatomi nervus VII
3. Mengetahui patofisiologi Bell’s Palsy
4. Mengetahui gejala klinis pada penderita Bell’s Palsy
5. Memahami pemeriksaan yang dibutuhkan untuk penegakan diagnosis Bell’s Palsy
6. Memahami cara pengobatan dalam terapi s Bell’s Palsy
7. Mengetahui pencegahan dan prognosis Bell’s Palsy
Manfaat
1. Mahasiswa dapat memahami anatomi dan fisiologi system saraf.
2. Mahasiswa dapat mencari dan mengerti patologi pada penyakit neurologi khususnya Bell’s Palsy.
3. Mahasiswa dapat mengetahui kalsifikasi, kausa, diagnosis, penatalaksanaan, prognosis, dan rehabilitasi penyakit Bell’s Palsy.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering me-rupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang
erat hubungannya dengan cuaca dingin.
Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Etiologi
Kausa kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb.
I) Kongenital
1.anomali kongenital (sindroma Moebius)
2.trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
II) Didapat
trauma
penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
sindroma paralisis n. fasialis familial
• Neurotmesis
– Terjadi karena axon, schwann cell dan myelin sheat terputus dan terjadi degenerasi
– Saraf banyak mengandung serabut yang jika rusak dapat mengakibatkan tipe lesi yang bermacam-macam sehingga sulit mendiagnosis
• Tekanan yang singkat pada saraf mengakibatkan hilangnya konduksi yang dapat membuat ischemic dan secara cepat reversible
– Contoh : Duduk dengan kaki menyilang dapat mengakibatkan hilangnya konduksi sementara di ibu jari (n. peroneal)
• Kompressi injury yang lebih lama mengakibatkan mechanical displacement nodus of ranvier
• Jika proses penekanan hilang sebelum terjadi perubahan strktur maka akan pulih dalam beberapa minggu.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic
Anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).
Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
Gejala Klinis
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan menurut gejalanya. Bell’s palsy selalu mengenai satu sisi wajah, kelemahannya tiba-tiba dan dapat melibatkan baik bagian atas atau bagian bawah wajah.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan saraf fasialis sebagai berikut:
Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan saraf fasialis irreversibel.
Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada saraf fasialis kiri dan kanan.
Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot
otot wajah.
Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada bell's palsy menunjukkan letak lesi saraf fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter, berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi saraf fasialis setinggi ganglion genikulatum
Penyakit lain yang juga dapat menyebabkan kelumpuhan saraf wajah adalah:
- Tumor otak yang menekan saraf
- Kerusakan saraf wajah karena infeksi virus (misalnya sindroma Ramsay
Hunt)
- Infeksi telinga tengah, sinus mastoideus
- Penyakit Lyme
- Patah tulang di dasar tengkorak.
Untuk membedakan bell's palsy dengan penyakit tersebut, bisa dilihat dari riwayat penyakit, hasil pemeriksaan rontgen, CT scan atau MRI. Pada penyakit Lyme perlu dilakukan pemeriksaan darah.
Penatalaksanaan
Terapi pertama yang harus dilakukan adalah penjelasan kepada penderita bahwa penyakit yang mereka derita bukanlah tanda stroke, hal ini menjadi penting karena penderita dapat mengalami stress yang berat ketika terjadi salah pengertian.
