Kamis, 01 April 2010

Appendicitis Akut

LAPORAN KELOMPOK
BLOK XIV GASTROENTEROLOGY
SKENARIO 2


PERITONITIS SEBAGAI KOMPLIKASI PADA PENDERITA APPENDICITIS AKUT YANG MENOLAK TINDAKAN APPENDICTOMY





OLEH :
1. HERRY PRASETYANTO G0008105
2. IKE PRAMASTUTI G0008107
3. IMAM RIZALDI G0008109
4. IRA RISTINAWATI G0008111
5. IZZATUL MUNA G0008113
6. KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115
7. NURSANTY S. G0008231
8. REDYA AYU T. G0008233
9. RESCHITA ADITYANTI G0008235
10. RIESKA WIDYASWARI G0008237
11. SALMA ASRI NOVA G0008239

KELOMPOK 9
NAMA TUTOR : dr. Sri Wahyono, MKes




FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan ditambah organ-organ pencernaan tambahan (aksesori). Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk memindahkan zat gizi atau nutrien, air, dan elektrolit dari makanan yang kita makan ke dalam lingkungan internal tubuh. Makanan sebagai sumber ATP untuk menjalankan berbagai aktivitas bergantung energi, misalnya transportasi aktif, kontraksi, sintesis, dan sekresi. Makanan juga merupakan makanan sumber bahan untuk perbaikan, pembaruan, dan penambahan jaringan tubuh. Sistem pencernaan tidak dapat melaksanakan fungsinya jika dalam keadaan terganggu.
Walaupun sistem pencernaan mempunyai manfaat yang sangat besar dalam kehidupan kita, akan tetapi tidak jarang juga kelainan pada sistem ini juga dapat mengakibatkan kematian. Salah satunya adalah apendisitis, penyakit ini merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi dan tindakan bedah segera mutlak diperlukan pada apendisitis akut untuk menghindari komplikasi yang umumnya berbahaya seperti peritonitis generalisata. Pada laporan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sistem pencernaan dan gangguannya, khususnya apendisitis dan peritonitis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita?
2. Apa diagnosis penyakit diatas ?
3. Bagaimana hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhannya saat ini?
4. Bagaimana hasil pemeriksaan pada penderita?
5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit yang di derita pasien?
C. Tujuan
1. Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita
2. Menentukan hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhannya saat ini
3. Mengetahui hasil pemeriksaan pada penderita
4. Mengetahui kemungkinan diagnosis penyakit pasien
5. Mengetahui penatalaksanaan penyakit pasien
D. Manfaat
1. Membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik
2. Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar
3. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem digestiva
4. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem digestiva