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
Selain itu, dari tinjauan terbaru menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid dalam tujuh hari pertama efektif untuk menangani Bell’s palsy. Pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus bell's palsy yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
3.a. Penanganan mata
Bagian mata juga harus mendapatkan perhatian khusus dan harus dijaga agar tetap lembab, hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian pelumas mata setiap jam sepanjang hari dan salep mata harus digunakan setiap malam
3.b. Latihan wajah
Komponen lain yang tidak kalah pentingnya dalam optimalisasi terapi adalah latihan wajah. Latihan ini dilakukan minimal 2-3 kali sehari, akan tetapi kualitas latihan lebih utama daripada kuantitasnya. Sehingga latihan wajan ini harus dilakukan sebaik mungkin. Pada fase akut dapat dimulai dengan kompres hangat dan pemijatan pada wajah, hal ini berguna mengingkatkan aliran darah pada otot-otot wajah. Kemudian latihan dilanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat merangsang otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakkan otot-otot wajah. Sebaiknya latihan ini dilakukan di depan cermin. Gerakan yang dapat dilakukan berupa:
Tersenyum
Mencucurkan mulut, kemudian bersiul
Mengatupkan bibir
Mengerutkan hidung
Mengerutkan dahi
Gunakan telunjuk dan ibu jari untuk menarik sudut mulut secara manual
Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari
Setelah melakukan terapi tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan sebagian akan meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa:
1. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum berpengalaman mungkin bagian yang sehat ini yang disangkanya lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya sehat.
2. Sinkinesia (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot orbikularis orispun akan akan ikut berkontraksi dan sudut mulut terngkat. Bila ia disuruh menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat.
3. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala sisa dari Bell’s palsy
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
1.Tidak terdapat penyembuhan spontan
2.Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada bell's palsy antara lain dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi).
PENCEGAHAN
Agar Bell's Palsy tidak mengenai kita, cara-cara yang bisa ditempuh adalah :
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan Anda menderita Bell's Palsy.
5. Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah dengan air dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.
PROGNOSIS
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
(1) Usia di atas 60 tahun
(2) Paralisis komplit
(3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
(4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan
(5) Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Bell’s palsy pada dasarnya merujuk pada kelumpuhan salah satu syaraf wajah (mononeuropati) yakni syaraf ke-7. Kelumpuhan ini murni disebabkan jepitan pada syaraf ke-7, bukan dari penyebab lain seperti pembuluh darah pecah atau tersumbat.
Berbeda dengan stroke, Bell’s palsy hanya menyebabkan kelumpuhan pada separuh wajah. Bukan kelumpuhan separuh bagian badan. Kelumpuhan ini terjadi akibat adanya himpitan yang menekan serabut syaraf ke-7 sehingga tak bisa menyampaikan impuls dari pusat syaraf pada batang otak.
Syaraf yang bekerja pada wajah sebenarnya ada 12 dengan pusat pada batang otak. Masing-masing memiliki fungsi berbeda. Misalkan, syaraf 1 untuk hidung, syaraf 2 untuk penglihatan, syaraf 3-4-6 untuk gerakan bola mata, syaraf 5 untuk merasakan sentuhan dan syaraf 7 untuk menggerakkan otot wajah.
Syaraf ke-7 memiliki keistimewaan, terdapat serabut panjang dari dalam tempurung kepala keluar melalui kanal di bawah telinga menuju sisi wajah. Panjangnya serabut syaraf ke-7 ini menyebabkannya rentan terjepit atau tertekan. Bila terjadi gangguan, akan menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot wajah sesisi.
Sejumlah keluhan Bell’s palsy juga disertai sakit kepala tak spesifik. Umumnya Bell’s palsy tak disertai keluhan lain seperti rasa kebas, karena syaraf perasa di wajah dipengaruhi syaraf 5, bukan 7. Namun, karena terjadi kekakuan pada otot wajah, penderitanya merasa sedikit tebal pada kulit wajahnya.
Banyak asumsi dikaitkan dengan Bell’s palsy. Beberapa pendapat di masa lalu mempercayai, Bell’s palsy disebabkan angin yang menyusup ke daerah belakang telinga dan mengganggu syaraf ke-7. Ada pula yang berpendapat, kondisi ini diakibatkan serangan virus cytomegalovirus, atau herpes. Kenyataannya, tanpa bepergian atau terkena angin, maupun mendapat serangan virus sekalipun, seseorang tetap bisa terserang Bell’s palsy.
Menghadapi wajah yang mencong tiba-tiba akibat Bell’s palsy sebaiknya jangan panik. Bell’s palsy bisa sembuh hingga 100 persen dan tak meninggalkan kecacatan. Bahkan 80 persen serangan Bell’s palsy akan sembuh sendiri dalam waktu 4 sampai 7 hari.
Asalkan ditangani tepat dan tak terlambat, bisa sembuh sempurna. Tepat artinya ditangani kurang dari 24 jam setelah serangan (golden period). Dan tidak dilakukan pengobatan alternatif atau tindakan tanpa pertimbangan medis. Namun, yang terpenting lagi penderita Bell’s palsy sebaiknya beristirahat atau mengurangi aktivitas wajah selama beberapa hari setelah terkena serangan. Dan segera berkonsultasi ke dokter syaraf selama masih dalam golden period.
Bila pengobatan dengan obat anti inflamasi atau anti-viral tak menunjukkan hasil, dan setelah dilakukan MRI tampak adanya penekanan pada syaraf ke-7, pilihan akhir yang diambil dokter adalah tindakan operasi dekompresi atau pembebasan tekanan. Namun, sekali lagi, ini pilihan terakhir yang jarang sekali diambil. Setelah lewat fase akut 3-4 hari, barulah bisa dimulai latihan fisioterapi di depan kaca atau mengunyah permen karet.
Sebaiknya fisioterapi tak terburu-buru dilakukan, karena memicu terjadinya nerve sprouting atau syaraf tak kembali sempurna, atau tumbuh melenceng. Nerve sprouting bisa menyebabkan timbulnya gerakan tak terkontrol yang menyertai maksud gerakan pada wajah. Misalnya, kedutan di wajah.
Pada penderita diabetes, kemungkinan untuk sembuh akan berbeda dengan orang tanpa diabetes. Rocksy menerangkan, penderita diabetes yang terserang bell’s palsy akan sembuh sekitar 60 persen saja, karena kemampuan penyembuhannya relatif tak sebaik orang tanpa diabetes. Biasanya wajahnya masih akan terlihat sedikit mencong.
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
1. Bell’s Palsy ialah kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya dengan lokasi lesi pada kanalis fasialis. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
2. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi
3. Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan.
4. Berbeda dengan Stroke (yang sama-sama membuat salah satu bagian wajah mencong / ketarik), Bell's Palsy hanya menyerang syaraf wajah. Sedangkan fungsi tubuh berjalan normal. Namun ada beberapa kasus di mana Bell's Palsy menyerang syaraf otak, sehingga ada penderita yang tidak mampu berbicara jelas seperti penderita Stroke. Walau demikian, pikirannya masih sangat jernih dan dia masih dapat berkomunikasi dengan cara menulis.
Saran
1. Usahakan agar tidak terkena udara dingin maupun air dingin secara langsung, khususnya pada daerah wajah dan kepala
2. Hindari keadaan-keadaan yang dapat memperburuk prognosis Bell’s Palsy
3. Segera konsultasikan ke dokter apabila setelah terapi tidak ada perbaikan, untuk mencegah adanya gejala sisa Bell’s Palsy
DAFTAR PUSTAKA
Aliah, Amirudin; Kuswara,F.F; Limoa, R.Arifin; Wuysang,Gerrad. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta: Gajah Mada University Press
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon, RP.1993.A Lange Medical Book Clinical Neurology. USA: Appleton & Lange
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy III (revisi). Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.
Campbell WW.1992. DeJong’s The Neurologic Examination.USA: Lippincott Williams & Wilkins
Mardjono dan Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Ropper AH, Brown RH. 2003. Adams and Victor’s Principles of Neurology. New York: MacGraw-Hill
Shidarta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis dalam Praktik Umum. Jakarta: Dian Rakyat.
Shidarta, Priguna. 2008. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Dian Rakyat.
Silbernagl dan Lang. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Snell, Richard S. 2007. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.
Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS.2001. Buku Saku Neurologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
askum salam kenalpakdhe saya mahasiswa fisioterpai semester 5. skarang saya lagi dalam penyusunan karya tulis ilmiah. saya mau nanyak da gak buku yang kusus atau setidaknya lenbih komplek bell palsynya
BalasHapus