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih. Secara anatomi appendix sering disebut juga dengan appendix vermiformis atau umbai cacing. Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendix berada di sebelah postero-medial secum.Dari topografi anatomi, letak pangkal appendix berada pada titik Mc.Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.
Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai mesenterium. Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendix pada struktur lain pada abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran appendix dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan appendix yang panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara organ-organ pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix bergerak ke belakang colon yang disebut appendix retrocolic
Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada appendicitis bermula disekitar umbilicus.Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang dari a.ileocolica, cabang dari a. mesenterica superior
B. Fisiologi
Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis
Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patofisiologi appendiks.
Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh.
C. Definisi Appendicitis
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun
D. Etiologi Gastritis
a. Peranan Lingkungan
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras
b. Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat Frekuensi obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%
Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamuba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko terjadinya perforasi
Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks , lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietale Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi .
c. Peranan Flora Bakterial
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis .
E. Patofisiologi Appendicitis
Apendiks vermiformis pada manusia biasanya dihubungkan dengan “organ sisa yang tidak diketahui fungsinya”. Pada beberapa jenis mamalia ukuran apendiks sangat besar seukuran sekum itu sendiri, yang ikut berfungsi dalam proses digesti dan absorbsi dalam sistem gastrointestinal Pada percobaan stimulasi dengan rangsangan, apendiks cenderung menekuk ke sisi antimesenterial. Hal ini mengindikasikan serabut muskuler pada sisi mesenterial berkembang lebih lemah.
Secara anatomi pembuluh arteri masuk melalui sisi muskuler yang lemah ini. Kontraksi muskulus longitudinal akan diikuti oleh kontraksi muskulus sirkuler secara sinergis, lambat, dan berakhir beberapa menit. Gerakan aktif dapat dilihat pada bagian pangkal apendiks dan semakain ke distal gerakan semakin berkurang. Pada keadaan inflamasi, kontraksi muskuli apendiks akan terganggu
Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15 – 25 cmH2O dan meningkat menjadi 30 – 50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal tekanan panda lumen sekum antara 3 – 4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk sekum. Mukosa normal apendiks dapat mensekresi cairan 1 ml dalam 24 jam. Apendiks juga berperan sebagai sistem immun pada sistem gastrointestinal (GUT). Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues (GALD) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Pemikiran bahwa apendiks adalah bagian dari sistem GALD yang mensekresi globulin kurang banyak berkembang.
Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek pada sistem immunologi Meskipun kelainan pada apendisitis akut disebabkan oleh infeksi bakteri, faktor yang memicu terjadinya infeksi masih belum diketahui secara jelas. Pada apendisitis akut umumnya bakteri yang berkembang pada lumen apendiks adalah Bacteroides fragilis dan Escherichea colli. Kedua bakteri ini adalah flora normal usus. Bakteri ini menginvasi mukusa, submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan udem, hiperemis dan kongesti local vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi trombosis pada vasa dengan nekrosis dan perforasi
Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi terjadinya apendisitis akut diantaranya: obstruksi lumen apendiks, Obstruksi bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat Percobaan pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa total obstruksi pada pangkal lumen apendiks dapat menyebabkan apendisitis. Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu: akumulasi cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, efusi, obstruksi arteri dan hipoksia, serta terjadinya infeksi anaerob. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam 60 – 70 persen kasus. Enam puluh persen obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain. Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi Obstruksi pada bagian distal kolon akan meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks akan terhambat keluar. Arnbjornsson melaporkan prevalensi kanker kolorektal pada usia lebih dari 40 tahun, ditemukan setelah 30 bulan sebelumnya dilakukan apendektomi, lebih besar dibandingkan jumlah kasus pada usia yang sama. Dia percaya bahwa kanker kolorektal ini sudah ada sebelum dilakukan apendektomi dan menduga kanker inilah yang meningkatkan tekanan intrasekal yang menyebabkan apendisitis
Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis dapat menyebabkan erosi membrane mukosa apendiks dan perdarahan. Pada kasus infiltrasi bakteri, dapat menyebabkan apendisitis akut dan abses Pada awalnya Entamoeba histolytica berkembang di kripte glandula intestinal. Selama infasi pada lapisan mukosa, parasit ini memproduksi ensim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus. Keadaan berikutnya adalah bakteri yang menginvasi dan berkembang pada ulkus, dan memprovokasi proses inflamasi yang dimulai dengan infiltrasi sel radang akut
Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum, yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan berkembangbiaknya bakteri. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses menjadi memadat , lebih lengket dan berbentuk makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam kolon yang lama Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek waktu transit feses dalam kolon, tetapi dapat juga mengubah kandungan bakteri.
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum. Hambatan aliran dalam muara apendiks berperan besar dalam patogenesis apendisitis. Jaringan limfoid pertamakali terlihat di submukosa apendiks sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah jaringan limfoid meningkat selama pubertas, dan menetap dalam waktu 10 tahun berikutnya, kemudian mulai menurun dengan pertambahan umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan termasuk apendiks adalah Ig A. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung infeksi. Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh, sebab jaringan limfoid disini kecil jika dibandingkan jumlah di saluran pencernaan dan seluruh tubuh.
Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina muskularis dan lamina serosa . Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 – 24 jam pertama. Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga mucus yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminer meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman di dalam lumen apendiks cepat. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan udem. Kondisi yang kurang baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka terjadilah keadaan yang disebut apendisitis fokal , atau apendisitis simple . Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan tekanan intraluminer semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular akan mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial. Keadaan ini akan menyebabkan udem bertambah berat, terjadi iskemi, dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding apendiks, terjadilah keadaan yang disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut tekanan intraluminer akan semakin tinggi, udem menjadi lebih hebat, terjadi gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadinya gangren pada dinding apendiks terutama pada daerah antemesenterial yang relatif miskin vaskularisasi. Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid. Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Apabila tekanan intraluminer semakin meningkat, akan terjadi perforasi pada daerah yang gangrene tersebut. Material intraluminer yang infeksius akan tercurah ke dalam rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal maupun general tergantung keadaan umum penderita dan fungsi pertahanan omentum. Apabila fungsi omentum baik, tempat yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum, terjadilah infitrat periapendikular .
Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks,terjadilah keadaan yang disebut abses periapendikular. Apabila omentum belum berfungsi baik, material infeksius dari lumen apendiks tersebut akan menyebar di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis lokal. Selanjutnya apabila keadaan umum tubuh cukup baik, proses akan terlokalisir , tetapi apabila keadaan umumnya kurang baik maka akan terjadi peritonitis general .
Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut sehingga dapat terjadi keadaan keadaan seperti apendisitis rekurens, apendisitis khronis, atau yang lain. Apendisitis rekurens adalah suatu apendisitis yang secara klinis memberikan serangan yang berulang, durante operasi pada apendiks terdapat peradangan dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan akut. Sedangkan apendisitis khronis digambarkan sebagai apendisitis yang secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, pendapatan durante operasi maupun pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda inflamasi khronis, dan serangan menghilang setelah dilakukan apendektomi. Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan perlekatan yang banyak. Dan kadang-kadang terdapat pita-pita bekas peradangan dari apendiks keorgan lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadang-kadang terdapat stenosis partial atau ada bagian yang mengalami distensi dan berisi mucus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi fragmentasi dari apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita jaringan parut. Gambaran ini merupakan “gross pathology” dari suatu apendisitis khronika .
F. Manifestasi Klinis
• Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
• Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut:
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
- Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
- Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
• Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
G. Diagnosis
• Penegakan Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
- Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
- Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
- Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
2. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
- Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
3. Berdasarkan keadaan klinis, harusnya diperlihatkan secara rutin yaitu.
- Analisa urin. Test ini bertujuan untuk meniadakan batu ureter dan untuk evaluasi kemungkinan dari infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
- Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase ini membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu dan pancreas jika nyeri dilukiskan pada perut bagian tengah bahkan kuadrant kanan atas.
- Serum B-HCG untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
- Kebanyakan kasus apendisitis akut didiagnosa tanpa memperlihatkan kelainan radiologi. Foto polos bisa memperlihatkan densitas jaringan lunak dalam kuadran kanan bawah, bayangan psoas kanan abnormal, gas dalam lumen apendiks dan ileus lebih menonjol. Foto pada keadaan berbaring bermanfaat dalam mengevaluasi keadaan-keadaan patologi yang meniru apendisitis akut. Contohnya udara bebas intraperitoneum yang mendokumentasi perforasi berongga seperti duodenum atau kolon. Kelainan berupa radioopaq, benda asing serta batas udara cairan di dalam usus yang menunjukkan obstruksi usus. Sejumlah laporan tentang manfaat enema barium telah jelas mencakup beberapa komplikasi. Pemeriksaan enema barium jelas tidak diperlukan dalam kebanyakan kasus apendisitis akut dan mungkin harus dicadangkan bagi kasus yang lebih rumit, terutama yang dengan resiko operasinya berlebihan.
• Diagnosis Banding
a. Gastroenteritis
Pada terjadi mual, muntah, diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan terbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukosit kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut. laboratorium biasanya normal karena hitung normal
b. Limfadenitis Mesenterika.
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai dengan sakit perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan, perut samar terutama kanan
c. Demam Dengue.
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, hematokrit yang meningkat
d. Infeksi Panggul.
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada gadis dapat dilakukan colok vagina jika perlu untuk diagnosis banding. Rasa nyeri pada colok vagina jika uterus diayunkan
e. Gangguan Genitalia Wanita
Folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah¬ pada pertengahan siklus menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu dalam 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari, pada anamnesis nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu.
f. Kehamilan Ektopik
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu Ruptur tuba, abortus kehamilan di luar rahim disertai pendarahan maka akan timbul nyeri mendadak difus di pelvis dan bisa terjadi syok hipovolemik. Nyeri dan penonjolan rongga Douglas didapatkan pada pemeriksaan vaginal dan didapatkan pada kuldosintesis
g. Divertikulosis Meckel
Gambaran klinisnya hampir serupa dengan apendisitis akut. Pembedaan sebelum operasi hanya teoritis dan tidak perlu, sejak diverticulosis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada apendisitis akut dan diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama
h. Batu Ureter
Jika diperkirakan mengendap dekat apendiks, ini menyerupai apendisitis retrocecal. Nyeri menjalar ke labia, scrotum, atau penis, hematuria dan / atau demam atau leukosotosis membantu. Pielography biasanya untuk mengkofirmasi diagnosa
H. Komplikasi
Acute appendicitis dengan komplikasi
Merupakan appendicitis yang berbahaya, karena appendix menjadi lingkaran tertutup yang berisi “fecal material”, yang telah mengalami dekomposisi. Perbahan setelah terjadinya sumbatan lumen appendix tergantung daripada isi sumbatan. Bila lumen appendix kosong, appendix hanya mengalami distensi yang berisi cairan mucus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab, biasanya merupakan flora normal lumen usus berupa aerob (gram + dan atau gram – ) dan anaerob
Pada saat appendix mengalami obstruksi, terjadi penumpukan sekresi mucus, yang akan mengakibatkan proliferasi bakteri, sehingga terjadi penekanan pada moukosa appendix, dikuti dengan masuknya bakteri ke dalam jaringan yang lebih dalam lagi. Sehingga timbulah proses inflamasi dinding appendix, yang diikuti dengan proses trombosis pembuluh darah setempat. Karena arteri appendix merupakan end arteri sehingga menyebabkan daerah distal kekurangan darah, terbentuklah gangrene yang segera diikuti dengan proses nekrosis dinding appendix.
Dikesempatan lain bakteri mengadakan multiplikasi dan invesi melalui erosi mukosa, karena tekanan isi lumen, yang berakibat perforasi dinding, sehingga timbul peritonitis. Proses obstruksi appendix ini merupakan kasus terbanyak untuk appendicitis. Dua per tiga kasus gangrene appendix, fecalith selalu didapatkan
Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensir dengan proses pembentukan dinding oleh karingan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat atau (mass), atau proses pultulasi yang mengakibatkan abses periappendix .
I. Penatalaksanaan
• Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi yang tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi.
• Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.
1. Cairan intravena ; cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.
2. Antibiotik : pemberian antibiotik intravena diberikan untuk antisipasi bakteri patogen , antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke 3 cephalosporins, ampicillin – sulbaktam, dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubah berdasarkan kulture dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit.
• Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitist perforasi
• Terapi bedah meliputi apendiktomi dan laparoskopik apendiktomi. Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks. Mencakup Mc Burney insisi. Dilakukan diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup
J. Prognosis
Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada atau emboli paru orangtua. Kematian biasanya berasal dari sepsis aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic yang lebih baik.
Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong. Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia.
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada



BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan dari keluhan yang dialami oleh pasien perempuan pada skenario dua ini, ada dua tahapan yang patut dicermati, yaitu kunjungan pertama dan kunjungan kedua pasien ke rumah sakit. Pada kunjungan pertama, pasien mengeluhkan nyeri perut bagian bawah sejak 1 hari lalu, mual, muntah, suhu badan 37,5˚C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada daerah Mc Burney, defans muskular negatif, bising usus normal, lekosit 11.000/dl dan nyeri tekan jam 10-11 pada RT (Rectal Toucher). Gejala-gejala tadi merupakan gejala khas pada apendisitis akut, sehingga hampir dapat dipastikan bahwa pasien menderita apendisitis.
Pada kunjungan kedua, pasien mengeluhkan nyeri seluruh perut, kembung, ada gangguan BAB. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tensi 100/70 mmHg, nadi 120 kali/menit, RR 28 kali/menit, suhu 39˚C, bising usus hilang, nyeri tekan di seluruh perut, defans muskular positif, tonus sphincter ani menurun, distensi abdomen ringan, dan nilai leukosit 20.000/dl. Kalau dilihat dari informasi di atas, penyakit apendisitis pasien telah berkomplikasi menjadi peritonitis generalisata.
Suhu tinggi yang dialami oleh pasien disebabkan karena adanya perubahan set point termostat hipotalamus akibat diinduksi oleh toksin yang dikeluarkan oleh bakteri (seperti endotoksin ataupun eksotoksin) maupun oleh zat-zat hasil dari peristiwa peradangan, seperti IL-1. Perubahan set point ini akan direspon tubuh dengan cara meningkatkan metabolisme sel basal melalui mekanisme rangsang simpatis untuk memperoleh panas (selama proses pembentukan ATP sekitar 35% energi berubah menjadi dalam bentuk panas) agar sesuai dengan set point di hipotalamus, peristiwa ini akan diikuti dengan peningkatan denyut nadi dan pernapasan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang meningkat.
Itulah alasan mengapa RR dan nadi juga ikut meningkat pada kasus ini. Alasan mengapa tensi pasien turun cukup tajam, mungkin hal ini akibat sepsis yang juga diderita pasien. Tanda sepsis pada pasien ini antara lain: Suhu >38˚C, Denyut jantung/nadi >90 kali/menit, RR >20/menit, hitung leukosit >12.000/dl dan sumber infeksinya telah diketahui. Pada peristiwa sepsis umumnya diikuti oleh bakteriemia, bakteriemia yang luas dan berat tentu akan diikuti peningkatan jumlah leukosit sehingga akan terjadi peristiwa fagositosis besar-besaran di dalam tubuh. Peristiwa fagositosis ini akan menghasilkan mediator inflamasi berupa vaso aminoaktif yang mempunyai efek vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Peningkatan permeabilitas vaskular tentu akan mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena/venous return akibat transudasi cairan plasma intravaskular ke ekstravaskular, hal ini akan mengakibatkan cardiac output berkurang, sedangkan vasodilatasi akan mengakibatkan berkurangnya resistensi pembuluh darah. Kita tahu bahwa, BP = CO x PVR (BP=blood pressure, CO=cardiac output , PVR=peripheral vascular resistence), sehingga apabila resistensi pembuluh darah turun dan atau cardiac output turun, tentu tekanan darah juga akan turun.
Pasien tidak bisa kentut, adanya gangguan BAB, bising usus hilang dan tonus sphincter ani menurun mengindikasikan bahwa pasien mengalami ileus paralitik. Akibat adanya kelumpuhan/paralisis ini, maka gerakan peristaltik usus akan menghilang sehingga bising usus juga akan hilang. Hilangnya gerakan peristaltik usus juga akan menyebabkan gangguan BAB karena transportasi sisa pencernaan makanan dari usus ke rectum terhenti, hal ini akan menyebabkan lumen usus mengalami obstruksi sehingga gas hasil pencernaan (kentut) juga tidak bisa keluar. Tertahannya gas dalam perut maupun sisa pencernaan makanan (feces) akan menyebabkan perut penderita menjadi kembung.
Rasa nyeri tekan di seluruh perut pada skenario, akibat proses peradangan di seluruh peritoneum. Sedangkan defans muskular positif (umumnya terdapat pada peritoneum generalisata) terjadi sebagai respon tubuh untuk menghindari rasa nyeri ketika akan dipalpasi oleh dokter, hal ini mirip dengan seseorang karateka yang sedang melatih kekuatan perut, dimana salah satu karateka memukul salah satu perut karateka yang lain, maka karateka yang akan dipukul tadi secara reflek dia akan mengkontraksikan otot-otot perutnya agar rasa nyerinya berkurang saat dipukul.
Prinsip umum pengobatan pada kasus apendisitis yang telah mengalami komplikasi berupa peritonitis adalah dengan pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran gastrointestinal dengan penyedotan intestinal atau nasogastrik, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang secara intravena, tirah baring dalam posisi Fowler, pembuangan fokus septik (apendisitis dengan cara apendektomi) dan tindakan untuk menghilangkan rasa nyeri.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pasien menderita apendisitis yang telah berkomplikasi menjadi peritonitis generalisata.
2. Terapi pembedahan mutlak diperlukan untuk menghilangkan sumber septik.
B. Saran
Seorang dokter seharusnya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi seorang pasien untuk menjalani sebuah metode terapi agar tidak terjadi keterlambatan pengobatan sehingga komplikasi penyakit yang lebih berat dapat dihindari.


DAFTAR PUSTAKA

Budianto (ed). 2003. Guidance to Anatomy II Edisi Pertama (Revisi). Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton AC dan Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Hermawan AG. 2006. “Sepsis” in Sudoyo A.W (ed) et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Lindseth GN. 2006. ”Gangguan Lambung dan Duodenum” in Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. alih bahasa Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati Hartanto et.al. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology : From Cells to System. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.
Peiter J (ed). 2005. ”Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum” in Sjamsuhidajat R dan Wim de Jong (ed). 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta: EGC.
Wilson LM. 2006. ”Respon Tubuh Terhadap Cedera” in Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. alih bahasa Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati Hartanto et.al. Jakarta: EGC.

1 komentar: